Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, June 22, 2013

Tragedi Ayu, Musibah Eyang


DUGA-DUGA itu menjelar bagai api membakar ilalang. Galibnya gosip, makin panjang rantai mulut yang membicarakan, tambahan bumbu, interpretasi, dan dramatisasi kian berlimpah.

Tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah dengan kondisi menggenaskan, Senin (17 Juni 2013) lalu, tak terlelakkan telah menjadi topik paling hangat tak hanya di Bolaang Mongondow (Bolmong) atau Sulawesi Utara (Sulut). Dipublikasinya peristiwa ini oleh media, lebih khusus digital (termasuk situs berita terkemuka Detik.Com), membuat kisahnya dikonsumsi –juga dibicarakan—di skala yang sangat luas.

Ada fakta, juga dugaan dan interpretasi yang menyertai peristiwa ini. Pertama,  Ayu Basalamah ditemukan tewas di dalam salon miliknya. Kondisi jenazahnya tak perlu lagi diulas. Media telah mendiskripsikan hingga detil yang mengundang pilu. Ditambah foto-foto jasadnya yang terdistribusi dengan cepat lewat BlackBerry Massenger (BBM) --dan media sosial semacam facebook--, lengkaplah gambaran publik terhadap nahas yang menimpanya.

Kedua, sebelum ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, Almarhum Ayu Basalamah tengah jadi perhatian orang banyak. Percakapan BBM-nya dengan seseorang, yang dianggap mencaci, menghina, dan mencemarkan nama baik Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, mengakibatkan dia dianiaya sejumlah oknum. Peristiwa penganiayaan ini sudah pula terbeber di hadapan publik, lengkap dengan para tersangka yang telah ditetapkan pihak kepolisian.

Kalau pun masih ada ketidak-puasan, sebab tak dapat dibantah polisi (bukan hanya terkesan) sangat lambat menindak-lanjuti kasusnya. Kemudian, benarkah hanya ada empat tersangka yang patut dijerat? Pula, setelah hampir dua bulan bekerja, adakah polisi turut menyelidiki, mendalami, dan menyidik penyebar BBM yang berujung penganiayaan itu? Apa motif dan perannya dalam peristiwa dianiayanya Almarhum?

Bagaimana pun Ayu hanya berkomunikasi dengan satu orang. Kalau sampai isi pembicaraan BBM dua orang itu diteruskan ke pihak lain, bukankah sang pelaku dapat pula dijerat ancaman pidana? Dari menyebarkan kebencian, provokasi, bahkan boleh jadi dalang dari satu peristiwa kriminal.

Ketiga, dikait-kaitnya Bupati Boltim dalam peristiwa tewasnya Ayu. Terus-terang saya merinding mendengar dan membaca pengait-ngaitan itu, yang semata berdasar spekulasi karena di peristiwa pertama oknum-oknum yang diduga terlibat tak lain orang-orang yang di keseharian di kenal dekat dengan Sehan Lanjar.

Namun, dengan memahami karakter Bupati yang akrab disapa Eyang ini, saya berpendapat dia sama sekali tidak memerintahkan tindakan kriminal apapun terhadap Ayu. Sebagai manusia biasa, dicaci dan dihina memang menyakitkan hati dan menggoyak harga diri. Tapi Eyang bukan sekadar warga masyarakat biasa. Dia politikus yang sudah kenyang asam-garam, yang bahkan bukan sekadar cacian atau hinaan dalam bentuk serapah ‘’buah yaki’’. Disebut ‘’buah yaki’’ tentu cemen belaka buat Eyang.

Dengan penuh hormat, takzim, dan doa untuk Almarhum Ayu Basalamah (semoga dia beristirahat dengan tenang), sikap saya tak surut: Oknum-oknum yang terlibat dalam penganiyaan terhadap dia harus diungkap seterang-terangnya, diproses sejelas-jelasnya, dan dihukum setegas-tegasnya. Demikian pula dengan bangsat-bangsat yang tega menghilangkan nyawanya.

 Di lain pihak, dengan menghormati proses penyelidikan dan penyidikan yang sedang dilakukan, saya juga berharap orang banyak berhenti menjadikan isu Ayu Basalamah sebagai obyek spekulasi. Lebih khusus duga-duga yang mengait-ngaitkan Eyang dengan kematiannya. Eyang, terutama sebagai pribadi yang juga wajib dihargai hak hukumnya, tak boleh dihadapkan pada ‘’pengadilan persepsi publik’’ dan dianggap punya peran semata karena imajinasi yang dipertukarkan lewat gosip.

Sebagai pribadi, saya tak surut bersimpati dan berempati terhadap Almarhum Ayu. Walau demikian, saya tak ingin terjerumus pada sikap membabi-buta mencari kambing hitam. Sebab siapakah sesungguhnya yang paling dirugikan dari tewasnya Ayu, disaat dia tengah mati-matian menuntut keadilan sebagai korban penganiayaan?

Kepala dingin kita pasti bersepakat, bahwa yang paling dirugikan adalah oknum-oknum yang kini dijadikan tersangka atau patut diduga bakal jadi tersangka. Karenanya, bukankah sungguh kebodohan tak terampunkan bila dalam posisi tersangka atau patut diduga bakal ditersangkakan, lalu mereka mengambil (atau menyuruh, menganjurkan, dan sejenisnya) tindakan menghabisi nyawa Ayu?

Saya berkeyakinan oknum-oknum penganiaya Ayu Basalamah sadar dan tahu persis, tindakan mereka sudah berdampak sangat merusak, termasuk pada nama baik Bupati Boltim, hanya karena mereka dikenal dekat dengan Eyang. Mereka tahu bahwa setelah peristiwa penganiayaan itu menjadi pengetahuan publik, yang didukung untuk diselesaikan, sekadar peristiwa kecil pasti berpotensi dikait-kaitkan dan kian memperparah masalah.

Maka yang paling berkepentingan agar Ayu Basalamah tidak diganggu adalah oknum-oknum yang kini dijadikan tersangka atau patut diduga bakal jadi tersangka penganiaya; juga Eyang yang namanya dikait-kaitkan dalam peristiwa penganiayaan itu. Sebaliknya, saya tidak ingin terjebak spekulasi menduga-duga siapa atau kelompok apa yang paling diuntungkan bila terjadi sesuatu dengan Ayu.

Yang jelas, dalam konteks yang lebih kompleks, termasuk yang bersifat sosial dan politis, pasti ada pihak yang mengail keuntungan dari rusaknya nama baik Sehan Lanjar. Terlebih dari sisi yang sangat politik praktis, di saat Ayu Basalamah ditemukan tak bernyawa, Eyang sedang aktif mendukung kakak kandungnya, Muhamad Salim Lanjar, sebagai calon Walikota Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018.

Itu sebabnya, sembari berharap polisi bersegegas menjawab semua teka-teki dan keingintahuan publik terhadap tragedi yang menimpa Ayu; selayaknya kita juga tak menimpakan musibah pada Bupati Boltim dengan memelihara duga-duga dan spekulasi yang mengait-ngaitkan namanya. Biarkan fakta (yang akan terungkap) membuktikan apa, bagaimana, dan siapa-siapa yang terlibat peristiwa tewasnya Ayu.

Dan saya menutup tulisan ini dengan doa untuk Almarhum. Istirahatlah dengan tenang.***