Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, July 4, 2013

Djelas Dua Jempol untuk Djelantik Mokodompit


BERBAHAGIALAH warga Kota Kotamobagu (KK). Hari-hari terakhir ini mereka sedang menyaksikan lahirnya seorang tokoh yang bakal melegenda di Mongondow dan di kalangan orang Mongondow yang masih merawat keterikatan dengan tanah asalnya.

Tokoh yang namanya akan dikenang dan dirujuk itu, terutama setiap kali ada peristiwa politik semisal pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan umum (Pemilu), punya kegigihan, keliatan, daya tahan, serta yang terpenting sikap ‘’nimau tau’’ dan ‘’nintau diri’’. Dia, tokoh kita ini, tak lain dan tak bukan adalah Djelantik Mokodompit, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dua kali mantan calon Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) ketika kabupaten ini belum dimekarkan, sebentar lagi akan mantan Walikota KK, dan ‘’mungkin’’ bakal calon anggota DPR KK 2014-2019.

Di jagad politik Sulawesi Utara (Sulut) Djelantik Mokodompit adalah contoh politikus berdaya tahan tinggi. Merintis karir di bidang koperasi, dia dengan cepat memperoleh pengaruh yang lalu digunakan sebagai batu loncatan ke politik praktis. Tak usah ditegok lagi jejak perkoperasiannya. Sepengetahuan saya koperasi-koperasi di mana dia pernah terlibat tinggal kabar angin sepoi-sepoi. Beda dengan sepak-terjang politiknya.

Lewat Partai Golkar (PG) Djelantik Mokodompit meraih dukungan ke DPR RI. Dua periode duduk mewakili masyarakat Sulut di lembaga tinggi negara ini, dia sukses menjadi politikus biasa-biasa saja. Tak terdengar bersuara, tak pula dikutip satu pun media massa terbitan Jakarta. Yang saya tahu, dari cerita dan komentar-komentar selintas, ‘’Dia so kaya!’’

DPR RI tampaknya kurang menantang, karenanya dia lalu kembali ke Bolmong dan terjun di kompetisi pemilihan Bupati. Kita tahu (ketika itu) DPR Bolmong lebih memilih Marlina Moha-Siahaan ketimbang Djelantik Mokodompit.

Zaman berganti dan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) tak lagi dipilih DPR. Era pemilihan langsung menjelang. Bermodal dukungan yang dimotori Partai Amanat Nasional (PAN), Djelantik Mokodompit sekali lagi menyasar jabatan Bupati Bolmong, menghadapi incumbent Marlina Moha-Siahaan. Dan kembali dia tersungkur.

Peruntungannya membaik tatkala berlaga di pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK berpasangan dengan Tatong Bara. Bukan diusung partai asalnya, melainkan –sekali lagi— disokong PAN. Kali ini Djelantik Mokodompit berhasil menggapai impiannya. Dia terpilih sebagai Walikota KK 2008-2013. Kekuasaan di tangan pun kian lengkap karena dia ‘’pulang rumah’’ ke PG dan berjaya meraih kursi Ketua DPD KK. Dia adalah Walikota sekaligus tokoh paling kuat yang mengontrol partai dengan perolehan suara mayoritas di DPR.

Sembari bersegera menancapkan kekuasaan dan pengaruh di KK, mengikuti ‘’manual politik khas Indonesia, dia mendorong keluarga dan orang-orang sangat dipercaya merambah politik. Yang pertama mendudukkan anak tertua, Raski Mokodompit, ke DPR Provinsi Sulut. Berikutnya, cermati saja Daftar Calon Sementara (DSC) PG untuk Pemilu 2014, temukan dan hitung sendiri siapa-siapa calon legislator yang terkait langsung dengan Djelantik Mokodompit. Mulai dari anak kandung, adik atau kakak, sepupu, hingga mereka yang sehari-hari kita kenal sebagai ‘’antek-antek’’ setianya.

Tak pelak hingga di hari ‘’H’’ Pilwako, Senin, 24 Juni 2013, hanya sedikit orang yang percaya Djelantik Mokodompit akan gagal mempertahankan jabatan Walikota KK. Harus diakui, keyakinan dia tetap berkuasa hingga 2018, bagi politikus, praktisi politik, dan pengamat amatiran, berdiri di atas alasan kokoh. Apalagi pilihan berpasangan dengan Rustam Simbala, membuat dia menyatukan kekuatan dua rakasasa: PG dan PDI Perjuangan. Mesin dua partai ini diperkuat pula pengerahan aparat birokrasi serta kecukupan dana.

Tidak mengherankan di hari-hari kampanye Pilwako pendukung dan penyokong Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) merajalela. Tanpa sungkan mereka menyerang, mengecilkan, dan meremehkan kandidat lain dan pendukungnya, khususnya pasangan yang jadi pesaing utama, Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD). Seolah-olah keajaiban sekali pun tak bakal membuat jagoan mereka kalah.

Padahal, rasionalitas lain yang tak kurang kuatnya menunjukkan, bagi mayoritas warga KK, Djelantik Mokodompit bagai buku yang harus segera ditutup. Sampulnya saja yang mentereng. Tampak bagus, elegan dan berkelas. Isinya, ternyata cuma roman ternyata picisan yang kelasnya jauh di bawah selera umumnya warga Kotamobagu.

Perolehan DjM-RS yang hanya 27.768 suara dari total 71.350 suara sah di Pilwako KK adalah bukti obyektif Djelantik Mokodompit memang tak memiliki cukup kredibilitas di hadapan masyarakat yang dia pimpin. Dengan ditambahkannya warga yang menolak menggunakan hak pilih, sekitar 15 ribu orang, kita dapat menyimpulkan: Cuma sekitar seperempat penduduk KK yang masih bersedia memberi dia kesempatan berkuasa kedua kalinya.

Modal sosial itu –saya yakin tidak seluruhnya diperoleh karena keikhlasan pemilik suara— yang masih dipertaruhkan lagi lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Situs Totabuan.Co (http://totabuan.co/2013/07/03/djelas-resmi-ajukan-gugat-ke-mk/), Rabu (3 Juni 2013), lewat berita bertajuk DjelaS Resmi Ajukan Gugat ke MK memastikan langkah hukum pasangan DjM-RS.

Tidak perlu menduga-duga. MK pasti menolak gugatan itu. Cuma sarjana hukum yang tak paham arti tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang gemar membentur-benturkan kepala kosongnya ke tembok batu. Ada pelanggaran luar biasa apa di Pilwako KK bila hingga tulisan ini dibuat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) hanya punya satu laporan (tertulis), itu pun tanpa disertai bukti dan saksi?

Sembari menanti atraksi aktor-aktor  Pilwako di MK, kita simak dulu (katanya) wacana pencalonan Djelantik Mokodompit sebagai anggota DPR KK dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kotamobagu Barat dan selanjutnya Ketua DPR KK 2014-2019. Agar gadang-gadang ini terwujud, dia harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari jabatan Walikota. Namun rentang waktunya sangat kasip, mengingat Daftar Calon tetap (DCT) Calon Legislatif (Caleg) kini sedang difinalisasi.

Kalau PG sungguh-sungguh mencalegkan Djelantik Mokodompit di Pemilu 2014, tercatat atau tidak di DPT, dia telah menjadi legenda. Terlebih bila pencalegannya sukses dan ternyata gagal meraih kursi –artinya musnah pula cita-cita menduduki kursi Ketua DPR. Dia akan menjadi misal dari semua nasihat orang-orang tua Mongondow terhadap generasi di bawah yang berkiprah di dunia politik: ‘’Kong bae-bae ba politik, jang sama dengan Djelantik Mokodompit!’’

Saya menunggu lahirnya legenda politik Mongondow itu dengan dada ditambur debar.***