Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, September 4, 2012

Mengail di Air Keruh Ijazah Salihi Mokodongan


LAMA hanya terdengar samar-samar, antara disidik atau di-Surat Perintah Penghentian Perkara-kan (SP3), isu keabsahan ijazah Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Salihi Mokodongan, mendadak mencuat lagi. Adalah Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulawesi Utara (Sulut), tulis situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/03/bupati-bolmong-dilaporkan-ke-polda-terkait-ijazah-palsu), Senin (3 Agustus 2012), yang melaporkan dugaan ijazah ‘’abal-abal’’ itu ke Kepolisian Daerah (Polda) Sulut.

Berita Bupati Bolmong Dilaporkan ke Polda Terkait Ijazah Palsu saya baca dengan perasaan déjà vu. Bagai pengulangan –dengan setting waktu berbeda— dari kejadian yang sama berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bolmong 2011 lalu.  Ketika itu Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta, menjadi garda depan mempermasalahkan keabsahan ijazah Salihi Mokodongan.

Isu ijazah itu terus bergulir tatkala gugatan para pesaing Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong terpilih, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Perhatian warga Mongondow kian terbetot karena ada bumbu penyedap: Dugaan itu juga dilaporkan oleh Widi Mokoginta ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Siapa pun yang mengikuti riwayat terpilihnya Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016, terutama saat sidang di MK, pasti masih mengingat tuduhan ijazah palsu Salihi Mokodongan menjadi salah satu topik utama selama proses persiangan berlangsung. Seingat saya MK tidak memutus soal ijazah, tetapi yang pasti gugatan bakal calon dan calon Bupati-Wabup Bolmong pesaing Salihi Mokodongan-Yani Tuuk ditolak.

Karena laporan ke Mabes Polri tak pernah dicabut, diam-diam perkaranya bergulir. Terakhir yang saya tahu –itu pun dari pemberitaan media online dan cetak yang terbit di Sulut--, laporan dilimpahkan ke Polda Sulut. Konon sedang disidik, tetapi ada info lain (lebih sebagai rumor dan duga-duga), kasusnya sudah di SP3.

Saya sendiri penasaran. Kalau sedang disidik, lama betul kerja Polda Sulut untuk urusan segampang itu. Walau pun saya juga tak heran karena beberapa kasus yang melibatkan elit politik atau elit birokrasi di Bolmong khususnya, bernasib mirip lumba-lumba di lautan: Tampak di depan mata, timbul-tenggelam, tapi tak pernah ditangkat jaring. Sedang bila di SP3, apakah benar surat penting ini sudah keluar? Terhitung sejak kapan dan dengan alasan apa?

***

Kini di tengah ketidak-jelasan nasib laporan polisi oleh Widi Mokoginta, Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut (saya sempat terusik mengapa bukan penyakit jantung, penyakit paru, atau kencing manis yang dipantau) beraksi dengan mengklaim memiliki bukti-bukti kuat. Sambil tak lupa Direktur Eksekutifnya, Stenly Daniel Sendouw, mengaku mendapat mandat dari masyarakat Bolmong. Masyarakat yang manakah itu?

Walau lebih banyak berada di luar Mongondow, saya masih menjadi bagian dari masyarakat Bolmong. Sebagai warga Mongondow, saya berhak tahu siapa masyarakat yang diatas-namakan itu. Atas nama di negeri ini sudah sejak lama patut dicurigai, dipertanyakan, dan ditelisik dengan serius.

Karna mandat itu pula, tak lupa dia mengecam Widi Mokoginta karena tidak menindak-lanjuti kasus itu. Kecaman ini pertegas dengan duga-duga (khas aktivis pemula yang baru kenal teori konspirasi) ada kongkalingkong antara Widi dan Bupati Salihi Mokodongan. Lalu demi menegaskan keseriusannya, Stenly Daniel Sendouw dengan heroik mengumumkan akan mengawal kasus itu, termasuk dengan menggelar demo besar-besaran di Mapolda Sulut.

Ah, membaca pernyataan ‘’calon pahlawan’’ penyakit KKN itu, spontan mulut saya mencetuskan, ‘’Rupa butul-butul jo….’’ Pertama, Widi Mokoginta telah melaporkan dugaan adanya pelanggaran hukum dari ijazah yang dikantongi Salihi Mokodongan. Dia, sepengetahuan saya (setidaknya yang ada di ranah publik), tidak pernah mencabut laporan itu. Artinya, mau ke pengadilan atau ke laut, didesak, dikawal, dipelototi atau tidak, sepenuhnya menjadi wewenang pihak kepolisian. Mau ribuan orang berdemo, membangun tenda, benteng atau kamp konsentrasi di Mapolda Sulut, bila polisi menyatakan kasusnya masih dalam penyidikan, Anda bisa berbuat apa?

Kedua, institusi apa Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut ini? Sejak kapan dia berdiri? Di mana kantornya dan apa fokus kerjanya? Mengapa repot-repot mengurusi dugaan ijazah ‘’abal-abal’’ Salihi Mokodongan sementara kasus-kasus yang tergolong kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) kelas ‘’hiu’’ dan ‘’naga’’ berserak di tingkat provinsi. Lebih penting mana, Salihi Mokodongan yang ada di Lolak sana –hampir 200 km dari Manado—atau gonjang-ganjing di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) misalnya?

Dan ketiga, tampaknya Direktur Eksekutif lembaga itu bangun kesiangan. Yang dia klaim sebagai bukti, termasuk bahwa selisih waktu antara didapatnya ijazah paket B dan C hanya 20 bulan, sudah habis-habisan dikupas di MK. Saya tidak segan mengatakan, sudah kesiangan, pekak pula. Tahukah Stenly Daniel Sendouw bahwa banyak pejabat di Sulut yang menggunakan gelar master hanya dengan berkuliah (yang hebatnya dilakukan di kelas jauh) selama satu tahun. Normalkah S2 hanya setahun? Kalau itu dianggap wajar, maka 20 bulan Salihi Mokodongan bukanlah masalah.

***

Terlepas dari tingkah lebay Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut, pihak kepolisian memang semestinya segera menuntaskan dugaan yang ditudingkan terhadap Bupati Bolmong itu. Masyarakat Mongondow, khususnya warga Bolmong (Induk), lebih dari pantas mempertanyakan dan menagih hasil kerja polisi yang sudah lebih setahun lamanya sejak Widi Mokoginta pertama kali melapor ke Mabes Polri.

Tanpa bermaksud membela Salihi Mokodongan (terlebih warga Mogondow tahu bahwa belakang saya secara terbuka mengkritik dia habis-habisan), polisi yang selama ini mengkampayekan stabilitas dan keamanan seharusnya tahu bahwa dugaan ijazah palsu Salihi Mokodongan yang  --saya kian curiga—dibuat terkatung-katung, adalah bom waktu yang mencemaskan. Sewaktu-waktu isu ini mudah digulirkan bukan hanya untuk menggoyang Salihi Mokodongan dari kursi Bupati Bolmong; provokasi yang memecah belah masyarakat ke posisi pro dan kontra; melainkan juga sebagai pancing dan umpan mengail di air keruh.

Apalagi ihwal mengail di air keruh bisa dibungkus dengan aneka alasan: Atas nama aspirasi warga, demi memberantas KKN, atau sejenisnya.***