Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, December 19, 2012

Ulang Tahun (Lagi): ‘’Asang-Asang’’ di Bolsel


KABAR itu datang tak lama setelah saya mengunggah Ulang Tahun dan Waspada ‘’Ba Aceng-Aceng Sadiki’’. Sang pembawa kisah menginformasikan Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, marah dan maraju karena pada Minggu, 16 Desember 2012, tak satu pun jajaran di sekitarnya yang ingat (apalagi mengucapkan syukur) dua tahun kepemimpinannya sebagai Bupati.

Ya, ampun, saya pun baru sadar bahwa hari itu Herson Mayulu dan (almarhum) Samir Badu memang genap berusia dua tahun dilantik sebagai Bupati dan Wakil bupati (Wagub) Bolsel. Betapa cepat waktu berlalu.

Nubuat marah dan maraju ini kian dramatis karena satu-satunya orang yang mengingat ulang tahun pemerintahan Bupati Herson Mayulu (sebagai kerabat dan –orang yang merasa—kawannya saya menyapa dengan ‘’Oku’’ atau ‘’Ama’ i Feni’’) hanyalah Hud Gobel. Dengan hormat saya menyampaikan salut pada Hud Gobel, staf penata peralatan di Pemkab Bolsel, atas ingatan tajam, simpati, dan empatinya.

Manusiawi dan harus dimahfumi bila Oku kecewa dengan memori pendek orang-orang di sekitarnya. Saya membayangkan hari itu, sejak subuh dia terjaga (walau tak mengharap) menunggu surprise atau minimal ucapan selamat dua tahun jadi Bupati dari jajaran di bawahnya (kendati mungkin sekadar basa-basi yang umum dipertontonkan para birokrat terhadap atasan mereka).

Yang ada adalah Ahad panjang yang dijeda ketakziman seorang Hud Gobel. Lalu hari berlalu begitu saja.

Andai penilaian terhadap promosi seorang staf birokrasi sefleksibel sektor swasta, dengan berani saya mengusulkan kenaikan pangkat dan jabatan khusus untuk Hud Gobel. Minimal dia menunjukkan loyalitas (walau itu personal) dan keawasan terhadap kepentingan atasannya.

Kalau di daerah lain di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bahkan sukarela berbondong terbang keluar daerah hanya untuk merayakan hari ulang tahun (HUT) putri Walikota, masak momen sepenting dua tahun masa jabatan dilupakan begitu saja. Halooo…, mereka duduk di jabatannya karena Oku menjabat sebagai Bupati. Bila bukan dia, mungkin karir para Kepala SKPD itu juga berbelok ke arah yang berbeda dari sekarang.

Saya membayangkan perasaan sepi dan sendiri seperti apa yang mengecamuk Oku saat itu. Dan kesepian seorang penguasa (bukankah Bupati adalah sosok tertinggi di daerahnya) lebih menyakitkan dari rasa yang sama yang mendera kita, orang kebanyakan.

Mereka yang akrab dengan karya sastra Amerika Latin dan pernah membaca Gabriel Garcia Marquez dengan segera bisa megingat salah satu karya terbaiknya, The Autumn of the Patriarch (1975), dan mengontekskan pada kekuasaan dan kesepian. Kesepian seorang penguasa berlipat kali lebih berat dibanding memikul kekuasaan itu sendiri.

Hiburan yang sering saya dengar mengatakan, ‘’Sabar. Belum ada orang yang meninggal karena sabar.’’ Mungkin karena koran dan media tidak pernah menyiarkan ada orang yang mati karena sabar, hingga kata-kata seperti ini dianggap memiliki tuah. Beda dengan sepi dan sendiri, yang dalam banyak penelitian kesehatan, terbukti bisa mendorong orang memperpendek umur. Post power syndrome adalah salah satu varian dari ‘’rasa sepi dan sendiri; atau kehilangan’’ itu.

Tanpa memihak Oku, menurut hemat saya, ulang tahun pemerintahan bagi seorang Bupati (sebagai kepala Daerah) adalah momentum penting yang semestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pertama, dia mengevaluasi sejauh mana efektivitas, efisiensi dan tepat gunanya arahan, putusan, dan kebijakan yang diambil. Kedua, mengevaluasi jajaran di bawahnya, yang telah membantu pelaksanaan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Tiga, peringatan bahwa waktu terus berjalan dan kian pendek untuk membuktikan visi dan misi yang dijanjikan saat terpilih.

Kilahan bahwa ulang tahun pemerintahan Oku sebagai Bupati Bolsel jatuh di hari Minggu, boleh jadi alasan yang agak masuk akal. Kendati dalih ini cukup didebat dengan kalimat pendek: Memangnya di Ahad seorang Kepala SKPD turun pangkat jadi staf? Memangnya pula di Ahad segala fasilitas (birokrasi) dan wewenang yang ada di tangannya dilucuti?

Apa boleh buat, momentum penting itu terlewatkan. Saya tidak heran, di akhir tahun Kepala SKPD biasanya mendadak sibuk. Kesibukan yang sebenarnya tidak perlu bila sepanjang tahun mereka bekerja dengan benar dan profesional. Mengurusi surat perintah perjalanan dinas (SPPD) atau kemana sisa anggaran harus dialokasikan, sungguh tidak perlu bila good governance benar-benar dipaktekkan.

Drama lupa itu belum berakhir. Selasa malam (18 Desember 2012) serial hikayat ini tiba di telepon genggam saya. Entah karena merasa bersalah, kata sahibul cerita, dipimpin salah seorang Asisten, para Kepala SKPD menyiapkan doa syukur (tentu lengkap dengan makan-makannya) memperingati dua tahun kepemimpinan Bupati. Sedianya  mintahang ini dilaksanakan di Rumah Dinas(Rudis) Bupati (lama) di Molibagu. Tersebab Bupati kadung jengkel, (saya tidak tahu dengan alasan apa, karena lupa ditanyakan ke si pembawa info) rencana syukuran itu kemudian dipindahkan ke Rudis (baru) di Pinolosian.

Tampaknya para inisiator acara syukuran itu memegang teguh prinsip: Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mereka lupa, kejengkelan yang dipupuk tak lebih dari menabur garam dan asam jeruk di atas luka yang masih segar.

Lucunya, syukuran kepemimpinan Bupati itu justru tak dihadiri Oku. Kata sang pengabar, Bupati yang tiba menjelang malam di Rudis dari perayaan Natal di Pinolosian Timur, melaksanakan sholat Magrib, dan setelah itu bersigegas ke Posigadan untuk acara lain yang sudah dijadwalkan. Akan halnya syukuran dimaksud, terus berlangsung lengkap dengan aneka hidangan.

Yang lupa saya tanyakan, apakah pula ‘’kuah asang kepala ikan’’ turut disajikan dalam syukuran tersebut? Saya yakin menu penggoda liur ini layak mewakili perasaan Bupati Herson Mayulu.***