Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 16, 2013

Awas, Terduga Pidana di Pilwako KK


APA pentingnya gelar akademik? Salah seorang mentor saya, penyandang dua gelar pretisius dari Harvard University, beberapa tahun lampau memberi penghiburan, ‘’Gelar akademik adalah salah satu alat untuk ‘mengetuk  pintu’ di dunia kerja. Begitu Anda di dalam, siapa yang peduli berapa deret huruf tambahan di depan atau di belakang nama? Bila Anda tak kompeten, gelar hanyalah gelar.’’

Pernyataan itu sungguh melegakan. Saya, yang ketika itu secara sadar memutuskan ‘’patah pensil’’ dari Perguruan Tinggi (PT), kalah pamor bila hanya ditilik dari pendidikan formal. Di sekitar saya bertebaran bukan hanya penyandang S1 dari PT terkemuka negeri ini, tetapi juga master dan doktor dari universitas papan atas manca negara.

Kalimat-kalimat itu hingga kini terus mengiang di kepala dan menegaskan kepercayaan betapa pentingnya pendidikan (formal). Sayangnya, saya menyakini itu dengan susah payah, setelah mengabaikan pendidikan tinggi dan berdarah-darah mengais kesempatan eksis di dunia kerja, juga di tengah pergaulan sosial.

Pendidikan formal yang ditandai gelar akademik kian penting karena ke-Mongondow-an saya. Di Mongondow penyandang dr, Ir, Drs, SH, apalagi MS, MSi atau Dr, dianggap ‘’kelompok manusia dengan kelas tertentu’’. Positifnya, orang Mongondow lalu berlomba-lomba masuk PT agar punya tambahan gelar di depan atau belakang nama. Negatifnya, sebagaimana yang makin umum kita sua, sejumlah orang bahkan menghalalkan segala cara demi diakui berpendidikan tinggi, termasuk membeli atau memalsukan gelar akademik.

Mengingat bagi kebanyakan orang (di Mongondow) gelar akademik biasanya diperlakukan setara harga diri, lebih dari bukti pencapaian pendidikan formal, saya sungguh berhati-hati menyentuh isu ini. Dalam persamuan-persamuan sosial sedapat mungkin saya menjauhi basa-basi di PT mana, jurusan apa, dan kapan seseorang berhasil meraih gelarnya. Terutama untuk gelar-gelar akademik yang diperoleh sebelum 1993.

Bila bersua dengan ‘’Ir’’, saya mesti menyimak percakapan dengan saksama sebelum menyimpulkan gelar itu menunjukkan dia adalah sarjana teknik, pertanian, peternakan, atau perikanan. Sebaliknya, dengan ‘’Drs’’ pun tak serta-merta disimpulkan berasal dari latar ilmu sosial dan politik. Boleh jadi yang bersangkutan adalah alumni ekonomi, sastra, atau kependidikan.

Teka-teki dan tebak-tebakan itu berakhir dengan keluarnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) Nomor 036/U/1993, tertanggal 9 Februari 1993, Tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Sejak adanya Kepmendikbud ini sarjana teknik pasti berbeda dengan sarjana pertanian, karena yang satu bergelar ST dan lainnya SP. Sama halnya dengan sarjana ilmu sosial pasti berbeda dengan sarjana ilmu politik. Walau sama-sama rumpun ilmu sosial dan politik, yang satu berhak atas gelar S.Sos, yang lain S.IP.

Kepmendikbud Nomor 036/U/1993 ternyata dianggap belum cukup, karena kemudian disusul Kepmendibud Nomor 178/U/2001, tertanggal 21 November 2001, Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi. Salah satu tambahan di Kepmendikbud ini, yang belum ada di keputusan sebelumnya, terdapat di Pasal 20 yang berbunyi: ‘’Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan Keputusan ini dikenakan ancaman dipidana seperti dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.’’

Tidak ada perdebatan bahwa sejak 1993, yang ditegaskan lagi pada 2001, penggunaan gelar akademik di luar ketentuan adalah perbuatan pidana. Sebagai perbuatan pidana, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012, tertanggal 10 Agustus 2012, Tentang Pendidikan Tinggi, ancaman hukumannya pun tak main-main: penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar. Dengan kata lain, mengingat ancaman hukuman yang mencapai 10 tahun penjara, pengguna gelar yang tidak sesuai dengan UU dan turunannya, semestinya langsung dijebloskan di balik jeruji besi.

Lebih lengkap, ancaman pidana tersebut tercantum di Pasal 93, yang menyatakan: ‘’Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).’’

Adapun rujukan yang berkaitan dengan penggunaan gelar, secara khusus terdapat di Pasal 28 ayat 6 dan ayat 7. Ayat 6 menyatakan: ‘’Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.’’ Sedang ayat 7 berbunyi: ’’Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.’’

Lalu apa relevansi penjelasan musabab gelar akademik, UU yang memayungi, dan peraturan turunannya dengan Pemilihan Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK)? Jawabannya adalah, perbuatan pidana oleh (patut diduga) satu atau dua kandidat yang secara sadar menggunakan gelar akademik yang ternyata tidak menjadi haknya. Tanpa menunjuk siapa kandidat yang dimaksud, saya yakin masyarakat KK tahu persis oknum tak punya malu itu.

Yang celaka, di luar kerepotan perbuatan pidana itu, selain tidak absahnya banyak dokumen (termasuk dokumen publik) yang ditanda-tangani pengguna gelar ‘’maunya sendiri’’, isu ini secara nyata sebenarnya mengancam sah atau tidaknya Pilwako. Selain soal kredibilitas dan status hukum kandidat, juga karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, yang melakukan verifikasi dan menemukan ada dugaan tindak pidana yang dilakukan kandidat, tidak melanjutkan dengan melaporkan ke pihak kepolisian.

KPU patut diduga berkonspirasi, sekongkol menutup-nutupi, bahkan mungkin menganjurkan kompromi dengan mengubah (katakanlah) ‘’Drs’’ menjadi ‘’S.Sos’’.

Di sisi lain, amanat UU No 12/2012 bukanlah delik aduan. Artinya, polisi yang terus memantau Pilwako KK tahu persis adanya perubahan gelar yang mendadak dilakukan oleh satu-dua kandidat. Dengan tidak bertindaknya polisi, pada akhirnya kita boleh berspekulasi: Mereka tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau mendiamkan karena lebih asyik menerima suap ketimbang mengurusi hal-ihwal penting yang terluput dari perhatian orang banyak.

Fakta-fakta itu tegas menunjukkan, bahkan sebelum hari ‘’H’’ Pilwako KK, kita tahu legalitas hajatan demokrasi ini tidak lagi kredibel. Polisi mestinya bersigegas menangkap kandidat yang patut diduga melakukan tindak pidana kelas berat (karena ancaman hukumnya hingga 10 tahun penjara), juga KPU yang berkonspirasi menutup-nutupi dugaan kejahatan itu.

Sedihnya, saya pesimis polisi bakal melakukan tugasnya. Setahu saya, cuma polisi tidurlah satu-satunya jenis polisi yang terbukti berperan besar di Mongondow, siang dan malam tanpa henti.***