Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 16, 2012

Lelucon Bodoh Mengkorupsi Profesi Jurnalis


MENJADI kanak-kanak kampung di era 1970-an (hanya beberapa tahun setelah ‘’momok’’ G30S PKI meletus), bagi saya lebih berwarna dibanding dunia para bocah masa kini. Apalagi ketika itu bahkan Jalan Amal, Mogolaing, yang kini padat penghuni, masih didominasi kebun dan persawahan.

Di masa itu pula, dari koran yang dibawa pulang Bapak (tentu terlambat berhari-hari dari tanggal terbitnya), kepala kecil saya menyimak aneka peristiwa yang datang dan pergi. Termasuk Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Samar-samar ketika itu nama semacam Komkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang –dalam imaji anak usia 7 tahun—punya kekuatan setara dewa.

Dan Komkamtib itu berseragam, punya senjata api pula. Benak saya dengan pengetahuan sangat terbatas menyimpulkan: Pokoknya yang berseragam dan bersenjata, tidak peduli itu tentara, polisi, atau pertahanan  sipil (Hansip), harus ditakuti. Kalau tidak, minimal Anda babak-belur, masuk bui, atau paling sial dot!

‘’Awas ada tentara!’’ atau ‘’Awas ada polisi!’’ cukup membuat kuduk berdiri.

Kenangan dari masa kecil itu membuat saya takut berurusan dengan tentara atau polisi. Semasa Sekolah Menengah Atas (SMA), terjerat tilang karena ada saja yang tak beres dari Honda 700 yang saya kendarai, sudah cukup membuat keringat dingin membanjir dan bikin lemas sendi-sendi.

Di masa Perguruan Tinggi (PT), ketakutan terhadap seragam dan bedil perlahan-lahan menguap. Selain mata saya mulai terbuka terhadap dunia yang lebih besar, era itu penuh gempita perlawanan terhadap kekuasaan Presiden Soeharto. Demonstrasi memprotes pemerintah menjadi semacam uji nyali dan ekspresi idealisme.

Ah, masa yang penuh gejolak dan kenangan indah. Memimpin rapat-rapat gelap mempersiapkan demonstrasi, sembari berkelit dari intaian intel tentara dan polisi, menjadi semacam candu. Konon adrenalin yang bergolak kerap tak beda dengan menghidu narkotik.

Menjadi aktivis mendekatkan saya pada banyak tentara dan polisi (sebagian besar mereka kini purnawirawan atau masih duduk dengan bintang di pundak). Sebaliknya, di saat yang sama kerap benjol karena adu otot dengan sebagian mereka. Ketika itu pentungan, tendangan, atau popor senjata dimaknai sebagai  ‘’ijazah’’ yang menunjukkan seorang aktivis (dan demonstran) telah lulus inisiasi ideologi dan nyali.

Yang tidak pernah saya cicipi adalah penjara dalam waktu lama. Sekadar ditahan di Komando Distrik Militer (Kodim) atau Polres, anggap saja liburan kuliah. Memang ada satu-dua tentara atau polisi yang kasar dan mentang-mentang, tetapi selebihnya mereka cukup baik. Makan-minum dan rokok tersedia gratis.

***

Lalu saya meninggalkan kampus, menjadi wartawan. Berhenti jadi wartawan, pindah ke private sector, sembari tetap memelihara keawasan dan kewarasan (juga ketrampilan) menulis. Teman-teman tentara dan polisi kian banyak, mulai dari yang pangkatnya rendah hingga kelas jenderal galak.

Ketakutan terhadap seragam dan bedil juga tampaknya tak tersisa lagi. Otak saya sudah menggembang, (sedikit) diisi pengetahuan tentang undang-undang (UU), sejarah militer dan ketertiban sipil, hak asasi manusia (HAM), dan macam-macam lainnya. Prinsipnya, sepanjang mereka yang berseragam dan bersenjata melaksanakan tugasnya dengan etis, baik, benar, dan profesional, mari kita acungi jempol.

Sebaliknya, siapa pun yang berseragam, bersenjata, mendapat wewenang (juga jaminan) dari aturan dan UU, tapi bertindak keliru, tak patut atau berlebihan, harus dikritik, diprotes, bahkan didorong untuk dijerat. Di depan hukum tak peduli siapa, semua warga negara sama tinggi-rendahnya.

Lagipula, di Indonesia kini, publik juga mengawasi aparat berwenang dengan penuh telisik. Bobrok tentara, polisi, jaksa, dan hakim, secara terbuka dipapar di muka umum. Namun di satu sisi orang senegeri berubah, di sisi lain masih ada mereka yang masuk golongan ‘’aparat berwenang’’ itu yang bagai hidup di belantara. Asyik dengan pikiran, rencana, dan dunianya sendiri; sembari tampak bodoh atau mencoba membodoh-bodohi masyarakat.

***

Bodoh! Itu reaksi pertama saya ketika membaca Kontra Online (http://kontraonline.com/10611/kasat-reskrim-bakal-rekrut-wartawan-menjadi-tim-ungkap/). Di berita yang diunggah Rabu (12 Desember 2012) ini, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bolaang Mongondow (Bolmong) mengungkapkan pihaknya akan membentuk tim pengungkap fakta yang tujuannya mengumpulkan fakta-fakta kasus yang menonjol.

Mulia benar ide Kasat Reskrim. Tapi, penjelasan berikutnya, tim pengungkap fakta itu juga akan merekrut wartawan, yang dalam tugasnya mendapat rekomendasi dari kepolisian. Waduh, apakah Kasat Reskrim Polres Bolmong ini lulusan Akademi Kepolisian? Baca koran dan mengikuti perkembangan dunia? Apakah dia sudah pula menjadi perwakilan atau cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau Aliansi Jurnalis Independen (AJI)?

Sebelum menyerapahkan ‘’bodoh!’’, saya mengontak Pemimpin Redaksi Kontra, Ahmad (Matt Jabrik) Ishak, memastikan bahwa media yang dia pimpin tak salah tulis dan kutip. Kepada Ahmad Ishak saya juga mengemukakan bahwa ide jenius Kasat Reskrim ini bukan hanya tak patut dan berlebihan, tetapi bertentangan dengan UU Pers No 40 Tahun 1999 serta etika dan profesi kewartawanan di Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya, polisi dan wartawan sama dan sederajat. Dijamin oleh UU yang satu dengan yang lain sama derajatnya. Mengungkap info atau peristiwa yang menjadi kepentingan publik, semisal kasus korupsi, sudah menjadi kewajiban wartawan. Dengan menjadi bagian dari tim –atau apa pun—namanya yang dibentuk Kasat Reskrim, apalagi ‘’dalam menjalankan tugas mendapat rekomendasi dari polisi’’, sama artinya dengan meruntuhkan UU Pers, etika dan profesi jurnalistik.

Memangnya kalau wartawan di Bolmong mengumpulkan informasi atau mengungkap (misalnya) kasus korupsi tanpa rekomendasi pihak kopolisian, lalu apa yang ditulis atau diberitakan tak valid? Melanggar hukum? Memberikan rekomendasi kepada wartawan dalam menjalankan tugasnya justru dapat ditafsir sebagai upaya awal menghalang-halangi penegakan profesi jurnalistik, yang (tanpa perlu diperdebatkan) jelas bertentangan dengan UU Pers.

Ketimbang ikut campur urusan wartawan, yang tak beda dengan tindakan ‘’mengkorupsi’’ profesi ini, sebaiknya Kasat Reskrim Bolmong (yang baru dilantik) mulai saja bekerja dengan benar. Terlampau banyak pekerjaan rumah (PR) kepolisian di Mongondow yang tak jelas ujung pangkalnya.

Saya sebutkan beberapa yang menonjol: Kasus calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) yang sudah menjerat mantan Sekretaris Kota (Sekkot) dan beberapa petinggi birokrasi KK, tapi tak menyentuh Walikota –padahal di persidangan (yang juga diliput media) namanya berulang kali disebut oleh para terdakwa lain. Kasus Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Bolmong. Atau kasus (dugaan) ijazah palsu Bupati Bolmong.

Tanpa merekrut, mengatur, dan mengkorupsi tugas kerja profesi jurnalis yang tak beda dengan lelucon bodoh, saya sarankan Kasat Reskrim membolak-balik seluruh kliping dan pemberitaan media di Sulut sejak beberapa tahun terakhir, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus kriminal menonjol di Bolmong. Saya yakin hasilnya adalah para wartawan sudah lama mengerjakan bagian mereka, bagaimana dengan Polres Bolmong?***