Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 1, 2013

Ketua DPR KK: Nangka, Beruk, Monyet, Periuk, dan Lain-lain.,,.


NANGKA, sebagaimana kerabatnya, manggis, mentimum, kedondong, dan aneka jenis buah lainnya, mewarnai sejumlah peribahasa Indonesia. Di Sekolah Dasar (SD), begitu melewati pelajaran ‘’Wati, Budi, dan Iwan’’ serta berbagai awalan, imbuhan, dan saudara-saudaranya, berkenalanlah kita dengan peribahasa.

Peribahasa sendiri, kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KUBI) dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Balai Pustaka, 2005), adalah, ‘’Kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu.’’ Pengertian yang lain, ‘’Ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.’’

Pelajaran zaman SD itulah yang membadai kepala ketika saya membaca sejumlah pemberitaan terkait kelanjutan isu terdaftarnya Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), di Daftar Calon tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Sabtu (31 Agustus 2013). Situasi terkininya boleh dikata bagai peribahasa ‘’seorang makan nangka, kita terkena getahnya’’. Adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK, Rustam Siahaan, yang tampaknya paling repot berurusan dengan ‘’getah nangka’’ DjM.

Harian Radar Bolmong, Sabtu (31 Agustus 2013), memajang berita utama Pengunduran Diri Djelantik Palsu, dengan mengutip kilahan Ketua DPR KK. Menurut Siahaan, surat keterangan yang dia keluarkan, yang dijadikan dasar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) meloloskan DjM di DCT Pemilu 2014, tidaklah menyebutkan Sidang Paripurna DPR. Sebaliknya, di berita Siahaan: DCT Djelantik Tak Ada Persoalan (http://beritamanado.com/politik-pemerintahan/siahaan-dct-djelantik-tak-ada-persoalan/205552/) yang dipublikasi Beritamanado.Com, kutipan pernyataan Ketua DPR KK justru berarti sebaliknya.

Menurut Siahaan, semua tahapan pengunduran diri Walikota Kotamobagu sudah sesuai ketentuan perundang-undangan. Dimana PP No 6/2005, Pasal 123, menyebutkan pengunduran diri hanya disampaikan di paripurna, diputuskan, dan diusulkan oleh pimpinan dewan. Dia menegaskan, ‘’Tidak ada yang menyebutkan dewan harus melalui proses ini dan itu. Dan yang hadir di sidang paripurna itu memenuhi kuorum untuk mengambil keputusan.’’

Mudah-mudahan pernyataan Ketua DPR KK itu dilontarkan tidak dengan ‘’berhakim pada beruk’’. Pasal 123 PP No 6/2005 yang relevan dengan pengunduran diri Walikota KK adalah Ayat (1) huruf b yang berbunyi ‘’atas permintaan sendiri’’ dan Ayat (3) yang menyatakan ‘’Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a, huruf b diberitahukan oleh Pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan DPRD.’’

PP dan pasal-pasalnya yang dirujuk Ketua DPR KK tidak dapat diinterpretasi lain, kecuali bahwa dewan memang harus melakukan ‘’ini-itu’’ terlebih dahulu. Dengan memahami undang-undang (UU) dan peraturan lain yang mengikat DPR, kita tahu bahwa yang disebut ‘’Pimpinan DPR’’ bukanlah ketua semata, melainkan satu kesatuan dengan Wakil Ketua. Terlebih Ayat (3) Pasal 123 PP No 6/2005 tidak menyebutkan ‘’unsur Pimpinan Dewan’’. Ayat yang sama juga mengajari bahwa setelah Pimpinan Dewan memberitahu, kemudian diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan Dewan.

Pertanyaan saya pada yang terhormat Ketua DPR KK, bagaimana bunyi surat keterangan yang Anda tanda tangani untuk DjM? Apakah sebelum menandatangani surat itu Anda sudah memberitahu dewan, kemudian melaksanakan Rapat Paripurna dan mengusulkan pemberhentiannya?

Saya yakin Ketua DPR KK sependapat dengan saya, bahwa bunyi surat No 100/DPR-KK/251/VII/2013, tertanggal 30 Juli 2013, Perihal Keterangan Proses Usulan Pemberhentian Walikota Kotamobagu, ‘’... maka DPRD Kota Kotamobagu telah melakukan Rapat Paripurna pada tanggal 30 Juli 2013, dengan agenda penyampaian pengunduran diri Walikota Kotamobagu dan telah diterima untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku’’, yang dia tandatangani, memang melawan Pasal 123 PP No6/2005 dan Tata Tertib (Tatib) DPR KK. Kapan Pimpinan Dewan memberitahu ada pengunduran diri Walikota KK? Kapan pula ada Rapat Paripurna membahas pengunduran diri itu?

Sidang Paripurna DPR KK, Selasa (30 Juli 2013) tidaklah membahas pengunduran diri Walikota. Dan bahwa surat pengunduran diri DjM, tertanggal 26 Juni 2013, hanya dibacakan oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) sebagai laporan bagian dari daftar surat masuk yang akan ditindaklanjuti oleh DPR.

Berhati-hatilah dengan pernyataan publik, Bapak Ketua DPR KK. Jangan sampai yang terjadi ‘’dagang bersambut yang dia jual’’. Semakin isu pengunduran diri DjM dan tercatatnya dia di DCT Pemilu 2014 dibahas, kian tampak bahwa peristiwanya tak beda dengan ‘’musang terjun, lantai berjungkat.’’

***

Saya tak punya permusuhan atau silang-selisih dengan Rustam Siahaan. Sebagai Ketua DPR KK selama ini dia melaksanakan tugas datar-datar belaka. Relatif tanpa terobosan dan kejutan. Begitu landainya hingga DPR KK sukses ‘’diperdaya’’ jajaran Pemerintah Kota (Pemkot), misalnya dalam perkara Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota, yang ternyata tidak sejalan aturan yang semestinya.

Penelikungan itu baru ketahuan setelah DPR KK melakukan konsultasi dengan jajaran Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda), sebagaimana yang saya simak dari situs Totabuan.Co (http://totabuan.co/2013/09/01/pansus-lkpj-siap-panggil-kembali-tim-anggaran-pemkot/), Pansus LKPJ Siap Panggil Kembali Tim Anggaran Pemkot, Minggu (1 September 2013). Nah, urusan pelaporan anggaran yang sudah baku dan jadi pengetahuan standar birokrasi saja masih ditipu-tipu, apalagi perihal yang terkait dengan proses dan keputusan yang kental bau politis.

Barangkali benar adanya info bahwa Ketua DPR KK menandatangani surat keterangan terhadap DjM dalam keadaan di bawah tekanan. Atau, kata informasi yang lain, dia sekadar menandatangani dokumen yang sudah disiapkan. Tapi menandatangani sebuah dokumen (terlebih itu dokumen negara) dalam kondisi ditekan atau tidak, membaca dan memahami atau tidak, berkonsekwensi serius. Ketua DPR, sebagai pribadi maupun representasi lembaga bukanlah percetakan yang absah mencantumkan, ‘’isi di luar tanggungjawab percetakan’’. Apa yang dia tandatangani dilekati tanggungjawab dengan konsekwensi-konsekwensinya.

Sebagai bagian dari komunitas Mongondow, lebih khusus KK, saya bersimpati dan berempati pada Rustam Siahaan. Jangan sampai dia disepadankan dengan DjM, tak lebih dari ‘’kera menjadi monyet’’. Di tengah kian terurainya sangkarut tercatatnya DjM di DCT Pemilu 2014, sebelum tangan hukum mencengkeram tengkuk, dengan rendah hati saya menyarankan Ketua DPR KK segera menganulir surat keterangannya, yang normatif maupun logis, memang penuh cacat-cela.

Bagi saya, jangan sampai Siahaan berakhir dengan nasib ‘’nasi masak periuk pecah’’.***