Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, September 12, 2012

Senjakala Sang Mantan Bupati


HARI-HARI itu seperti baru kemarin. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, prestasi dan kegagalan, mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan (sahabat dan koleganya menyapa dia dengan ‘’Butet’’, sedang kebanyakan orang belakang menggunakan ‘’Bunda’’) yang berkuasa selama 10 tahun di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) layak dijaga integritas dan kehormatannya.

Di masa kepemimpinnya, dibanding siapa pun di Mongondow, saya nyaris menjadi ‘’musuh laten’’. Lepas tahun kedua periode pertama kepemimpinan Bupati Marlina, saya mulai mengkritik dia dan jajarannya dengan sangat keras lewat tulisan yang berserak di media (cetak) terbitan Manado dan blog. Padahal tulisan-tulisan itu, yang kerap disambut pro-kontra (beberapa bahkan debat panjang penuh ancaman –termasuk fisik—dari para pendukung Bupati) sama sekali tidak diniatkan menjatuhkan seorang pemimpin yang memegang jabatan publik. Tidak pula untuk menciderai dan menjatuhkan nama baik Bupati, jajaran, dan para pendukungnya.

Yang saya tuliskan adalah kontrol terhadap keawasan dan kewarasan tak hanya bagi Bupati Marlina seorang, melainkan orang-orang yang dia pimpin (termasuk partai politik di mana di menjadi Ketua Dewan Pengurus Daerah –DPD), serta masyarakat Mongondow umumnya. Di atas semua itu, berulang-ulang saya tegaskan, alangkah bahagianya kita bisa menyaksikan seorang pemimpin (yang masa jabatannya dibatasi waktu), setelah tak lagi duduk di kursi puncak, terbebas dari apa pun yang tidak seharusnya menjadi beban.

Usai memimpin Bolmong, termasuk memekarkan kabupaten ini menjadi satu kota dan tiga kabupaten baru, Bupati Marlina harusnya menjadi mantan yang integritasnya kita jaga sebagai kekayaan sosial Mongondow. Dan itu terlepas dari apakah dia memilih tetap bergiat sebagai praktisi politik (dengan memimpin Partai Golkar Bolmong atau mencalonkan diri untuk jabatan lebih lebih tinggi) atau menekuni aktivitas ekonomi, sosial, budaya, bahkan keagamaan.

Alasannya sederhana –selalu sederhana. Kehormatan seorang mantan pemimpin yang dijaga dan dirawat oleh seluruh warga masyarakat, menunjukkan tingkat keberadaban masyarakat itu sendiri. Seorang pemimpin yang menjadi bulan-bulanan kasus setelah dia melepaskan jabatan mengindikatorkan banyak kekeliruan dan ketidak-bacusan orang banyak: Kita semua gagal mengingatkan dia, gagal memaksa dia agar tetap amanah, dan gagal menyayangi dengan tulus karena membiarkan (lebih buruk lagi mendorong) dia lancung dari tanggungjawab.

***

Hari ini, Rabu (12 September 2012), saya membaca berita Kapolres: Butet Tersangka di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115631) dengan perasaan pilu. Saya merasa menjadi bagian dari orang-orang yang gagal menjaga dan merawat kehormatan mantan pemimpinnya. Kurang dari dua tahun setelah meletakkan jabatan, mantan Bupati Marlina resmi didudukkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) yang terjadi di masa kepemimpinannya.

Kita semua tahu kisah dugaan penyelewengan keuangan itu. Media (termasuk media sosial) sudah mengupas lengkap tuntas –dengan berbagai versi. Orang-orang yang kini didudukkan di kursi pesakitan sebagai terduga penyeleweng dana itu, yang dulunya hanya sekadar dugaan, kian benderang pula wujudnya. Sekali pun sedih, sesungguhnya orang-orang yang mengikuti isu ini dengan saksama tak heran bila akhirnya tokoh sekelas mantan Bupati Marlina, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Ferry Sugeha, dan Sekda (saat ini) Farid Asimin akan terjerat.

Mempertanyakan apa dan siapa penyebab utama terjadinya penyelewenangan dana itu juga tidak relevan lagi. Kalau pun mencoba menjadi bijak, saya pribadi hanya menyesali kasus itu seharusnya tidak terjadi bila para bawahan yang kini beramai-ramai diseret ke meja hijau melaksanakan tugas dengan profesional. Soalnya remeh-temeh belaka: Ada perintah menyediakan dana dari seorang Bupati pada birokrat bawahannya yang tentu saja mesti patuh. Birokrat profesional dan tahu ada kemungkinan mereka bersama-sama akan terjerumus, tidak serta-merta bersigegas melaksanakan perintah itu.

Semestinya ada saran dan pertimbangan, yang apabila tak diterima, maka perintah itu harus dituangkan (minimal) dalam bentuk tertulis. Memo, nota dinas, atau apa kek. Sepanjang syarat minimal administrasi ini tak terpenuhi, saya yakin birokrat berotak waras yang tidak gila jabatan, hanya bisa menjilat dan menyenang-nyenangkan atasan, pasti menjawab tegas: Tidak bisa!

Nyatanya, sebagaimana yang saya ikuti di media, milyaran rupiah dana TPAPD berpindah begitu saja hanya dengan perintah lisan. Sungguh tak masuk akal. Dengan kata lain, peringatan, kritik, dan cacian yang saya tulis berulang kali, bahwa kebanyakan orang yang menunjukkan kepatuhan (semu) pada Bupati Marlina selama masa kepemimpinannya, sebenarnya secara sadar dan sengaja memang mendorong dia satu saat terjerembab ke dasar sumur.

Dasar sumur yang dingin dan gelap itu sekarang ada di hadapan mantan Bupati Marlina.


***

Di balik musibah selalu ada pelajaran yang dapat dipetik. Ditetapkannya mantan Bupati Marlina dan sejumlah elit pemerintahan Bolmong sebagai tersangka menjadi pelajaran penting, bahwa: Pertama, wahai para pemimpin di Mongondow saat ini, selalulah mendengarkan suara yang tidak menyenangkan hati. Kepatuhan buta dan puja-puji biasanya manis, tetapi juga amat sangat beracun. Dua, para bawahan, penyokong dan supporter, saya kembali mengingatkan: berkata jujur di hadapan seorang penguasa kerap berakhir pahit, tapi ahirnya kita akan tidur nyenyak sekali pun mungkin dengan melepas aneka privilege. Dan ketiga, bagi kita rakyat banyak, mengingatkan para pemimpin terhadap tanggungjawab mereka, setiap saat, akhirnya adalah ikhtiar menjaga integritas dan kehormatan kita semua.

Di luar tiga poin itu, bersama ditetapkannya mantan Bupati Marlina dan dua elit puncak di birokrasi Bolmong sebagai tersangka dugaan penyelewengan dana TPAPD, kepada jajaran aparat berwenang saya ingin bertanya: Bagaimana dengan dugaan penyalahgunaan lain yang melibatkan petinggi politik dan birokrasi di Mongondow, semisal kasus CPNS Kota Kotamobau (KK) 2009 yang hanya menjerat hingga level Sekretaris Kota (Sekkot)? Padahal di persidangan mereka yang kini sudah divonis hukuman di tingkat Pengadilan Negeri (PN) secara terbuka menyebutkan keterlibatan atasannya?

Apakah pihak kepolisian akhirnya berani menyentuh mantan Bupati Marlina karena dia tak lagi ‘’bergigi’’? Atau kini memang ada upaya lebih serius mengungkap aneka borok dan aib di Mongondow?***