Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 16, 2013

Pilwako KK: Untuk Siapa?


KOTA KOTAMOBAGU (KK) relatif berbeda dengan empat daerah otonom lain di Mongondow. Selain wilayah yang sangat kecil (hanya empat kecamatan) dengan kepadatan penduduk tergolong tinggi, dari aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan, warga KK berada di atas skala rata-rata.

Dari paparan informasi, masyarakat KK punya akses lebih unggul dibanding orang Mongondow di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), atau Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Media cetak terbitan Jakarta atau Manado tiba terlebih dahulu di Kotamobagu. Sama halnya dengan media cetak, televisi, dan radio lokal yang umumnya berkantor pusat di kota ini. Dan, tentu saja, jaringan internet yang walau pun lambat (sedikit di atas kura-kura Galapagos), tetap menyediakan akses yang lebih baik.

Kemudahan berkomunikasi itu, terutama dalam konteks kontes politik, semestinya menjadi arena kreatif sangat menantang. Itu sebabnya, jauh hari sebelum Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) KK dilaksanakan –puncaknya berlangsung Senin, 24 Juni 2013 mendatang--, saya membayangkan ide-ide dan pikiran demi kemaslahatan orang banyak dari para kandidat bakal bersiliweran di media. Sebuah keriuhan intelek yang bergizi dan jauh dari sekadar unjuk otot kekuatan massa dan cuap-cuap kosong yang bakal terlupa (oleh yang bicara dan mendengar) dalam hitungan menit.

Nyatanya Pilwako KK tak beda dengan yang umum dilaksanakan di pelosok dunia ketiga. Setengah primitif, pendekatannya jaman dahoeloe (jadul), penuh parade dan pengerahan massa. Sekadar adu ego kandidat dan partai politik (Parpol) pengusung. Seolah-olah warga KK sekumpulan bebek yang tanpa daya digiring mengenakan warna tertentu, patuh dan taat mengikuti arah yang ditunjuk gala yang ujungnya diberi secarik kain.

Para kandidat dan Parpol pengusung lupa, kebanyakan warga KK yang melek politik, membaca koran, menelusuri internet, memancang mata dan kuping di televisi, sudah mengambil keputusan mendukung kandidat siapa, jauh hari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK resmi menyatakan proses Pilwako dimulai. Masyarakat, kecuali yang penyakit mata dan kupingnya sudah di derajat tak tertolong, khatam kandidat mana yang cuma tukang bohong, yang boneka, yang coba-coba siapa tahu jackpot, atau yang turut berlaga karena bingung tak punya kesibukan.

Semua pengetahuan yang relevan digunakan menelisik calon pemimpin, disajikan (langsung atau tidak) oleh media massa. Kalau pun kita tidak membicarakan lebih menukik dan terbuka, semata karena malu melihat calon pemimpin dan pemimpin kita yang tidak tahu malu.

Perkara amat sepele dan fundamental seperti gelar pendidikan, misalnya. Bertahun-tahun kita melihat, membaca, dan tahu ada kandidat yang mencantumkan gelar ‘’Drs’’ di depan namanya; dimulai ditahun ketika gelar ini sudah tidak digunakan lagi. Setelah sekian lama, tiba-tiba dipublikasi-publikasi resmi ‘’Drs’’ telah bersulih menjadi ‘’S.Sos’’. Astaga! Betapa gampangnya, seolah-olah orang banyak tidak memperhatikan dusta bertahun-tahun itu. Pula, perubahan itu tidak berkonsekwensi ikutan yang lebih gawat.

Bagaimana kalau ‘’Drs’’ jadi-jadian itu ternyata sudah digunakan dan diumbar didokumen publik, misalnya surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak atau surat keputusan (SK) birokrasi? Sang ‘’Drs’’ mungkin saja membayar pajak, tapi bagaimana dengan si ‘’S.Sos’’. Demikian pula, apa keabsahan SK yang ternyata ditanda-tangani dengan gelar palsu?

Masyarakat KK tahu persis contoh bejat seperti itu. Kalau kemudian mereka sukarela memilih kandidat yang demikian, apalagi dilakukan dengan sadar atas konsekwensinya, itulah demokrasi.

Palsu-palsu dan tak intelek hanya efektif di permukaan, termasuk pengerahan ‘’massa palsu’’ di deklarasi dan kampanye-kampanye kandidat, agar difoto-foto yang dipajang di advertorial tampak menggentarkan hati pesaing. Tidak peduli massa yang dikerahkan itu datang terpaksa (tersebab ancaman atau iming-iming), yang penting megah.

Saya mencermati para kandidat di Pilwako KK cukup bebal untuk memetik pelajaran dari pemilihan Bupati-Wakil Bupati (Pilbup) dan Pilwako lain, di Mongondow maupun Sulut umumnya. Padahal sudah terbukti jumlah massa yang menghadiri deklarasi atau kampanye terbuka, pada akhirnya sama sekali tidak berkorelasi dengan suara yang berhasil didulang di hari ‘’H’’ pemilihan.

Perilaku tidak masuk akal di Pilwako KK, tampaknya juga diaminkan dengan saksama oleh KPU. Saya hanya bisa mengusap-ngusap dada (apalagi yang mesti diusap?) mengetahui KPU mengatur penyampaian visi-misi kandidat Walikota-Wawali di depan DPR KK. Untuk apa penyampaian ini? Memangnya 20-25 ongol-ongol di DPR KK menjadi faktor utama yang menggerakkan orang banyak memilih pemimpinnya?

Pilwako adalah pemilihan langsung. Tidak ada hubungannya dengan DPR KK. Bahwa dengan visi-misi itu disampaikan di hadapan DPR akan menjadi catatan yang ditagih ketika kandidat terpilih memegang jabatan, adalah kilahan udang di balik rempeyek. Memangnya anggota DPR KK yang kini masyuk menikmati kekuasaan seluruhnya masih terpilih kembali di 2014? Dan memangnya mereka peduli dengan apa yang akan dilakukan Walikota-Wawali terpilih? Kalau pun peduli, memangnya mereka cukup punya nyali?

Kulminasi dari sirkus Pilwako KK adalah debat kandidat yang digagas KPU, yang dilaksanakan Minggu, 16 Juni 2013, ini. Situs Beritamanado.Com, Sabtu, 15 Juni 2013(http://beritamanado.com/berita-utama/debat-kandidat-besok-massa-dilarang-datang/188644/), Debat Kandidat besok, Massa Dilarang Datang, saya baca dengan mengusap dada dan dahi. Memang debat ini disiarkan live  di 97,6 Mhz Radio Pemkab FM, tapi melarang pendukung kandidat hadir tentu kebijakan sangat tak sopan. Pilwako dilaksanakan untuk rakyat KK. Kalau tidak ingin rakyat melihat, mendengar, atau menikmati dengan cara yang menjadi haknya, debat tak usah dilaksanakan.

Melarang masyarakat KK mengapresiasi debat kandidat sesuai keinginan mereka, sama artinya dengan menyediakan goroho goreng dengan label ‘’makanan beracun’’. Menganjurkan boleh, melarang tidak. Hebat betul Ketua KPU hingga mengambil alih seluruh tugas institusi dan lembaga lain, juga  hak masyarakat, ke dalam genggamannya sendiri.

Lagipula, apa yang akan diperdebatkan? Menunjukkan kandidat mana yang paling pintar, paling jujur, paling adil, paling kompeten, dan karenanya paling layak dipilih sebagai Walikota-Wawali KK 20132018? Melihat perilaku mereka, menurut hemat saya, debat kandidat itu perbuatan sia-sia yang satu-satunya kegunaannya adalah KPU KK seolah-olah bekerja dan dana Pilwako sudah dimanfaatkan dengan benar.

Kucing di Pilwako KK sudah kita kenal. Dia bukan kucing dalam karung yang nantinya ras, jenis kelamin, dan warnanya jadi kejutan. Mana kucing garong, kucing rumah, kucing liar, sudah dimahfumi masyarakat se-KK. Jadi, KPU dan para kandidat serta Parpol pengusung, mari kita nikmati saja pesta ini sebagai pesta. Tidak lebih atau kurang. Tak perlu pura-pura intelek, visioner, apalagi jujur dan bermartabat.

Rakyat banyak sudah tahu dan siap menanggung akibat apapun dari pilihannya.***