Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, September 23, 2013

DB 25 D, Sogok-menyogok, dan Licin-melicin


INFO yang saya terima awal Sepember 2013 itu mulanya diabaikan begitu saja. Pertama, yang disampaikan berkaitan dengan beberapa pejabat teras di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, yang kelakuannya sudah khatam buat saya. Jangankan dikritik, dicaci dan disumpahi jadi kodok pun tabiat mereka pasti tak bakal berubah. Kedua, walau datang dari sumber valid, kualitas infonya cukup meragukan, sebab lebih mirip cerita sinetron murahan yang banyak lalu-lalang di layar televisi kita.

Belakangan saya memberi perhatian terhadap informasi itu karena bukti-bukti yang terpapar kian sahih. Di satu sisi, masalahnya sendiri adalah tindak pidana telanjang yang semestinya segera diusut aparat berwenang, yang anehnya tak terdengar mengambil tindakan yang diperlukan. Tampaknya kita sulit menolak sinisme bahwa polisi tidurlah yang memang paling efektif melakukan tugasnya di negeri ini.

Tapi apa duduk soal yang gawat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong itu? Menurut sang ahlul info, mobil dinas (Mobdin) bermerek Ford yang dialokasikan untuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Bolmong, DB 25 D, kini disita oleh salah seorang pengusaha (tepatnya kontraktor) di Mongondow. Penyitaan itu dilakukan berkaitan dengan utang-piutang sebesar sekitar Rp 1,075 miliar yang tak kunjung dilunasi oleh Kadis PU.

Bagaimana kaitan hutang celaka itu dengan Mobdin dan terlebih urusan resmi di jajaran Pemkab? Kata informan saya, pinjaman yang dilakukan Kadis PU memang berkaitan dengan urusan pemerintahan di Pemkab Bolmong. Rincian penggunaan hasil hutang dari si pengusaha itu konon antaranya: Rp 500 juta dana pelicin untuk Panitia Anggaran Provinsi Sulut yang disetorkan melalui Sekretaris Provinsi (Sekprov); Rp 175 juta dibagikan pada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolmong untuk memuluskan Laporan Kerja Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tahun Anggaran (TA) 2011; Rp 300 juta untuk kepentingan Sekretaris Daerah (Sekda) Bolmong menghadapi kasus Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD); dan Rp 110 juta untuk biaya pembebasan lahan proyek jalan di Lobong.

Kadis PU, tutur pemberi informasi, tak kuatir dengan utang-piutang itu karena apa yang dia lakukan atas persetujuan Bupati, Ketua DPR, dan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) Bolmong. Persetujuan itu dipertegas dengan perintah dari Bupati yang disampaikan via telepon, yang diketahui pula oleh Sekda Bolmong.

Sampai di situ, bila peristiwa pinjam-meminjam dana untuk keperluan Pemkab Bolmong itu adalah sinetron bernuansa horor, musik latarnya mulai memainkan nada-nada yang merindingkan kuduk. Tapi di aspek mananya yang ‘’ngeri-ngeri sedap’’ dan masuk kategori tindak pidana dari urusan utang-piutang itu? Penyitaan Mobdin oleh pihak ketiga yang naik darah karena nasib uangnya tak kunjung jelas ujung-pangkalnya?

Menurut hemat saya, penyitaan Mobdin DB 25 D adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Terlebih bila utang-piutang antara peminjam dan pemberi pinjaman diikat dalam perjanjian hitam di atas putih, di mana pihak peminjam menyatakan mewakili Pemkab Bolmong. Bila demikian faktanya, jangankan Mobdin, menyita Kantor Dinas PU pun secara hukum dapat dibenarkan.

Demikian pula, meminjam sejumlah dana oleh seorang birokrat dari pihak ketiga atas nama Pemkab Bolmong, sepanjang atas instruksi Kepala Daerah dan alokasinya untuk kepentingan pemerintahan, bukanlah pelanggaran hukum atau administrasi. Syaratnya, alokasi dana itu memang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), digunakan sesuai peruntukan, namun terlebih dahulu mesti ditalangi karena satu dan lain hal hingga ada kelambatan dalam pencairannya.

Namun kisah utang-piutang yang diwarnai penyitaan Mobdin itu bukanlah masalah administrasi belaka. Bila benar sebagian besar dananya digunakan sebagai uang pelicin ke provinsi, DPR, dan kepentingan Sekda Bolmong, urusannya adalah pidana. Ini kejahatan yang masuk dalam cakupan tindak-pidana korupsi, di mana semua pihak yang terkait (kecuali pemberi pinjaman, sepanjang dia tidak mengetahui akan dikemanakan duit yang keluar dari tangannya) harus diseret ke balik jeruji besi.

Dengan mengedepankan praduga tidak bersalah, saya harus mengatakan disebut-sebutnya keterlibatan Sekprov, Bupati, Ketua DPR, Sekda, Kadis PU, dan Kepala DPPKAD, jelas horor yang menguncang Mongondow. Nilai rupiah yang terlibat dalam dugaan kasus ini tidaklah ‘’wah’’, tetapi kadar kejadiannya layak disebut sebagai tindakan berkomplot melakukan kejahatan. Dan komplotan penjahat biasanya melakukan aksi tidak sekali-dua, hingga patut diduga sogok-menyogok dan licin-melicini sudah menjadi kebiasaan laten yang dipraktekkan beramai-ramai di jajaran Pemkab dan DPR Bolmong.

Anehnya, kendati telah menjadi pengetahuan dan pembicaraan, dugaan tindak pidana itu nyaris luput (atau diluputkan) oleh media massa terbitan Manado dan Bolmong. Dari yang saya ketahui, isunya baru diangkat oleh Surat Kabar KPK (yang saya yakini bukanlah media resmi Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK) Edisi LVIII, Tahun Ke V, 9-22 September 2013, Mobil Dinas Digadaikan Untuk Bayar Uang Pelicin: Polisi Diminta Segera Periksa Pejabat Penerima Upeti serta (kabarnya, sebab saya tidak membaca langsung) Harian Radar Manado.

Media yang mendadak wowo’ itu setali tiga uang dengan senyapnya langkah pihak berwenang melakukan pengusutan. Apa karena belum ada yang melaporkan kasusnya, polisi jerih  bertindak sebab nama-nama yang disebut-sebut terkait adalah ‘’kaliber besar’’, atau sebab skenario tahu-sama-tahunya sedang disusun dan akan diselesaikan dengan saksama sebagaimana biasanya? Yang akhirnya membuat dugaan kasus ini terbang bersama angin dengan kompensasi yang cukup menggemukkan dompet beberapa oknum yang sama korupnya?

Terlepas dari aspek mana yang benar dari sederet dugaan itu, agar tak menjadi fitnah dan sekadar spekulasi, skandal penyitaan Mobdin Kadis PU Bolmong itu harus segera diungkap. Apakah demikian faktanya; benarkah melibatkan nama-nama yang telah beredar luas, khususnya di kalangan birokrasi di Bolmong; dan betulkah sebagian besar dana hasil hutang itu digunakan sebagai uang sogok dan pelicin?

Saya berkeyakinan, tidak ada asap tanpa api dan informasi yang telah beredar luas itu (sekali pun mungkin telah dibumbui aneka penyedap) tetap punya kesahihan yang menegaskan ada tindak pidana yang dilakukan sejumlah pejabat dan birokrat teras di Bolmong. Kalau polisi tidak percaya, boleh memulai dengan menguji info kecil yang saya terima, bahwa: Ford DB 25 D yang disita dari Kadis PU kini digunakan oleh penyita dan lalu-lalang di jalanan Mongondow dengan menggunakan pelat DB 2544 D.***