Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, September 25, 2013

Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’


BERITA itu terselip di antara pikuk kabar politik Mongondow, khususnya pelantikan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018, Minggu (22 September 2013). Status BlackBerry Messenger (BBM) seorang kawan, yang menulis (kurang lebih), ‘’Apa salah Kabag Humas Bolmut  hingga jadi tersangka?’’ yang mendorong keingintahuan saya.

Dari seorang kawan lain, jurnalis sebuah situs berita yang berpusat di KK, saya mendapat gambaran agak jelas, per 17 September 2013 Kejaksanaan (Kejari) Negeri Boroko menetapkan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) dan mantan Bendahara Bagian Humas sebagai tersangka tindak pidana korupsi (Tipikor). Tapi bagaimana seluk-beluk Tipikor yang menjerat dua birokrat itu, kawan wartawan ini mempersilahkan saya membuka tautan situs yang dia kirimkan.

Di tautan itu, http://www.swaramanado-online.com/index.php/daerah/bolmut/4728-kejari-tetapkan-kabag-humas-bolmut-dan-bendahara-jadi-tersangka.html, Senin (23 September 2013), terpampang berita dengan tajuk Kajari tetapkan Kabag Humas Bolmut dan bendahara jadi tersangka. Di tubuh berita kurang lebih dinyatakan penetapan kedua birokrat itu sebagai tersangka Tipikor lewat surat perintah penyidikan (Sprindik) Nomor 67/R.1.19/FD-I/09/2013 dan Nomor  68/R.1.19/FD-I/09/2013, tertanggal 17 September 2013. Dugaan kejahatan yang mereka lakukan berkaitan dengan penggunaan dana di pos anggaran pembayaran koran dan advertorial di Bagian Humas Pemkab Bolmut pada tahun anggaran (TA) 2012 dan 2013, masing-masing senilai Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar.

Bagi saya paparan di SwaraManado Online masih tetap tak menjawab pertanyaan mendasar: Apa yang mereka lakukan (dan modusnya) hingga terjerat Tipikor? Dan berapa besar kerugian negara yang diakibatkan ulah keduanya? Apakah mereka memanipulasi telah membayar nilai tertentu untuk sejumlah langganan koran dan publikasi advertorial, tetapi bukti-bukti yang ada di tangan Kejari menunjukkan tidak demikian faktanya? Lalu akibat ‘’kreativitas keduanya’’ negara dirugikan senilai rupiah tertentu?

Entah wartawan yang kurang jeli menggali atau pihak kejaksaan tidak piawai mengungkap duduk-soalnya, yang jelas dari konferensi pers di Kantor Kejari, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Boroko hanya mengemukakan, ‘’Kami saat ini belum bisa menjelaskan kepada publik total kerugian negara. Nanti setelah ada perhitungan dari auditor, barulah kami memberikan informasi secara terperinci.’’

Sejak booming media di Sulawesi Utara (Sulut) umumnya dan Mongondow khususnya, jumlah orang yang menyandang (atau mengaku) profesi wartawan melimpah ruah. Sebagian besar dengan modal nekad. Maka keajaiban-keajaiban pun terjadi. Reporter kemarin sore yang masih sulit membedakan kata kerja dan kata benda, titik dan koma, tiba-tiba didapuk sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred); redaktur dicomot begitu saja; dan reporter lahir dalam hitungan hari.

Hasil dari proses yang melawan hukum evolusi itu adalah media, wartawan, berita, dan tulisan yang centang-perenang. Alih-alih memuaskan keingintahuan dasar pembaca yang disasar, ketika menyimak kembali apa yang disajikan, wartawan atau penulisnya sendiri pun mungkin punya tanda-tanya tak kalah besar di kepala: Mengapa ini, bagaimana itu, siapa si anu, kapan, dan lain sebagainya, yang sesungguhnya adalah dasar paling sederhana yang harus dijawab seorang jurnalis sebelum dia menuliskan sesuatu pada para pembacanya.

Jurnalisme abot-abot kian menemukan tempat karena beberapa media mainstream di Sulut, yang semestinya dari sisi sejarah dan rekam-jejak telah mencapai kematangan, secara sadar mendudukkan isi publikasinya bukan lagi tentang ‘’fakta dan kebenaran’’. Mereka menjadi sekadar warung, toko, atau pusat belanja informasi yang setiap huruf, kata, dan tanda-tanda bacanya dinilai dengan rupiah.

Saya tidak perlu menyebutkan media mana saja yang memelopori kebijakan redaksi yang sebenarnya melawan seluruh prinsip-prinsip hakiki jurnalisme itu. Bukan rahasia lagi, hanya satu atau dua media yang terbit di Sulut (khususnya cetak) yang bebas dari halaman berbayar atau kontrak kerjasama antara media bersangkutan dengan pemerintah daerah (Pemda) –yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-- serta institusi bisnis. Salah satu penanda adalah dipajangnya foto pejabat publik tertinggi Pemda di sisi atas atau logo institusi bisnis yang terikat dalam kontrak kerjasama itu.

Sekali-dua menyua foto pejabat publik dengan uniform resmi lengkap (mirip foto-foto yang menghiasi ruang-ruang kantor pemerintah), kita masih bertoleran. Tetapi mana tahan bila setahun atau bahkan lima tahun berturut. Belum lagi isi pemberitaannya, yang diklaim sebagai produk jurnalistik, tidak berbeda dengan lelehan iler. Pembaca, kalau Anda tidak percaya, coba ambil salah satu media cetak dengan halaman yang saya gambarkan dan peras. Yang Anda panen adalah bual-bual para pejabat publik dan ludah hasil jilatan wartawan yang menulis.

Segala sampah yang dikonsumsi pembaca, yang membayar langganan per bulan atau sejumlah rupiah untuk edisi eceran, bernilai informasi sangat minim. Yang mengemuka hanyalah narsisme sejumlah kecil pejabat publik. Dan itu, khususnya dalam hal kontrak kerjasama antara media dan Pemda, adalah penyalahgunaan anggaran negara, hak rakyat, dengan kemasan seolah-olah demi komunikasi dan transparansi antara institusi dan pejabat pelayan publik dan masyarakat luas.

Melihat praktek ‘’pers APBD’’ itu, saya pun tak segan menyatakan bahwa daerah yang dipimpin oleh pejabat publik di Sulut (tak peduli Gubernur, Bupati, Walikota, atau jajaran di bawahnya) yang menyetujui kontrak kerjasama kerjasama pemberitaan, layak disebut dungu. Salah satu tugas media dan jurnalisnya adalah mengontrol kepentingan publik, perilaku lembaga dan pejabat publik. Kian banyak berita buruk yang disiarkan media semestinya harus disyukuri. Dengan demikian langkah pembenahan dapat dengan cepat diambil dan tepat sasaran.

Tetapi apa konteks repetan saya dengan ditetapkannya Kabag Humas dan mantan Bendahara Bagian Humas Pemkab Bolmut oleh Kejari Boroko? Ada tiga hal: Pertama, ‘’pers APBD’’ yang dipraktekkan di Sulut umumnya dan Mongondow khususnya membuktikan standar jurnalistik para pewartanya memang hampir menyentuh dasar sumur. Kedua, omongan pejabat publik (khususnya aparat berwenang) dikutip nyaris tanpa sikap kritis dan keingintahuan sebagai salah satu laku substantif seorang wartawan. Bukankah menetapkan seorang tersangka Tipikor tanpa penjelasan apa yang dilakukan dan modusnya; dan terlebih jumlah (sekali pun baru sekadar perkiraan) kerugian negara yang diakibatkan, adalah kesewenang-wenangnya yang juga melawan hukum?

Dan ketiga (sekaligus yang terpenting), kalau urusan langganan koran dan advertorial menjadi pintu masuk dugaan penyalagunaan uang negara, maka hampir seluruh pejabat publik tertinggi di Sulut harus diperiksa dengan dugaan yang sama, dengan bukti kontrak kerjasama pemberitaan antara Pemda dengan media yang isinya umumnya bukan demi kepentingan layanan publik.

Dengan menggunakan sedikit nalar, pengetahuan, dan kecermatan, kita tahu  bukti-bukti penyalahgunaan uang negara dalam urusan kontrak kerjasama media dan Pemda seterang tegakan Gunung Ambang atau Klabat.***