Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, July 28, 2013

''Tura'!''


LEBIH dua tahun Marlina Moha-Siahaan menanggalkan jabatan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Ketika itu, Kamis (5 Mei 2011), saya megiringi purna tugasnya dengan mengutip penyanyi balada Amerika, Woodrow Wilson ‘’Woody’’ Guthrie (1912-1967), ‘’So Long It's Been Good to Know You.’’

Mama Didi –demikian saya menyapa mantan Bupat dua periode ini—melepas kursi kekuasan tanpa keriuhan. Tapi dia sesungguhnya tidak meninggalkan dunia politik. Tanpa banyak cincong, sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong (pemilik fraksi terbesar di DPR kabupaten ini), Mama Didi tetap bergiat. Dan saya, mungkin pula kita semua, dengan respek menyaksikan seorang politikus elegan yang tahu di saat mana harus tampil dan kapan berhibernasi.

Masa-masa tak banyak tampilnya Mama Didi di panggung politik Mongondow saya ikuti dengan penuh hormat. Tidak ada lagi kritik, apalagi celaaan terhadap dia. Bahkan ketika isu Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) mengemuka dan namanya diseret-seret, saya berpendapat lain.

Apapun yang telah terjadi, semestinya Mama Didi dibebaskan dari segala tanggungjawab. Baik atau buruk, lebih atau kurang, 10 tahun dia sudah melaksanakan tugas memimpin Bolmong. Bila ternyata ada keliru yang berakibat tindak pidana, mengapa para staf dan orang-orang kepercayaan di saat dia masih Berjaya di kursi Bupati, membiarkan atau bahkan ikut mendorong dengan sukarela?

Menghormati dan menjaga kehormatan Mama Didi (serta mantan tokoh-tokoh publik Mongondow lainnya) adalah ekspresi martabat semua orang Mongondow. Dan bila dia kemudian ingin kembali ke kancah politik, dengan saat ini mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), saya yakin putusan itu jauh dari pertimbangan emosional dan jangka pandek seorang politikus ambisius.

Telah lebih dua tahun dia menengok kembali 10 tahun kepemimpinannya di Bolmong Induk. Menelaah, mengevaluasi, dan mengkontemplasi apa yang sukses, gagal, atau masih sekadar mimpi. Saya yakin, waktu diamnya yang cukup panjang telah memberi perspektif dan pencerahan baru. Pada Mama Didi seorang dan kita semua.

Namun apa relevansi kembalinya Mama Didi ke panggung politik Mongondow dengan konteks kekinian? Adalah ambisi terbaru Walikota Kota kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), yang gagal meraih suara terbanyak di pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin lalu(24 Juni 2013), yang menghempaskan saya pada ingatan tentang Mama Didi.

Berita utama Radar Totabuan, Sabtu (27 Juli 2013), memajang tajuk mencolok, Djelantik Harus Segera Mundur. Tindakan mesti bersigegas mundur dari jabatan Walikota yang masih tersisa dua bulan ini, adalah salah satu syarat mutlak agar namanya tercantum sebagai salah satu calon legislatif (Caleg) DPR KK di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang. Saya membaca sepak-terjang mutakhir DjM itu dengan pikiran, ‘’Blum sampe di sana, eh, so kamari dia.’’

Tampaknya DjM tak punya kata ‘’cukup’’ di kamusnya. Di sisi lain, kata ini sendiri memiliki definisi yang sangat luas, namun sesungguhnya tak sulit dijelaskan. Contohnya, di tangan seseorang yang memahami dan mempraktekkan manajemen ekonomi rumah tangga dengan baik, uang senilai Rp 2 juta mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan diakhir bulan ada yang berhasil disisihkan sebagai tabungan. Sebaliknya, di tangan pemboros tak tahu diri, Rp 10 juta pun barangkali hanya selewat kedipan mata dan seluruhnya menguap dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Mungkin misal yang lebih tepat untuk kasus DjM adalah, dia seperti orang yang menghadapi sepiring sajian lezat di hadapan. Belum selesai yang ada di depan mata, dia sudah menjulurkan tangan, meraih piring baru dan ingin memenuhi dengan menu lain yang dianggap tak kalah enak. Di Mongondow jenis orang yang tak puas dengan apa yang masih menggunung lalu bersigegas meraup sajian lain yang belum tentu mampu dituntaskan, dicibir dengan sebutan tura’. Orang rakus. Yang tak mengenal kata cukup. Yang tak pernah puas. Yang ingin memamah seekor sapi, kambing, dan satu kandang ayam sendirian. Yang menganggap mulut, leher, dan perutnya mampu menampung seluruh hasil panen sawah dan ladang yang terhampar pandangan di ujung hidung.

Di negeri ini sekali pun, tak banyak politikus seperti DjM. Dua kali dipilih sebagai anggota DPR RI, dua kali gagal menjadi Bupati, satu periode berhasil menduduki kursi Walikota (dan Ketua DPD PG KK), tumbang dengan telak, lalu tanpa malu-malu bersegera memaksakan diri terdaftar Caleg untuk DPR KK. Apalagi yang dia kejar? Pengabdian? Omong kosong! Satu-satunya alasan adalah kekuasaan dan uang. Lainnya, DjM adalah jenis manusia yang patut diduga mengidap post power syndrome permanen, yang ketakutan terbesarnya adalah menjadi bukan siapa-siapa.

Agar tetap menjadi siapa-siapa, segala cara dihalalkan. Termasuk berupaya menerabas dan menyiasati aturan yang sudah menjadi pengetahuan baku umumnya warga masyarakat yang sadar politik. Saya tidak heran bila siasat memasukkan DjM sebagai Caleg Pemilu 2014 ternyata diaromahi bau busuk. Terlebih terlibatnya oknum anggota KPU KK yang dalam dua pekan terakhir sibuk kasak-kusuk, bergerilya mempengaruhi kolega-koleganya, bersikukuh meyakinkan bahwa pen-caleg-an DjM tidak melanggar hukum dan aturan.

Terhadap oknum anggota KPU KK itu, dengan sangat terpaksa saya (yang tidak punya cemaran pikiran suku, agama, ras, dan antar golongan –SARA) mesti mengingatkan: Anda tahu dirilah! Anda bukan orang Mongondow tetapi dengan iklas diterima sebagai bagian dari komunitas Mongondow. Dengan segala tipu-muslihat yang dijalankan saat ini, Anda sedang memprovokasi kami untuk beramai-ramai menendang Anda keluar dari wilayah Mongondow. Kesabaran ini ada batasnya, Bung!

Kalau DjM ingin menjadi Caleg DPR KK, biarkan dia berikhtiar dan berupaya dengan cara yang paling etis, bermartabat, serta sejalan dengan hukum dan aturan formal. Bahwa di sisi lain keinginan ini menunjukkan dia adalah contoh seburuk-buruknya orang rakus di KK, biarkan masyarakat yang menilai dan menjatuhkan pilihan di Pemilu 2014 mendatang.

Sebab itu saya tidak akan membandingkan DjM dengan Mama Didi. Saya hanya teringat pada Mama Didi, yang pada akhirnya, setelah lebih dua tahun melepas kursi Bupati Bolmong, menunjukkan kualitas potikus Mongondow yang 100 kali lebih baik dari DjM.***