Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, July 1, 2013

PNS KK: ‘’Goso Jo Sampe Mangkilap’’


DI ZAMAN kasur umumnya masih terbuat dari kapas dan dihampar di ranjang kayu, kutu busuk (sering pula disebut ‘’bangsat’’) menjadi teror menyiksa. Jangan berharap ada nyenyak bagi yang tidur di atas kasur dan ranjang yang dibiaki hewan sialan ini.

Berbeda dengan nyamuk yang setidaknya bisa ditanggulangi dengan menyelimuti tubuh rapat-rapat; hanya ada satu cara memenangkan perang melawan kutu busuk. Beber kasur yang digunakan di bawah panggangan terik matahari, semprot seluruh ranjang dengan racun serangga, cuci, dan jemur. Agar gangguan tak berulang, jemur-menjemur kasur minimal dilakukan sekali sebulan dan ritual ‘’meruwat ranjang’’ paling tidak setiap enam bulan sekali.

Selain kutu busuk, tikus adalah momok lain yang bikin jengkel. Di masa ketika wilayah Jalan Amal umumnya masih persawahan, di saat-saat tertentu ada saja tikus yang kesasar menjarah rumah orangtua kami. Kalau cuma lemari makan yang dibobol atau karung beras yang dikerat, paling-paling kami sekeluarga harus sabar menikmati omelan Ibu. Celakalah bila sepatu atau buku dan tas sekolah yang dianiaya.

Di luar itu, sesekali ada kaki seribu yang iseng jalan-jalan masuk rumah (biasanya di musim penghujan), menyelinap di ranjang, dan tengah malam salah satu dari kami bersaudara melolong dihajar sengatannya. Akan halnya ular yang biasanya banyak di area persawahan yang dikelilingi kebun dan semak, justru sangat jarang disua. Kalau pun ada ular yang ditemui, jenisnya lebih sekadar menggelikan dibanding membahayakan. Biasanya piton yang konsumsi utamanya adalah tikus.

Tak mengherankan di masa kecil kami terbiasa menangkap ular dan menjadikan teman. Asal jangan sampai ketahuan Ibu atau Almarhumah Nenek, yang pasti bersegera mengangkat apapun yang ada di tangan untuk memusnahkan mainan eksotik itu. Jangankan ular, cacing saja bisa membuat mereka berteriak-teriak seolah langit akan runtuh di kepala.

Bagi Ibu dan Almarhumah Nenek, semua yang lidahnya bercabang, terlebih bersuara mendesis, pasti adalah kabar buruk. Bahaya besar! Kalau pun dia tidak beracun, belitannya tetap bisa merengut nyawa. Maka yang lidahnya bercabang dan mendesis harus disingkirkan dengan hantaman dodutu di kepala.

Untunglah kebanyakan bangsa ular yang ditemui di Bolaang Mongondow (Bolmong) bukan dari jenis langka dan terancam kelestariannya. Membunuh satu-dua piton atawa patola belum membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan blingsatan dan meneriakkan kecaman.

Lama setelah meninggalkan Jalan Amal dan sesekali pulang menengok orangtua, juga menyambangi kebun –yang tersebar di Kopandakan hingga Pusian--, saya perhatikan momok-momok masa kecil itu nyaris telah menghilang. Kutu busuk tak punya tempat lagi karena kasur sudah terbuat dari busa berteman ranjang besi atau kayu artificial; tikus habis dihalau kucing peliharaan adik bungsu; kaki seribu entah bertransmigrasi ke mana; dan ular kehilangan tempat berbiak.

Namun saya justru melihat (dan mengalami) hewan-hewan itu bermetamorfosis dalam perilaku segelintir orang Mongondow. Paling umum adalah perilaku ular yang  pertama kali saya cermati dengan serius menjelang, selama, dan sesudah pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bolmong Induk berlangsung 2011 lampau.

Ketika itu dengan telanjang dan terang-terangan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan aktivis mencaci dan mengolok-olok kandidat Bupati Salihi Mokodongan --yang berpasangan dengan calon Wakil Bupati (Wabup) Yani Tuuk. Tak akan pupus dari ingatan saya, misalnya, bagaimana salah seorang PNS bersafari kemana-mana meneriakkan hinaan dengan memplesetkan inisial Salihi Mokodongan, SBM, menjadi ‘’Salihi Belajar Membaca’’.

Begitu Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan Pilkada, Selasa (22 Maret 2011), keajaiban terjadi. Hanya dalam tempo singkat PNS-PNS yang mencaci, mengejek, merendahkan, dan menista berbondong menghaturkan takzim, seolah mereka adalah pendukung dan penyokong utama yang telah berdarah-darah mengantar dia ke kursi Bupati.

Hebatnya, bukan hanya dengan seketika menjadi orang dekat Bupati Bolmong dan istri, mereka juga sukses mendepak orang-orang yang dengan setia dan tanpa pamrih mengantar Salihi Mokodongan-Yani Tuuk ke kursi kekuasaan. Hingga hari ini ular-ular itu masih berkeliaran, melata, membelit, dan mendesis di sekitar Bupati Bolmong, istri, dan keluarga dekatnya.

Persulihan mirip ular berganti kulit itu pula yang terjadi hari ini tatkala rombongan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Kotamobagu (KK) menyambangi Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 terpilih, Tatong Bara (TB) dan Jainudin Damopolii (JD). Tidak perlu ditutup-tutupi, sebagian Kepala SKPD dan PNS bawahannya yang mengunjungi TB dan JD umum diketahui sejak lama terang-terangan memusuhi dan menghinakan mereka.

Mengingat aneka hujatan yang telah diruahkan ular-ular itu, terutama ke TB pribadi, saya hanya mengurut dada. Betapa tebalnya kulit muka mereka hingga tahan terhadap rasa malu yang mestinya ditanggung karena omongan yang ludahnya belum kering  dan perbuatan yang bekasnya masih berdarah. Tapi selalu ada kabar baik, paling tidak selain melestarikan ular, KK juga punya spesies hewan hibrida baru: badak.

Betapa cepat mereka berganti ‘’kulit’’? Bahkan ketika Djelantik Mokodompit masih sah sebagai Walikota KK, setidaknya hingga September 2013 mendatang. Betapa pula tidak profesional dan tahu dirinya mereka, beramai-ramai melakukan kunjungan yang dibalut alasan silahturrahim, di saat semestinya aparat birokrasi tengah memberikan pelayanan pada masyarakat.

Silahturrahim? Empat tahun baru, empat Idul Fitri, dan empat Idul Adha berlalu tanpa silahturrahim berombongan dan terbuka ke TB (sebagai Wawali KK 2008-2013) dari jajaran SKPD KK, lalu tiba-tiba praktek luhur agama dan hubungan sosial ini teringat? Alasan seperti ini jelas omongan orang dengan mulut bau got.

Tatong Bara boleh memberikan penghiburan dengan pernyataan, “Tidak usah terbawa suasana politik. Bekerjalah dengan profesional,” sebagaimana yang dipublikasi situs Totabuan.Co (PNS Kotamobagu Mulai ‘’PeDeKaTe’’ ke TB-JaDi, http://totabuan.co/2013/07/01/pns-kotamobagu-mulai-pedekate-ke-tb-jadi/), Senin, 1 Juli 2013. Walikota terpilih ini boleh pula menenangkan PNS yang selama ini bersikap dan bertindak tak profesional. Yang jadi konsern saya adalah: Apakah TB akhirnya bakal tergelincir seperti Salihi Mokodongan dengan membiarkan dirinya, sebagai Walikota terpilih, dibelit dan dibuai desis para ular?

Sayangnya kecambah keterlenaan itu sudah menunjukkan petanda. Dengan bersikap akomodatif, TB memberikan sinyal bahwa dia suka pula ‘’dijilat-jilat’’ dan ‘’di-goso-goso’’ oleh bawahan. Lagipula hanya pemimpin yang benar-benar berdaya tahan spartan yang kuat menahan godaan. Untuk soal ini, sejujurnya, saya tidak yakin dengan Walikota terpilih ini.

Jadi kita, warga KK, bersiap-siap saja mengikhlaskan bila pada akhirnya para ular yang sebelumnya oposan kelas wahid ternyata sukses berganti kulit menjadi lingkaran dekat Walikota TB-Wawali JD. Tuhan menciptakan dada manusia dengan skala lebih luas dari bagian tubuh lain agar kita tak kesulitan mengusap-ngusap setiap kali melihat dan menyua hal-ihwal yang mematah hati.

Sementara itu, pada mereka yang terbukti pakar bersulih rupa dan ganti kulit, goso jo sampe mangkilap! Hanya berhati-hatilah, kami yang tumbuh di masa sebagian wilayah KK masih belukar, persawahan, dan kebun, terbiasa menjadikan ular sekadar mainan dan kesenangan.***