Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, September 20, 2013

Hormat untuk Seorang Politikus dan Orang Mongondow


PANGGILAN yang masuk ke telepon saya, Jumat  pagi (20 September 2013), datang dari seseorang yang sama sekali tak saya duga. Karena telepon dalam posisi getar, maka panggilan tak terjawab itu baru saya lihat sesaat sebelum memulai salah satu rutinitas penting: menyeruput kopi sembari membaca perkembangan dunia terkini.

Nomor yang masuk itu tidak tercatat di address book saya. Sekali pun demikian, saya yang tidak pernah mengabaikan panggilan telepon (kecuali saat terlelap atau sedang tenggelam di tengah rapat penting), bersegera menelepon balik. Siapa pun yang menelepon di pagi hari wajib direspons, sebab hanya mereka yang memang benar-benar meluangkan waktu yang biasanya melakukan itu.

Tersentaklah saya tatkala mengetahui pemanggil yang tak terjawab itu ternyata Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018, Jainudin Damopolii (JD). Terus-terang, beberapa saat saya agak grogi, terlebih sewaktu Wawali menyebutkan namanya, ‘’Jainudin’’, setengah bergurau saya mengatakan, ‘’Jainudin yang mana? Satu-satunya Jainudin yang saya kenal adalah Wawali KK.’’

Saya kian grogi karena kemudian Wawali dengan tertawa-tawa Wawali menyampaikan kabar pertemuannya dengan beberapa kerabat yang saya hormati; bahwa Walikota-Wawali KK 2013-2018 akan dilantik Minggu, 22 September 2013; dan setelah itu ada syukuran yang akan dilaksanakan dikediaman pribadi Wawali. Berkenaan dengan syukuran yang sedianya akan dihadiri keluarga dan kalangan terdekat itu, Wawali menyampaikan dia mengundang saya untuk hadir.

Undangan itu bukanlah dari Wawali, melainkan Papa Et (demikian JD akrab disapa warga Mongondow, termasuk  saya) pribadi. Berulang kali Wawali menggunakan kata ‘’Papa Et’’ untuk menyebut dirinya, dan bukan ‘’saya’’.

Terharu atau melankolis bukanlah perilaku yang jadi kebiasaan saya. Dengan temperamen yang mudah meledak, suara yang biasanya ber-tone di atas rata-rata, harus diakui saya lebih mudah dipersepsikan sebagai ‘’burako’’, ‘’berangasan’’, ‘’seenaknya’’, bahkan untuk beberapa kalangan dicap ‘’tidak tahu aturan’’. Untuk yang terakhir ini, orang Mongondow dengan geram menyebut dia’ ko atorang. Tapi percakapan dengan Wawali JD di pagi yang baru saja mekar itu membuat saya tiba-tiba diterpa haru.

Warga KK umumnya dan pembaca blog ini khususnya tahu persis selama pemilihan Walikota-Wawali KK yang puncaknya berlangsung Senin, 24 Juni 2013, saya dengan sangat keras dan dingin berulang kali mengkritik pilihan Partai Amanat Nasional (PAN) menyandingkan Tatong Bara (TB) dan JD. Secara pribadi saya tidak punya silang-selisih dengan JD, tetapi kritik tetaplah kritik. Saya tahu dan dapat memahami kalau JD ‘’tersinggung’’, ‘’kurang hati’’, atau bahkan marah dengan kritik yang saya lontarkan.

Pengalaman bertahun-tahun memilih berdiri di sisi para oposan mengajarkan saya, bahwa melontarkan kritik di Mongondow, khususnya pada para politikus, pejabat publik, dan birokrasi, sama dengan menggali jurang hubungan antar manusia. Tidak banyak tokoh di  Mongondow yang bersedia melapangkan hati menerima kritik, memilah apakah itu karena posisinya sebagai tokoh publik atau semata sentimen pribadi, sembari tetap menjaga silaturahim.

Tokoh publik dengan kedewasaan paripurna itu sungguh langkah di jagad Mongondow. Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, adalah salah satu contohnya. Ketika dikritik dengan pedas, walau pun saya tahu dia sangat tersinggung (sesuatu yang pantas karena Sehan Lanjar masih manusia yang manusiawi), dia tak kehilangan kelapangan dada dan akal sehat. Kalau terpojok dan harus mengakui kebenaran kritik yang dilontarkan, sembari mesem-mesem Eyang akan berucap, ‘’Jang bagitu kua’.’’

Pejabat publik lain yang belakangan mampu menerima kritik tidak dengan tensi tinggi adalah Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu. Tapi mungkin kritik saya adalah pengecualian, sebab konon bila yang melontarkan kritik orang lain, tekanan darahnya tetap saja susah dikontrol. Terhadap dugaan ini saya memilih menafsir dengan pandangan positif, bahwa Bupati Bolsel memang tidak bakal tersinggung dengan kritik apapun yang saya lontarkan. Dia tahu, pada akhirnya saya tetap akan mengalah mengingat dari aspek kekerabatan usia saya lebih muda dari dia.

Di luar dua tokoh itu, yang saya acungi jempol justru Walikota KK, Djelantik Mokodompit (DjM), yang tinggal menghitung jam segera turun dari jabatannya. Tidak ada politikus Mongondow yang lebih kebal dan tebal muka terhadap kritik dibanding dengan DjM. Saking imunnya DjM terhadap aneka kritik yang dilontarkan (bukan hanya dari saya), hingga saya pernah menduga yang dia simak dari media massa (utamanya cetak dan elektronik) hanya berita yang memuja-muji dan advertorial yang memajang wajah dan prestasi yang dia klaim.

Tokoh lain, Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Salihi Mokodongan, misalnya, tentu tidak perlu dibahas. Sudah lama saya diperingatkan (dan meng-amin-kan) bahwa Bupati Bolmong tidak peduli dengan media, khususnya cetak, dan apalagi digital. Terlebih, walau tidak sependapat bahwa dia lebih suka membaca pesan pendek –short message atau SMS— dibanding menyimak media, apa kuasa dan kewajiban saya membantah rumor itu?

Begitulah, sebab pengalaman membuktikan sedikitnya tokoh Mongondow yang mampu menempatkan setiap konteks pada proporsinya, panggilan telepon dari Wawali JD sungguh mengguncang kesadaran saya. Sebagai politikus dan tokoh publik yang terpilih menjadi pejabat publik, JD menunjukkan kedewasaan, kemantangan, dan kesediaan berendah hati. Terlebih saya bukanlah siapa-siapa, kecuali salah satu warga negara yang lahir di KK dan tetap menjaga keterikatan dengan tanah kelahiran. 

Sebagai orang Mongondow, JD menunjukkan ketinggian adab dengan mengesampingkan fakta bahwa saya adalah salah satu oposan yang kerap melontarkan kritik dia’ ko atorang, yang semestinya membuat dia harus menjaga hubungan di jarak yang sejauh mungkin. Dan, yang tak kurang penting, sebagai keluarga (dari sisi istri saya), panggilan telepon dari JD menegaskan arti ‘’keluarga’’ dalam pengertian utuh. Suka atau tidak, pahit atau manis, pada akhirnya kerabat adalah kerabat.

Yang mungkin sama sekali tidak diduga oleh JD adalah: Panggilan telepon dari dia, sekadar undangan untuk mensyukuri kewajiban, tanggungjawab, dan kehormatan yang diembankan oleh warga KK di pundaknya, bagi saya adalah ekspresi ketulusan dan kelapangan dada. Sebagai orang Mongondow yang memahami adab Mongondow, saya menjunjung tinggi kehormatan yang datang dari JD itu.

Kehormatan harus dibalas dengan sikap penuh hormat. Papa Et, saya akan tunjukkan penghormatan saya terhadap kehormatan itu selama Anda menduduki jabatan Wawali KK 2013-2018.***