Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, July 27, 2013

‘’Kong Apa Lei?’’


GUGATAN sengketa Pemilihan Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) di Mahkamah Konstitusi (MK) berakhir tanpa kejutannya. Di sidang yang berlangsung Rabu (24 Juli 2013), Majelis Hakim yang diketuai Akil Muchtar sepakat menolak seluruh gugatan pasangan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) serta tidak dapat menerima gugatan kandidat Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (NM-SRS).

Putusan MK itu mengabsahkan penetapan Walikota-Wawali 2013-2018 terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, Jumat (28 Juni 2013). Dengan demikian, Tatong Bara- Jainudin Damopolii (TB-JD) yang memperoleh suara terbanyak di Pilwako, Senin (24 Juni 2012), dipastikan dilantik September mendatang sebagai pemimpin pemerintahan dan birokrasi KK lima tahun ke depan.

Saya berharap pasangan ini tetap seiring-sejalan hingga masa kepemimpinan mereka berakhir. Selama hampir lima tahun terakhir warga KK sudah terlampau kenyang dan bosan menyaksikan bagaimana Walikota-Wawali saling membalikkan badan, berseteru bagai anjing dan kucing.

Sebelum melantur kemana-mana, berkenaan dengan putusan MK, saya mencatat dua salah-kaprah dan tingkah menggelikan. Pertama, kebanyakan pendukung dan simpatisan TB-JD (terutama ‘’tim hore’’ dari kalangan pengawai negeri sipil –PNS—dan kontraktor yang berbondong-bondong ke Jakarta), memaknai putusan itu sebagai kemenangan jagoannya. Sehari kemudian orang banyak pun beramai-ramai menyambut pasangan ini dengan hiruk-pikuk konvoi.

Ah, penyakit konvoi warisan pemerintahan Walikota DjM rupanya perlu dilestarikan. Padahal, yang digugat adalah KPU KK. Karenanya KPU KK-lah yang memenangkan perkara itu. Kalau pun mesti diarak dengan konvoi bagai pahlawan, semestinya itu dilakukan terhadap Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, dan jajarannya yang sudah membuktikan mereka sukses menggelar Pilwako dengan cara yang pantas serta dapat diterima aturan hukum dan demokrasi di negeri ini.

Tanpa keteguhan KPU melaksanakan tugas, Pilwako KK sebenarnya berpotensi jadi pesta yang berakhir kacau-balau. Tak percuma KPU KK dipimpin sarjana hukum seperti Nayodo (yang kembali mencalonkan diri dan saya meyakini dia bakal terpilih kembali –sungguh gila standar kinerja di negeri ini bila prestasinya mengawal Pilwako dianggap ‘’daong lemong’’ belaka) yang tak segan menggugurkan calon yang tak memenuhi syarat; atau melingkari kantor KPU dengan kawat berduri demi lancarnya Pilwako.

Kedua, berbondongnya PNS (ajaibnya kebanyakan wajah-wajah yang memenuhi MK justru berasal dari Kabupaten Bolaang Mongondow –Bolmong—Induk) dan kontraktor di hari putusan penolakan gugatan DjM-RS dan NM-SRS dijatuhkan, adalah sirkus menggelikan sekaligus mengundang prihatin. Apa urusannya mereka bergerombol, berhimpun dalam ‘’tim hore’’, sekadar menciptakan kebisingan (juga membuang-buang duit) tak perlu?

Apakah kehadiran berombongan, lengkap dengan tepuk tangan yang membuat Ketua Majelis Hakim MK sempat menunjukkan mimik jengkel, adalah isyarat mulai menangih komitmen-komitmen di balik meja? Atau, sebagaimana kebiasaan klasik, setiap orang bersegera mendekat ke politikus yang memenangkan kursi kekuasaan agar tampak berkontribusi maksimal?

Kebiasaan ‘’berebut mengambil nomor punggung’’ itu sungguh memuakkan. Begitu terburu-burunya-kah setiap orang ingin segera menerima berkah terpilihnya TB-JD hingga mereka mengabaikan kesabaran dan sopan santun? Melupakan bahwa pertarungan panjang yang dilalui pemenang memerlukan jeda agar akal sehat, kewarasan, juga tubuh yang penat dapat sejenak diistirahatkan.

Pengecualiannya, tentu saja, bila TB-JD memang secara alamiah menyukai sanjungan, gosokan, tepuk-tangan, dan sorak-sorai, yang selalu datang bersamaan dengan kekuasaan. Bila ini duduk soal fundamentalnya, patut diingatkan bahwa setiap kali seseorang di puncak kekuasaan terlena, dia bakal terjaga ketika jatuh berdebum di akhir masa jabatan dengan tanpa satu pendukung pun yang tersisa.

Lihatlah hari-hari kini yang dijalani Djelantik Mokodompit setelah kekalahannya di Pilwako. Sesiapakah lagi yang berbondong menyanyikan sanjungan, gosokan, tepuk-tangan, dan sorak-sorai? Hampir tak ada, kecuali sejumlah orang yang kian hari kian menunjukkan wajah bosan dan sebal. Yang sekadar ada di sekitar semata-mata karena belas kasih manusiawi.

Dari selentingan yang saya dengar, di antara hirupan kopi dan bual-bual usai berbuka puasa selama persidangan MK berlangsung, hari-hari Djelantik Mokodompit dihabiskan bagai gembala kehilangan bebek yang sebelumnya riuh mengiringi kemana dia pergi. Dia kerap duduk tersuruk di antara kepul asap rokok tanpa henti dan hanya ditemani satu-dua orang yang bersuka-rela menunjukkan loyalitas hingga detik terakhir.

Sesungguhnya, tanpa bisik-bisik dari para pengantar cerita dan kisah, dari kejauhan saya dapat merasakan nestapa yang merudung Djelantik Mokodompit. Dari lubuk hati terdalam, saya ingin menyambangi dia dan mengingatkan, bahwa (mengutip Nayodo Kurniawan), ‘’Game is over.’’  Waktunya berkontemplasi, melihat ke belakang, mengevaluasi apa yang terjadi hingga dia terjerembab dari kursi Walikota, lalu menata apa yang dapat dilakukan di masa depan. Djelantik adalah politikus dalam perngertian utuh. Yang semestinya tahu persis bahwa selalu ada jalan kembali yang elegan dan bermartabat setelah kalah dalam satu kompetisi.

Mengikuti nafsu dan ambisi yang tak berbatas hanya akan menjadikan kejatuhannya sama tak berbatasnya. Pula, mendengarkan para penasehat, khususnya yang sok tahu dan amatir, cuma memperdalam lobang kubur sendiri. Menggugat KPU KK ke MK adalah contoh putusan yang didasari kekalapan orang kalah dan bisikan mulut-mulut busuk yang gemar mengail di air keruh. Mulut-mulut biadab inilah yang sesungguhnya paling bersuka-ria di balik kemenangan TB-JD, karena mereka masih terus-menerus berhasil memeras sumber daya apa saja yang masih tersisa dari Djelantik Mokodompit.

Sembari menjadikan nestapa kekalahan Djelantik yang datang tak henti bagai ombak di Pantai Lolan, saya menunggu-nunggu langkah apa lagi yang dia, para penasehat serta tim dibelakangnya rumuskan. Siapa tahu kebodohan yang terus-menerus mereka lakukan justru bagian dari strategi dan taktik jenius yang tidak mampu dibaca awam dan naif seperti saya dan kebanyakan warga Mongondow.***