Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 20, 2013

Kapolres Bolmong, Bolehkah Saya Bertanya?


JANGANKAN melawan, memikirkan berurusan dengan polisi saja saya jerih. Bukan semata disebabkan alam bawah sadar kebanyakan orang Indonesia di generasi saya, terutama di masa kecil, kerap dicecoki ancaman ‘’awas polisi!’’ atau ‘’polisi mo datang tangka’’; melainkan karena telah terlampau banyak pengetahuan dan pengalaman tak mengenakkan dengan institusi ini dan oknum-oknumnya.

Bahkan yang sekadar punya ‘’cap’’ polisi saja sudah bikin pening. Polisi tidur, misalnya (saya tak paham mengapa gundukan yang melintang di tengah jalan mesti disebut demikian di negeri ini), selain menjamin kita menjaga kecepatan dan hati-hati berkendara, juga jadi ancaman tersendiri. Memang belum ada statistik resmi jumlah pengendara sepeda motor yang terjerembab akibat polisi tidur; namun faktanya kejadian seperti itu sudah menjadi pemahaman dan pemahfuman umum.

Berurusan dengan polisi di jalan raya, maaf sebesar-besarnya. Cerita ‘’prit jigo’’, ‘’pasal 25, pasal 50, atau pasal 100’’ (yang berarti Rp 25, 50, dan 100 ribu) bukanlah karang-karangan para pengemudi yang tertangkap atau dianggap melanggar aturan lalu lintas. Itu di tempat terbuka. Bagaimana dengan yang hanya melibatkan orang per orang dan oknum? Bikin jengkel dan frustrasi, yang digambarkan dengan kalimat sinis, ‘’Berurusan dengan polisi perkara hilang ayam, malah jadi ikut hilang kambing dan sapi.’’

Kasus-kasus yang melilit dan menjerat aparat kepolisian terkini, yang bersiliweran di ruang publik, membuktikan pengetahuan umum itu bukanlah duga-duga. Tengok saja bagaimana pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan harta mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas), Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo, yang luar biasa fantastisnya. Padahal dia bukan pengusaha atau ahli waris milyuner; dan diperkirakan pendapatan wajarnya sebagai pejabat tinggi kepolisian per tahun total hanya sekitar Rp 200 juta.

Begitu buruknyakah wajah polisi di Indonesia? Tidak juga. Pengalaman pribadi saya (baik sebagai menantu seorang perwira polisi, suami dokter yang menjadi bagian dari Korps Kepolisian, kawan dan kenalan dari para polisi), tak terhitung hal baik yang membuat saya memberikan apresiasi tinggi terhadap Kepolisian RI. Di antara yang buruk-buruk, masih banyak polisi baik yang bekerja profesional, dedikatif, dan tanpa pamrih. Yang benar-benar mengamalkan Tri Brata dan Catur Prasetya dengan takzim dan konsisten.

Sungguh luhur kandungan Tri Brata, yang menyatakan: Polisi Indonesia, (1) Berbakti kepada nusa dan bangsa, dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan (3) Senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

Tri Brata masih dipertegas lagi dengan Catur Prasetya, bahwa, Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara, untuk: (1) Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; (2) Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia; (3) Menjamin kepastian berdasarkan hukum; dan (4) Memelihara perasaan tentram dan damai.

Pendek kata, dengan memahami beratnya komitmen, tugas, dan tanggungjawab polisi, saya menaruh hormat tinggi terhadap institusi ini dan oang-orangnya. Sembari, sedapat mungkin menghindari kemungkinan berurusan dengan polisi dalam pengertian sebagai pelanggar hukum.

Namun, tak urung saya terbahak-bahan membaca Tribun Manado (Rabu, 19 Juni 2013), Polisi Kawal DPRD Studi Banding dan Kontraonline di hari yang sama, Status Tahanan Kota, Sofian dan Jems Malah Pelisir Keluar Kota. Aduh, apa lagi ulah badut Polres Bolaang Mongondow (Bolmong) ini? Terlebih isunya dipertegas Kapolres AKBP Hisar Siallagan SIK dengan pernyataan, ‘’Mereka diijinkan atas dasar permintaan pimpinan dewan, dan pihak kepolisian telah memberikan pengawalan. Perjalanan itu bisa diijinkan, seperti contoh tersangka siswa yang mau ikut ujian di luar kota atau ada tersangka yang mau nikah di luar kota itu diijinkan tapi dengan pengawalan pihak kepolisian.’’

Kapolres sedang mengigau rupanya. Tersangka jenis apa yang harus dikawal pihak kepolisian dengan urgensi keperluan seperti apa? Siswa peserta ujian yang jadi tersangka tindak pidana pembunuhan dengan ancaman hukumannya di atas lima tahun (karenanya wajib ditahan), tentu mesti dikawal aparat kepolisian. Demikian pula dengan tersangka kriminal berat (dalam tahanan sel polisi) yang kebelet nikah.

Tapi untuk anggota DPR yang jadi tersangka (untuk kasus anggota DPR Boltim, berapa ancaman hukumannya?), berstatus tahanan kota, melakukan perjalanan dinas atas permintaan dan jaminan  Ketua DPR, lalu mesti dikawal, ini logika yang dipetik dari kitab hukum mana? Tahanan kota artinya tidak boleh keluar kota. Demikian standar hukum yang berlaku sama untuk seluruh warga negeri ini.

Perlakuan khusus Polres Bolmong terhadap anggota DPR Boltim, yang kepentingan perjalanannya juga tak akan cacat kalau dua di antara seluruh anggota rombongan tidak ikut serta, benar-benar menghina akal sehat dan kewarasan orang banyak. Apalagi Polresta Bolmong punya setumpuk pekerjaan rumah lebih mendesak diurusi namun tak kunjung jelas pangkal-ujungnya.

Memangnya Polres Bolmong sudah berhasil mengungkap kematian Elvira Mokoginta, bocah asal Desa Paret yang ditemukan tewas dalam kondisi menggenaskan di Sayowan, Ratatotok (Minahasa Tenggara)? Bagaimana pula kabarnya kasus CPNS 1999 di Kota Kotamobagu (KK) yang tampaknya telah masuk arsip pihak berwenang? Pun pembakaran camp  perusahaan pasir besi yang beroperasi di pesisir Desa Paret, yang sudah dua kali terjadi (apa kerja polisi hinga peristiwa tindak pidana yang sama, di tempat yang sama, melibatkan subyek dan obyek yang sama, dengan mudah berulang?). Dan yang terbaru, penganiayaan terhadap Almarhum Ayu Basalamah, yang tersangkanya dipublikasi di media-media sebagai ‘’menyerahkan diri’’ dan bukan ditangkap oleh aparat Polres Bolmong.

Saya bisa memperpanjang daftar kasus-kasus yang setengah ‘’dark number’’ atau yang sengaja terlupakan di tangan Polres Bolmong.  Bisa pula menambah-nambahi dengan komentar, semisal, ‘’Benarkah bahwa layanan kepolisian pada masyarakat yang membutuhkan sudah seperti warung kelontong. Ada harga, ada barang?’’ Atau, ‘’Betulkah polisi suka memanfaatkan ‘kasus basah’ bak celengan babi. Diwaktu-waktu tertentu digoyang untuk mengeluarkan isinya?’’ Sebagai pertanyaan, saya kira tak ada pelanggaran hukum yang saya lakukan.

Kendati demikian, saya juga tahu diri. Saya harus berhenti cerewet sebelum digugat karena dugaan pencemaran nama baik, penghinaan, atau justru jadi ‘’TO’’ akibat menyakiti perasan Polres Bolmong dan aparatnya.

Yang jelas, pada Kapolres, ada pertanyaan yang mengganjal: ‘’Apakah Tri Brata dan Catur Prasetya masih menjadi anutan dan panduan di Polres Bolmong?’’ Kalau ya, kok saya tidak melihat komitmen dan tindakan semestinya, baik dalam soal mengawal anggota DPR Boltim studi banding maupun di empat kasus yang jadi contoh itu?***