Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, September 27, 2013

Kabupaten Boltim, Kabupaten Pelaksana Tugas


POLITIK dan pemerintahan di Boltim sungguh sangat dinamis sejak Pilwako KK usai. Di beberapa bual-bual sosial yang saya ikuti dipercakapkan bahwa tensi tinggi yang menghangatkan kabupaten ini, khususnya yang dipertunjukan Bupati Sehan Lanjar, tak lepas dari kekalahan kakaknya, Muhamad Salim Lanjar, di Pilwako.

Mengingat pertemanan dengan Eyang, biasanya saya dengan penuh semangat mendebat pengait-ngaitkan seperti itu. Bukan soal benar-tidaknya isu yang dikemukakan, tetapi lebih pada adu argumen adalah penyegar pikiran dan untuk menggali lebih banyak info. Salah satu sifat alamiah para politikus dan aktivis, terlebih di Mongondow, ketika pendapat atau pernyataan mereka ditentang, apa yang ada di dalam kantong dan hati tanpa disadari ditumpahkan habis-habisan.

Saya yakin, setelah hati dingin dan akal sehat kembali menghuni batok kepala, peninglah yang bersangkutan. Boleh jadi sesumbar yang terlanjur diucap berbusa-busa dengan ludah memercik kemana-mana itu ternyata bagai menggali kubur sendiri. Contoh terkini dari ketidak-mampuan mengontrol mulut dan lidah itu melibatkan seorang aktivis yang cukup dikenal di seantero Mongondow dan KPU KK.

Begini ceritanya: Masuknya nama (mantan) Walikota KK, DjM, di DCT Pemilu 2014 digugat oleh PAN ke DKPP. Yang menjadi terduga –demikianlah bahasa yang digunakan di lembaga ini— adalah KPU KK. Orang ramai pun memperbincangkan isu ini, termasuk di sejumlah tempat bereriungan di Kotamobagu seperti Kopi Jarod atau Korot.

Lalu muncullah tokoh kita ini, yang di mana-mana mengklaim dan menyatakan dirinya sebagai pemikir di balik PAN dan para petingginya (terutama Walikota KK, TB, dan anggota DPR RI Sulut asal PAN, Yasti Mokoagow). Salah satu sesumbar yang menggelagar adalah pengakuan bahwa gugatan ke DKPP adalah hasil olah pikir dan strategi yang dia rumuskan. Dan bahwa dengan gugatan tersebut para personil KPU KK saat ini terancam dipecat dan tamat eksistensinya.

Omongan panas disaat suhu isu menggelegak itu ditangkap lalu disebarkan oleh para pendengar dan penyimak hingga akhirnya tiba di kuping ketua dan anggota KPU KK. Apa yang terjadi berikutnya? Dari yang saya ketahui, personil-personil KPU KK merasa amat disakiti dan tengah menyiapkan langkah yang pasti akan memukul telak yang bersangkutan.

Kembali ke isu utama tulisan ini, Boltim dan dinamika politik serta pemerintahannya. Sebagai bagian dari komunitas politik dan aktivis, walau menikmati berbagai cerita dan ‘’bocoran’’, saya berusaha keras menjaga prinsip: Pertama, jangan pernah menyebutkan sumber informasi bila itu membahayakan yang bersangkutan. Dua, jangan perdulikan sesumbar dan omong besar karena kadar kesahihan informasinya biasanya 20 persen benar, 60 persen cuma abab, dan 20 persen lainnya sangat meragukan. Ketiga, cross check berulang-ulang setiap informasi yang penting agar pada akhirnya yang didapat adalah subtansi, bukan ikutan yang sekadar bumbu dan penyedap. Dan keempat, bila akhirnya harus disampaikan pada pihak yang menjadi obyek isu, maka sifatnya adalah kritik, masukan, atau bahkan pertanyaan, bukan provokasi.

Dapat dibayangkan bagaimana nasib seorang PNS di Boltim yang jengkel dengan tabiat Eyang hampir tiga bulan terakhir, yang di setiap apel PNS selalu menyemburkan kemarahan, bila saya nakal dan menginformasikan kutipan asli serapahnya? Kendati secara faktual belakangan Bupati Boltim memang gemar marah-marah di hadapan para birokrat bawahannya, tak beda dengan perempuan yang sedang ‘’datang bulan’’ atau bahkan memasuki masa menopause.

Tanpa mengutip lebih rinci apa saja yang menjadi keberatan dari umumnya birokrat di Boltim terhadap kebiasaan ‘’darah tinggi’’ Eyang, saya tak sungkan mencontohkan ancaman mutasi dan pencopotan terhadap PNS yang berdomosili di KK adalah salah satu yang dianggap paling menggores perasaan. Bagi beberapa orang yang langsung menyampaikan keluhan ke saya, adalah hak Bupati merumuskan dan mengambil kebijakan apapun. Tetapi kalau kebijakan itu terlebih dahulu digunakan sebagai alat dan alasan menakut-nakuti bawahan, menurut mereka, ‘’Eh, kalu mo copot, noh copot jo. Nyanda usah banya’ ba lamu’,’’

Bila ditarik ke belakang, ke awal 2013, sebenarnya Eyang kian tidak asing dengan ancaman copot-mencopot birokrat di jajarannya, khususnya para Kepala SKPD. Seingat saya, dia bahkan mengkampanyekan bakal membawa SK pencopotan ke mana-mana. Dokumen ini sudah ditandatangani dan siap dibubuhi nama pejabat yang disua melakukan pelanggaran berulang atau tak termaafkan.

Mungkin Eyang terlupa dengan yang pernah diperjanjikan itu. Atau, dia ingat tetapi memilih cara yang lebih halus: tak bosan memarahi jajarannya. Namun, dengan demikian di balik punggungnya Eyang kerap dipercakapkan sebagai sosok yang ‘’mudah berjanji, mudah pula melupakan janji.’’ Persepsi ini bahkan diusulkan oleh salah seorang kawan (yang juga mengenal dekat Eyang) sebagai materi kampanye calon penantangnya di suksesi Bupati-Wabup Boltim dua tahun ke depan. Kata kawan ini, ‘’Pasang saja baliho di samping balihonya Eyang dengan tagline, ’Nyanda pang ba janji sama dengan di sablah’.’’ Ide yang sungguh jenius sekaligus mendidik.

Lalu-lintas percakapan tentang Boltim dan Bupatinya itu tiba-tiba mencapai anti klimaks tatkala Eyang benar-benar melakukan rolling pada Kamis, 19 September 2012. Dari pemberitaan Kontraonline (http://kontraonline.com/13584/rolling-pejabat-dan-penandatanganan-pakta-integritas-pemkab-boltim/), Rolling Pejabat dan Penandatanganan Pakta Integritas Pemkab Boltim, saya melihat ada 20 pejabat setingkat Kepala Dinas, Kepala Badan, dan Staf Ahli, yang dilantik. Ini belum terhitung dengan jajaran di bawahnya, semisal Sekretaris Dinas atau Badan, serta Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Bagian (Kabag).

Karena tidak percaya dengan spekulasi bahwa birokrat Boltim yang bermukim di KK tidak akan kebagian kursi, saya tak mencermati dan membandingkan siapa dan bermukim di mana orang-orang yang mendapat giliran diembani amanat oleh Eyang itu. Saya lebih tertarik (pula tercengang-cengang) karena 20 pejabat setingkat Kepala Dinas dan Kepala Badan yang dilantik ternyata tak diangkat definitif. Mereka hanya ‘’Plt’’ atau ‘’pelaksana tugas’’. Tanpa repot-repot mengumpulkan informasi dari seluruh negeri, kita sah bersyak lewat rolling yang dia lakukan Eyang berhasil membawa Boltim memecahkan rekor kabupaten dengan jumlah Plt Kepala Dinas dan Badan terbanyak di Indonesia.

Lucunya, setelah pelantikan para Plt itu beberapa kali saya menyua berita yang mengutip pernyataan Eyang, bahwa dia memberi kesempatan tiga bulan pada kabinet baru itu untuk membuktikan kinerjanya. Pertanyaannya: Bagaimana kalau setelah tiga bulan kinerja birokrasi di Boltim tetap jalan di tempat? Apakah Eyang akan mencopot para Plt itu dan menggantikan dengan Plt yang lain?

Cukup tersediakah stok birokrat yang memenuhi syarat kepangkatan dan pengalaman untuk jabatan Kepala Dinas dan Badan, sekali pun sekadar Plt? Tidakkah dikuatirkan, karena terbatasnya sumber daya, setelah evaluasi dilaksanakan Eyang akhirnya hanya dapat menukar para Plt itu dari satu posisi ke posisi yang lain, mirip permainan dam?

Pembaca, saya sungguh ingin mengetahui alasan kebijakan Plt massal yang diambil Eyang, antisipasi jangka menengah dan panjangnya terhadap masalah sumber daya birokrasi di Boltim, serta apa sesungguhnya visi besarnya terhadap pemerintahan dan pembangunan di kabupaten ini? Mudah-mudahan dalam waktu dekat ‘’cuaca hati’’ Eyang sudah cerah dan dia punya keluangan waktu menerima telepon atau anjangsana saya.

Saya sungguh berhati-hati, sebab menelepon atau beranjangsana di waktu, tempat, dan suasana hati yang salah bisa-bisa membuat posisi sebagai ‘’teman’’ dia degradasi menjadi ‘’Plt teman’’.***