Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, July 2, 2013

Di Jembatan Kaiya Pesan Itu Dititip


BILA satu saat di waktu dekat ini memergok saya sedang berdiri di depan salah satu tiang Jembatan Kaiya –yang melintas di atas Sungai Ongkag, di persimpangan tak jauh dari Inobonto ke arah Kotamobagu dan Lolak--, tak perlu berprasangka ada ritual yang tengah dideras. Saya belum menjadi penggemar jin penunggu jembatan, tidak pula mengintai buaya yang mungkin masih berkeliaran di sungai di bawahnya, ancang-ancang melontar kail, atau bahkan mengincar baut dan besi jembatan.

Kawan dan kerabat jangan pula menduga saya sudah meheng dan buru-buru mengontak orangtua di Jalan Amal atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ratumbuysang, andai mengetahui saya sedang bercakap-cakap dengan salah satu tiang Jembatan Kaiya. Saya sepenuhnya waras, tahu persis apa yang dilakukan, dan karena mungkin ini cara terbaik menyampaikan pendapat dan kritik terhadap praktek-praktek politik, pemerintahan, dan birokrasi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

Mengapa di Jembatan Kaiya? Apakah karena saya terpengaruh salah satu karya novelis Brazil, Paulo Coelho, By the River Piedra I sat Down and Wept atau Na margem do rio Piedra eu santei e chorei (1994)?

Sama sekali tidak. Tulisan penerima Crystal Award dari World Economic Forum dan France’s  Legion d’honneur yang merupakan bagian pertama dari trilogi On the Seventh Day (dua yang lain adalah Veronika Decides to Die atau Veronika decide morrer, 1998 dan The Devil and Miss Prym atau O Demônio e a srta Prym, 2000) itu,memang dasyat dan menginspirasi. Tentang satu minggu dimana seseorang yang biasa mengalami hal-hal yang luar biasa.

Tidak! Sebagai bagian dari komunitas besar orang Mongondow, bukan hanya satu minggu melainkan setiap hari, sebagai warga biasa saya mengalami hal-hal yang luar biasa.

Beberapa hari terakhir, misalnya, saya ikut geram dan mengutuk ketika Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah ditemukan tewas menggenaskan di dalam ruangan Salon Ayu miliknya di Kelurahan Kotamobagu, Kota Kotamobagu (KK). Saya ikut larut dalam sukacita orang-orang Kotamobagu yang mendapat ‘’serangan 24 jam’’ dari para kandidat calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018. Dan saya menghanyutkan diri bersama sukaria orang banyak ketika Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) memenangi pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako) KK.

Peristiwa-peristiwa itu luar biasa, mewarnai kehidupan saya, dan menyeret saya (sebagai warga Mongondow) terlibat di dalamnya. Sama luar biasanya dengan hasil penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berturutan keluar dan diterima kabupaten dan kota di wilayah Mongondow. Terakhir adalah Kabupaten Bolmong yang sukses menerima penilaian disclaimer dua kali berentengan, Tahun Anggaran (TA) 2011 dan 2012.

Tak jelas benar kapan disclaimer untuk TA 2012 resmi diterima Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Pejabat-pejabat berwenang yang dihubungi media hampir seluruhnya mengeluarkan ‘’jurus pura-pura sibuk menghindarkan pertanyaan’’ atau aksi pamungkas ‘’bekeng stau jo’’. Bukan hanya orang banyak, khususnya warga Bolmong, yang bertanya-tanya. Jajaran birokrasi di lingkungan Pemkab pun tak kurang terlongo-longonya.

Padahal disclaimer bukanlah cap hukuman mati atau aib tak terampunkan. Tengoklah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) yang di Tahun Anggaran 2010 dan 2011 mendapat predikat sama, yang bangkit dan akhirnya pada Kamis, 13 Juni 2013, naik peringkat ke Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Saya tahu persis bagaimana sumringahnya Bupati Sehan Lanjar dan jajarannya ‘’dinaik-kelaskan’’ dalam urusan pengelolaan keuangan daerah oleh BPK. Hari itu, sebelum Bupati resmi menerima WDP, hampir satu jam kami beriuangan dan berbual-bual ditemani kopi, sembari tak henti terbahak-bahak.

Saya ingat sewaktu Boltim menerima disclaimer kedua kalinya, 2012 lalu, saya sempat mengingatkan Bupati yang akrab disapa Eyang ini, bahwa dia mesti menjelaskan pada seluruh warga Boltim apa dan mengapa sampai predikat jelek itu tersemat. Di saat yang sama, birokrasi juga mesti diletup punggungnya agar patuh pada ketatalaksanaan pengelolaan keuangan.

Capaian WDP TA 2012 itu tentu bukan karena kebetulan saya sempat berbicara dengan Bupati, melainkan Eyang sebagai pemimpin pemerintahan dan birokrasi memang mau terbuka, mau bicara, mau mendengar, dan mau mengubah yang perlu diubah. Ihwal terbuka dan mendengar, harus diakui Eyang memiliki kontrol emosi yang terjaga, seberapa kejam sekali pun kritik yang disampaikan padanya.

Keterbukaan, kesediaan bicara, dan kerelaan mendengar jadi kelebihan Eyang dibanding Walikota dan Bupati lain di wilayah Mongondow. Walau kita juga mesti siap, setelah mendengarkan tiga kalimat yang disampaikan, dia akan balik dengan pendapat, bantahan, atau penjelasannya yang cukup untuk disusun menjadi satu dokumen pertanggungjawaban Bupati di Paripurna DPR.

Tentu tidak adil membandingkan Eyang dan Bupati Salihi Mokodongan. Eyang adalah politikus alamiah yang matang dan khatam sangkarut-kelindang politik pemerintahan, dan birokrasi. Akan halnya Salihi Mokodongan, dia entrepreneur sukses yang lalu terjun ke politik dan menjadi pemimpin pemerintahan dan birokrasi di Bolmong hampir hanya ‘’bermodal nekad’’.

Repotnya, kendati cukup terbuka, mau bicara, (tampak) mau mendengar, dan mungkin mau mengubah, sejauh ini tak ada apapun yang berhasil dia capai di dua tahun pemerintahannya dan Wakil Bupati (Wabup) Yani Tuuk. Catatan yang saya kumpulkan dari amatan selama ini menunjukkan, kebanyakan pernyataan yang dilontarkan Bupati Salihi Mokodongan berakhir sebagai sekadar ‘’ancaman’’ dan ‘’peringatan’’ kosong.

‘’Akan menegakkan disiplin PNS, ‘’Melakukan pengawasan lebih ketat’’, atau ‘’Memperingatkan agar jajaran Pemkab Bolmong melaksanakan tugas dengan profesional dan bertanggungjawab’’, sudah menjadi mantra penghias media massa yang lama kehilangan tuah. Siapa yang peduli dan takut terhadap Bupati, bila tindakan yang sedianya dapat dilakukan untuk menunjukkan wewenang dan keseriusannya, mudah diveto tangan-tangan lain yang de facto lebih berkuasa.

Karena itu saya menyimpan berbagai saran, masukan, kritik, yang semestinya diucapkan –atau dituliskan—demi kemajuan Kabupaten Bolmong. Percuma menyampaikan sesuatu yang dianggap sekadar kicauan orang ‘’gila urusan’’ dan kurang kerjaan.

Sekali pun demikian, lama-kelamaan saya tak bisa membuta-tuli pada sejumlah banyak usikan yang berdatangan, yang di hari-hari belakangan ini utamanya menanyakan, ‘’Apa pendapat Anda tentang disclaimer yang diterima Pemkab Bolmong untuk kedua kalinya?’’ Demi ketenangan hari-hari saya yang selalu menakjubkan, hormat pada Bupati Bolmong dan jajarannya, serta warga Mongondow umumnya, saya sudah menumpahkan segala sesuatu (kritik hingga cacian brutal) pada salah satu tiang yang menopang Jembatan Kaiya.

Saya berharap semoga tiang jembatan itu menyampaikan sesegera mungkin ke Bupati dan jajarannya. Siapa tahu, sekecil apapun itu, mungkin berguna bagi kemajuan Kabupaten Bolmong ke depan.***