Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 18, 2012

Ulang Tahun dan Waspada ‘’Ba Aceng-Aceng Sadiki’’


MERAYAKAN hari ulang tahun (HUT) hampir tak pernah tercatat di jadwal saya.

Lahir dari keluarga yang cukup tapi tak berlebihan, sejak masa kanak kami kakak-beradik merayakan HUT dengan mintahang. Itu pun kerap dikaitkan dengan kepentingan lain: Mintahang lulus sekolah atau mintahang menjelang Ramadhan.

Saya baru mengenal perayaan HUT setelah menikah dan punya anak. Itu pun bukan untuk diri sendiri. Mula-mulanya ide itu muncul dari istri dan adik-adik. Niatnya sekadar lucu-lucuan dan supaya ada alasan menggelar makan-minum sembari berbual-bual. Tak kurang penting, memuaskan naluri ibu-ibu mengurusi printilan goody bag untuk para bocah. Bagi istri, adik ipar, dan adik perempuan saya, belanja permen, kue, mainan dan asesoris goody bag membawa kenikmatan sendiri.

Ketika anak-anak tumbuh melewati balita (bawah lima tahun), perayaan HUT kian ringkas. Cukup berpesta di mall atau restoran cepat saji.  Yang ber-HUT, undangan, dan para orangtua tinggal hadir dan duduk manis. Segala sesuatu sudah tersedia, lengkap dengan badut dan master of ceremony (MC) handal (yang kelasnya tergantung seberapa dalam Ayah-Ibu merogoh kantong).

Beda generasi, beda ekspresi. Satu saat saya pernah mengomentari perayaan HUT anak kedua, yang dia inginkan digelar di restoran cepat saji, sebagai sesuatu yang tidak saya kenal di masa kanak. Jawaban berandal kecil itu adalah: ‘’Masa kecil Papa kan teve saja masih hitam putih. Mall belum ada. Jadi mana bisa bergaya.’’

Gaya, di dunia kini, memang penting. Maka saya mencoba tidak heran ketika membaca ada anak Walikota di Mongondow yang ber-HUT sembari mengundang grup musik pujaan remaja (tentu dengan honor se-ho oh besarnya). Saya berpayah-payah mahfum pula kalau mendadak di hari kerja hampir seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tiba-tiba raib karena menghadiri perayaan HUT anak atasan mereka di Jakarta, seperti dilansir Beritamanado.Com, Senin, 10 Desember 2012 lalu (http://beritamanado.com/totabuan/puluhan-kepala-skpd-kotamobagu-hilang/146120/).

Padahal semestinya apa yang dilakukan para Kepala SKPD itu, bahkan untuk standar normatif, cukup memalukan. Mirip bocah yang rela meraung-raung dan mengepel lantai dengan bokong andai tidak diijinkan menghadiri HUT kawannya. Tidak adakah alasan yang lebih bermartabat daripada meninggalkan tanggungjawab melayani orang banyak demi HUT anak atasan?

Membayangkan orang-orang dewasa bertingkah seperti itu, saya teringat kilahan lain anak kedua tatkala saya memprotes keinginannya menghadirkan seorang pesohor sebagai MC di HUT-nya. Katanya, ‘’Ya, HUT Papa kan memang cukup dengan baca doa. Papa kan anak pegawai negeri. Saya anak manajer di perusahaan multi nasional.’’

Waduh, kebas mulut ini. Anak-anak modern memang punya seribu akal dan jutaan dalil. Sama dengan politikus dan birokrat yang kian piawai bersiasat. Kalau pun ada yang bersoal tentang terbang bergerombol di hari kerja demi HUT anak Walikota, jawaban mereka tak jauh dari: ‘Sebagai Kepala SKPD kami loyal pada atasan (tidak jelas definisi atasan di sini, apakah ayah si ahlul HUT atau yang ber-HUT).’’ Atau, ‘’Menghadiri HUT bukanlah pelanggaran. Justru demi membangun tali silaturrahim.’’

***

Sungguh saya tidak anti budaya HUT. Tidak pula sungkan mengucap atau menghadiri perayaannya (kendati kemudian diam-diam menyelinap pulang karena sudah sejak lama saya mengindap phobia  bersuka-ria di tengah kebisingan), terlebih terhadap orang-orang yang menjadi sahabat atau saya kenal baik. Mengingat dan (minimal) mengucapkan selamat HUT adalah ekspresi simpati dan empati.

Terlebih, sebagai pemeluk Islam, saya tahu persis (seperti pula kutipan-kutipan yang kerap di-broad cast di jaringan BlackBerry Message), bahwa: Di setiap HUT dunia pelan-pelan meninggalkan, sebaliknya akhirat terus mendekat.

Senin, 17 Desember 2012, saya mengirim selamat HUT dan doa untuk Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar. Saya tidak menuliskan HUT ke berapa, sebab untuk kaum pria tampaknya momen yang selalu diingat adalah usia 7, 12 (saat akil baliq), 17, 21 dan syukur-syukur 70 tahun. Jadi buat Eyang (demikian dia akrab disapa), ‘’Selamat HUT ke 21.’’ Usia kami tidak terpaut terlampau jauh, karena saya sendiri baru menginjak 18 tahun.

Eyang sedang berada di usia puncak, energik, produktif, dan Alhamdulillah duduk di kursi Bupati. Tentu tak perlu puja-puji, sebab tak ada manusia yang sempurna. Sebagai Bupati pun dia perlu dikritik, semisal dalam pengelolaan keuangan Boltim yang dua tahun terakhir disclaimer, kasus operasi tambang biji besi di Paret yang rusuh (sementara Eyang menjanjikan akan mencabut izinnya –yang kabarnya hinggak kini tak ketahuan rimbanya), dan aneka isu lain yang membuat langit politik Boltim gemerlap.

Namun sebagai pribadi saya respek, menghormati, dan menyayangi Eyang. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit politikus yang menjadi pejabat publik yang tak surut dalam perkawanan hangat dan apa adanya. Eyang tetap manusia dengan kecerdasan, kecerdikan, trik dan (kerap) perilaku komikalnya  --perpaduan antara Abunawas dan Nasrudin Hoja. Dia juga tidak alergi terhadap kritik dan caci. Paling-paling dengan tawa lebar dia berkilah, ‘’Jang bagitu kua’. Bupati ini….’’

Lalu adakah yang harus diingatkan pada Eyang di momen istimewa ini? Saya ingin mengutip pernyataan dari istrinya (oleh kalangan dekat disapa ‘’Umi’’), yang berasal dari BlackBerry Message seorang kawan.  Mengomentari Eyang di usia matangnya, Umi bilang, ‘’Eyang itu romantis skali, maar so mulai ba aceng-aceng sadiki.’’

Aceng-aceng? Ini kata yang sama sekali tak saya kenal, yang setelah beberapa penjelasan barulah terang-benderan. Yang dimaksud dengan ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ itu merujuk pada kelakuan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang kini jadi mega isu gara-gara (konon) sukses marathon menikahi delapan perempuan, satu di antaranya bahkan dicerai hanya dalam hitungan empat hari.

Kata-kata Umi cocok dipadankan dengan pernyataan yang berulang kali saya dengar dari Eyang, bahwa, ‘’Kita nyanda tako dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Maar kita tako skali dengan KUA (Kantor Urusan Agama).’’ Dengan kata lain, untuk urusan korupsi (Insya Allah) Eyang tahu dia siap membentengi diri. Lain soal dengan ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ yang tampaknya dia sadari setiap saat mengintai bagai demit.

Selamat HUT, Eyang. Waspadalah pada ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ itu. Doa kami bersamamu dan keluarga.***