Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, July 14, 2013

Dukungan Harakiri untuk Pecundang


LELAH masih merumbung sekujur badan karena penerbangan panjang non stop, Sabtu malam (13 Juli 2013), tatkala saya menyimak Risalah Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kotamobagu 2013 yang berlangsung Kamis (11 Juli 2013) di Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa bagian risalah perkara Nomor 88/PHPU.D.XI/2013 yang diajukan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) dan Nomor 89/PHPU.D.XI/2013 dari Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) tak urung membuat saya terbahak-bahak.

Orang Mongondow adalah etnis yang menyukai sikap main-main, keceriaan, dan tawa. Baku terek dan loleke, sepanjang tak kelewat batas (bahkan lewat-lewat sedikit pun sebenarnya tak mengapa) dianggap sekadar penyedap pergaulan sosial. Hebatnya, loleke in intau Mongondow termasuk yang ditujukan pada diri sendiri. Entah untuk menertawai ketololan sendiri, mengakui kekalahan, atau demi tindakan preventif sebelum aib sendiri dikuak oleh orang lain.

Membesar-besarkan diri, mengaku-ngaku paling ganteng, pintar, kaya, juga bagian dari loleke terhadap diri sendiri. Dan itulah yang saya baca dari pernyataan Kuasa Hukum DjM-RS, Dorel Almir, yang dengan percaya diri mengatakan, seandainya tidak ada kecurangan di Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin (24 Juni 2013) lalu, maka pemenangnya adalah DjM-RS. Keyakinan ini, menurut Kuasa Hukum DjM-RS, karena DjM adalah kandidat dengan prestasi luar biasa selama dia menduduki kursi Walikota KK 2008-2013.

Prestasi DjM, kata Kuasa Hukum, setidaknya ada enam. Masing-masing, terpilihnya Kota Kotamobagu (KK) sebagai Juara Umum Festival Bunaken dan mewakili Sulut ke ajang nasional 2009; mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari BKKBN 2010 dan 2011; penghargaan Manggala Karya; terpilih sebagai daerah otonomi baru terbaik di antara 54 kabupaten (catatan saya: seharusnya ditambahi ‘’kota’’) se-Indonesia; penghargaan dari Menteri Hukum dan HAM atas keberhasilan dalam pembinaan keluarga sadar hukum; dan memperoleh Adipura sebagai Kota Kecil Terbersih di Indonesia 2012 dan 2013.

Adapun pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif di Pilwako KK yang dilakukan pasangan pemenang, Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), antaranya praktik politik uang dengan modus baru. Bentuknya dengan membeli kartu undangan atau formulir model C-6 dari calon pemilih untuk dimusnahkan; atau melarang pemilih datang ke TPS dengan pemberian sejumlah uang, lalu kartu undangan yang bersangkutan diambil dan tidak dipergunakan. Akibat tindakan curang ini, menurut Kuasa Hukum DjM-RS, terdapat kurang-lebih 14.853 pemilih Pilwako KK yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Dalam menjalankan modusnya, Tim Pemenangan TB-JD melakukan pertemuan-pertemuan; kemudian mendatangi tempat tinggal warga, di jalan-jalan, dan di TPS, menawarkan membeli kartu undangan pemilih dengan harga bervariasi, berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per surat undangan. Sasaran utama ‘’operasi’’ ini adalah para pendukung DjM-RS. Alhasil, simpul Dorel Almir, apa yang dilakukan Tim Pemenangan TB-JD itu mempengaruhi hasil perolehan suara, khususnya suara DjM-RS.

Luar biasa logika yang diajukan Kuasa Hukum dan DjM-RS, terlebih gugatan mereka juga menyinggung kecurangan lain, termasuk pengerahan pegawai negeri sipil (PNS) oleh pasangan pemenang. Usai menyimak risalah sidang, saya bertepuk tangan.

Hanya, menurut hemat saya yang awam hukum, ada beberapa hal yang mengganjal dan jadi pertanyaan. Pertama, tidakkah prestasi DjM yang dikemukakan Kuasa Hukum terlampau sedikit? Semestinya dimasukkan pula prestasi lain, semisal kasus penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2009 yang menyeret beberapa pejabat teras KK ke bui; pembongkaran Mesjid Raya Baitul Makmur (MRBM) yang kini sudah pula terserempet kasus hukum; atau relokasi Pasar Serasi dan 23 Maret ke Poyowa Kecil dan Genggulang yang tak ketahuan nasibnya.

Harus ditambahkan pula prestasi pribadi DjM yang sudah ber-haji, umroh menjelang Pilwako berlangsung, pandai berkhotbah, dan olah suara di acara apapun di KK. Dengan demikian tidak ada alasan lain bagi warga KK, mereka mutlak harus memilih DjM sebagai Walikota 2013-2018. Sebab apa lagi yang kurang dari sosoknya?

Kedua, gugatan DjM-RS (juga NM-SRS) hanya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, tidak ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas), rakyat KK, bahkan Tuhan Yang Maha Esa? Kalau sedemikian banyaknya pelanggaran Pilwako yang terjadi, lalu Panwas tutup mata dan –sepengetahuan saya—hanya mengantongi satu laporan pelanggaran (itu pun tanpa bukti memadai), tidakkah institusi ini juga wajib digugat? Sama halnya, rakyat KK yang tidak tahu terima kasih sebab menutup mata terhadap prestasi luar biasa DjM sebagai Walikota 2008-2013, pantas pula diajukan ke hadapan mahkamah. Tega-teganya mereka makan sorok dan mengabaikan Walikota yang Rahmatan Lil Alamin ini hanya karena uang Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta?

Dan tak kurang penting, mengapa Tuhan Yang Maha Esa menutup mata dan tidak turut campur, mengingat DjM adalah pemimpin sekaligus umat teladan-Nya?

Ketiga, apakah dengan mengajukan daftar kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif oleh pasangan pemenang Pilwako KK ke MK, DJM-RS (pula NM-SRS) tentu berkeyakinan mereka tidak melakukan satu pun tindakan yang digugat itu? Bila demikian adanya, terkutuklah seluruh kita, terutama warga KK, yang mengabaikan fakta bahwa DjM bukan hanya berprestasi luar biasa sebagai Walikota 2008-2013 dan pribadi. Dia juga patut diusulkan sebagai Pahlawan Demokrasi di Mongondow.

Sekali lagi saya bertepuk tangan. Tampaknya masuk akal bila gugatan Pilwako KK mesti didukung agar MK menjatuhkan putusan Pilwako diulang dengan tetap diikuti empat pasang kandidat yang sudah berlaga. Saya –dan mungkin kebanyakan warga KK— tentu perlu memuaskan rasa penasaran seperti apa hasilnya nanti?

Sepengetahuan saya, menggungat hasil Pilwako dan memenangkan Pilwako adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Pilwako Kota Manado yang akhirnya menetapkan pasangan GS Vicky Lumentut-Harley AB Mangindaan dilaksanakan dua kali karena kandidat yang kalah menggugat dan MK memutuskan pemilihan mesti diulang. Hasilnya, Lumentut-Mangindaan tetap terpilih, bahkan dengan perolehan suara yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Kalau DjM-RS dan NM-SRS ingin menguji pilihan politik warga KK, mari kita beri mereka kesempatan. Di sisi lain, warga juga akhirnya berkesempatan menakar seberapa tidak masuk akalnya ambisi politik DjM sekaligus kekuatan kantongnya membiayai aneka pengeluaran yang bakal disedot Pilwako babak kedua. Siapa tahu masih ada duit-duit siluman yang terselip dan siap dikucurkan.

Di pelosok dunia mana pun, pemenang selalu mengundang otot-otot kuat, terutama finansial dan pengaruh, merapat dan memberikan dukungan. Di Pilwako KK kita sudah tahu siapa pemenang dan pecundang, Hanya mereka yang ketololannya minta ampun yang bersedia harakiri bersama pecundang.***