Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, July 30, 2013

PG KK, Di Manakah Kewarasan Itu?


PIKUK politik kerap membuat kita lupa pada akal sehat. Isu terbaru di Kota Kotamobagu (KK), perihal keinginan Walikota 2008-2013 yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatan, Djelantik Mokodompit (DjM), terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK, ditanggapi riuh-redah seolah-olah niatan itu punya peluang terwujud.

Saya membaca Radar Totabuan, Senin (29 Juli 2013), Djelantik Belum Menyerah, dengan ketidak-mengertian yang mendentang-dentang kepala. Apa maksud pernyataan optimis Sekretaris Partai Golkar (PG) KK, Saiful Abdul Kadir (dan para spekulan politik lainnya yang berserak di luar media), yang mengisyaratkan keinginan DjM itu bukan pikiran orang ambisius dan gila jabatan yang tengah dirudung putus asa? Dengan sejenak saja menegok hukum dan aturan formal di negeri ini, kita tahu bahwa DjM dan para pendukungnya sedang memaksa-maksakan kemustahilan.

Begini, pembaca, sewaktu DjM mencalonkan diri sebagai Walikota KK 2008-2013 (juga 2013-2018 dimana dia kalah telak), tak ada satu orang pun yang menodongkan meriam atau parang di tengkuknya. Dia yang justru mati-matian mengajukan diri, termasuk meninggalkan PG dan menggunakan Partai Amanat Nasional (PAN) agar lolos sebagai kandidat Walikota.

Siapa yang berani mengatakan diusungnya DjM sebagai kandidat Walikota 2008-2013 karena keinginan para pendukung atau (ketika itu) konstituen PG? Kalau DjM punya pendukung di konstituen dan partainya sendiri, dia tidak perlu menggunakan PAN sebagai kendaraan politik. Sama dengan kalau masyarakat berkehendak, semestinya sebagai petahana mudah bagi dia (juga PG dan PDI Perjuangan) mengantar DjM-Rustam Simbala (RS) sebagai Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK 2013-2018.

Klaim-mengklaim tidak tabu di ranah politik. Tapi setidaknya buktikanlah siapa-siapa para pendukung yang diaku-aku menginginkan DjM terdaftar sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 mendatang? Kalau sekadar dukungan satu-dua pembisik, tiga empat pengurus PG KK, tidak beda dengan memelihara delusi mengalomania DjM agar dia tetap merasa sebagai politikus papan atas di Mongondow. Kita tidak tahu hingga batas mana delusi itu tak berubah jadi kegilaan yang mesti ditangapi ahli jiwa, obat penenang, dan –mungkin—kejutan arus listrik.

Faktanya, tidak mudah bagi seorang Walikota yang masih menduduki jabatannya untuk mundur begitu saja, terlebih dengan alasan yang jauh dari masuk akal. Kenyataan lain, batas waktu penggantian Caleg di Daftar Calon Sementara (DCT) sudah sangat kasip. Tinggal menghitung hari yang kurang dari jumlah jari di satu tangan.

Mari kita sisihkan dulu hukum dan aturan formal (saya juga capek mengulak-ngalik undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan KPU). Kita gunakan saja referensi umum dan populis yang bersiliweran di media massa berkaitan dengan pengunduran diri (atau dimundurkannya) seorang pejabat publik setingkat Gubernur, Wakil Gubernur (Wagub), Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota, dan Wawali. Bagaimana urut-urutannya?

Gambaran singkat prosesnya kira-kira: Bila seorang Walikota mengundurkan diri, dia harus punya alasan kuat dan absah. Kursi Walikota bukan tempat duduk anak Taman Kanak-kanan (TK) yang ketika bosan atau merajuk boleh dilepeh dan ditinggalkan begitu saja. Sang pejabat menyampaikan pengunduran dirinya secara resmi DPR dan Gubernur. DPR, dalam konteks DjM adalah DPR KK, kemudian membahas dan menggelar pleno, memutuskan apakah keinginan itu disetujui atu tidak. Bila disetujui, DPR mengirimkan rekomendasi pada Gubernur, yang kemudian meneruskan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Semudah itu? Tidak juga. Gubernur mungkin punya pendapat lain yang berbeda dengan rekomendasi DPR. Demikian pula, Mendagri harus menimbang dengan cermat dan saksama dari segala aspek sebelum memutuskan menyetujui atau tidak pengunduran diri Walikota.

Dengan berbaik sangka, katakanlah DjM mendapat keistimewaan proses yang serba kilat, masing-masing tahapan itu dapat dilangsungkan dalam waktu dua hari atau total membutuhkan enam hari kerja. DPR KK besok sudah menerima surat pengunduran diri DJM, langsung membahas, dan besok menggelar pleno persetujuan. Satu hari kemudian rekomendasi DRP sudah selesai, dan langsung tiba di meja Gubernur. Tanpa membuang waktu Gubernur menelaah dan memutuskan menyetujui rekomendasi DPR, memerintah disiapkan surat ke Mendagri, yang telah pula ditunggu kurir ekspres agar tengat waktu terjaga ketat.

Dokumen-dokumen maha penting dari politikus yang tak kurang luar biasa pentingnya itu ditelaah, dipertimbangkan, dan disetujui. Persetujuan Mendagri langsung diketik, ditanda-tangani, dan dikirimkan ke Gubernur untuk diteruskan ke DPR KK.

Setelah itu sudahkah DjM sah turun dari kursi Walikota KK? Tentu tidak, sebab DPR mesti mengesahkan lagi lewat pleno. Secara paralel ada pula proses yang mengiringi penunjukkan penggantinya. Apakah Wawali yang menggantikan atau Pemerintah Pusat (lewat Mendagri) menunjukkan pelaksana harian (Plh) atau pejabat sementara (Pjs).

Pembaca, Anda sudah punya gambaran sejauh mana keinginan pen-Caleg-an DjM masuk akal orang waras atau tidak. Beralasan syarat minimal pen-Caleg-an DJM dapat dipenuhi cukup dengan keterangan dari lembaga dan pejabat berwenang bahwa pengunduran dirinya dalam proses, menurut saya bukan lagi pembengkokan hukum dan aturan. Kilahan seperti ini adalah upaya mematahkan dan meremukkan hukum dan aturan; menghina logika dan kewarasan orang banyak; dan provokasi agar KK luluh-latak oleh chaos.

Merujuk Pilwako KK, Senin (24 Juni 2013), katakanlah ada seperempat warga yang memiliki hak pilih mendukung DjM tetap eksis di panggung politik kota ini. Namun jangan dilupakan, tiga per empat lainnya bersikap sebaliknya. Meloloskan DjM sebagai Caleg DPR KK 2014, sekali pun dengan cara yang tidak melanggar hukum dan aturan, tetaplah praktek politik yang jauh dari etis, bermoral, dan bermartabat.

Memangnya siapa DjM dan segelintir orang yang kini memaksa-maksakan pen-Caleg-annya di KK? Apa pentingnya mereka bagi kelangsungan hidup warga kota ini, Mongondow, dan Sulut umumnya, hingga merasa berhak dan boleh mendapatkan keistimewaan?

Proses pen-Caleg-an Pemilu 2014 telah berlangsung berbulan dan sudah ditahap satu langkah sebelum final. KPU KK telah cukup kerepotan melaksanakan Pilwako dan disaat bersamaan bertanggungjawab agar Caleg DPR KK di Pemilu 2014 diproses di koridor ketaatan pada hukum dan aturan-aturannya. Penggantian Caleg yang tidak memenuhi syarat memang diizinkan, tetapi dengan tidak memaksakan pelanggaran atas hukum dan aturan, apalagi bertendensi sabotase politik.

Yang juga harus digaris-bawahi, pemaksaan agar DjM terdaftar sebagai Caleg DPR KK di Pemilu 2014 menunjukkan bahwa PG tak menghormati sistem dan mekanisme internalnya. Bahwa manajemen partai ini di Dewan Pengurus Daerah (DPD) KK karut-marut tak karuan. PG yang matang dari sisi usia dan khatam seluk-beluk manajemen politik, termasuk penempatan kader-kadernya di posisi-posisi publik, di KK ternyata diurusi para amatir yang gila jabatan, semena-mena, tidak tahu hukum dan aturan, dan bahkan mungkin telah kehilangan kewarasan.***