KALI pertama
mendengar kata ‘’DL’’ dari beberapa remaja di Kotamobagu, saya terjatuh dalam
rasa tempo doeloe. Ketinggalan zaman dan kuno.
Supaya tak dilecehkan kurang gaul, mengangguk-angguk dengan
wajah serius dan seolah-olah paham adalah senjata ampuh. Setelah itu buru-buru
mencari adik dan para sepupu perempuan yang biasanya up to date dengan segala istilah terkini di kalangan orang
Mongondow, sebab biasanya kaum remaja dan perempuanlah produsen utama
bahasa-bahasa baru dan ajaib itu.
Kreativitas bahasa orang Mongondow, sepengalaman saya,
memang berkembang sangat pesat. Karena itu setiap kali pulang ke Kotamobagu saya
menyiapkan diri mendengar istilah-istilah dan kata-kata yang tak tercantum di
kamus dan ditemukan dalam pergaulan sehari-hari saya di luar Mongondow. Di
banyak kasus, tidak terlampau sulit menyesuaikan telinga karena istilah atau
kata-kata itu sekadar adopsi atau pembumian dari pengertian sejenis ditempat
lain.
Dan emang, ya ampun, ‘’DL’’ yang membuat saya terbego-bego
itu ternyata bisa berarti ‘’daong lemong’’, ada pula ‘’derita lu’’, yang
masing-masing digunakan untuk konteks yang berbeda. Terhadap yang lebay dan merana-rana, bolehlah kita
menyebut sebagai ‘’DL’’ yang cuma daong
lemong sekaligus derita lu. Sebaliknya
kalau kita ingin unjuk diri, boleh menyebut, ‘’Kita bukang DL (yang artinya bukan daong lemong).’’ Tambahkan pula, ‘’Kalu keberatan, itu DL (derita lu) sendiri.’’
Mengingat DL yang saya pahami ini hanya berdasar penjelasan
kiri-kanan, mudah-mudahan tafsir terhadap penggunaannya tidak keliru. Tidak
enak juga bersua dengan remaja-remaja di Kotamobagu dan mendapat senyum lebar
karena sok menggunakan bahasa mereka dan ternyata salah pakai, salah tempat,
dan salah konteks.
***
Selain remaja dan kaum perempuan, para politikus Mongondow
adalah pencipta isu yang mengundang perhatian. Bedanya bila kelompok yang
pertama berkaitan dengan bahasa; gerombolan kedua ini jadi sorotan karena ulah
mereka. Yang terkini adalah gonjang-ganjing pengunduran diri Wakil Bupati
(Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan petisi bercap jempol dari tujuh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Dua isu politik panas itu sudah saya tulis di blog ini dan mengundang berbagai
komentar. Baiklah, memang ada banyak hal yang tak terjelaskan, terutama cap
jempol darah yang menurut salah seorang pengomentar yang disampaikan secara
pribadi ke saya, semestinya perbuatan yang tidak main-main. Katanya, ‘’Bukankah
cap jempol darah itu di Mongondow berarti menunjukkan keseriusan setara harga
diri.’’
Saya memanggil-manggil ingatan di kepala, di situs manakah saya sempat membaca
tulisan yang mengait-ngaitkan dan menyebut-nyebut bahwa cap jempol darah punya
akar tradisi di Mongondow umumnya dan Bolsel khususnya? Setelah selintas meng-googling dan tak jua menemukan tulisan
itu (mungkin saya keliru memasukkan kata kuncinya), saya menyerah.
Yang jelas, dasar dan alasan utama cap jempol darah yang
dilakukan tujuh anggota DPR Bolsel itu memang patut dipertanyakan. Menurut
hemat saya, bila ada yang menganggap praktek jempol darah ini punya akar
tradisi di Mongondow, mohon saya (dan mungkin beberapa orang yang sama tidak
tahunya) mendapatkan penjelasan yang mencerahkan.
Sepengetahuan saya tradisi Mongondow terhadap perjanjian dan
kesepakatan, sebelum masa dokumen legal menjadi amat-sangat penting, cukup
dengan memegang apa yang keluar dari mulut dan jabat tangan. Kalau ada yang
menelikung perjanjian itu, tidak menepati janji, diselesaikan dengan pertemuan
hingga sidang (kampung) terbuka dengan hakim dan juri para tetua yang dianggap
dapat bersikap adil dan tegas.
Lalu di manakah urusan jempol (berdarah pula) ini berasal?
Yang saya pahami muasal jempol-menjempol ini berkaitan dengan dokumen legal, di
mana mereka yang buta huruf membubuhkan legalisasinya bukan dengan stempel (ala
masyarakat feodel abad pertenggahan yang suka kita tonton di film-film) atau
tanda tangan, tetapi dengan cap jempol.
Sejalan dengan suksesnya program pemberantasan buta huruf
(PBH) yang digerakkan dengan massif sejak era orde baru (Orba), cap jempol
perlahan-lahan surut. Di Mongondow, mereka yang tidak pernah menempuh
pendidikan formal sekali pun, tapi lulus PBH, pasti bisa menggoreskan tanda
tangan (yang buta huruf pun sudah gengsi menggunakan cap jempol, terlebih apa
susahnya mencoret-coretkan tanda tangan?). Cap jempol akhirnya masuk arsip.
Bagaimana dengan anggapan bahwa cap jempol darah punya akar
tradisi di kalangan sekte-sekte tertentu atau kelompok kriminal terorganisir
(mafia, triad, dan sebangsanya)? Menggunakan darah sebagai simbol memang dapat
kita lacak sebagai tradisi di kalangan ini, tetapi bukan cap jempol darah.
Gampangnya tonton saja film-film Hollywood dan Mandarin yang
berkisah tentang kelompok kriminal terorganisir. Yang paling banyak digambarkan
adalah darah para anggota (dan calon anggotanya) dicampur dalam cawang (boleh
dengan air, minuman keras dan sejenisnya) lalu diteguk bersama. Jadilah mereka
satu keluarga yang terikat pada sumpah saling melindungi, saling menjaga, saling
membantu, dan macam-macam saling lainnya. Siapa yang melanggar, pasti hidupnya berakhir
tragis.
***
Penjelasan berbusa-busa saya itu dipotong dengan pertanyaan:
‘’Itu sebabnya aksi tujuh anggota DPR Bolsel itu tak perlu dianggap serius?’’
Untuk konteks ancaman Wakil Ketua DPR Bolsel, Riston Mokoagow, pada para
jurnalis yang aktif menulis isu itu, sebagaimana yang saya tuliskan (Tercolok Jempol di DPR Bolsel),
menanggapi dengan serius cuma buang-buang umur. Tapi bagi masyarakat Bolsel,
saya kira masalahnya tidak sesederhana ocehan salah satu pen-cap jempol-nya, Jamaludin Razak, yang
menyatakan, ‘’Tujuh jenderal cap jempol darah kini sudah terkubur.’’
Ke
tujuh anggota DPR Bolsel itu jelas-jelas mempermainkan warga Bolsel dengan
sensasi mengada-ada. Entah dengan tujuan menunjukkan mereka adalah anggota
mafia atau triad (warga Mongondow belum lupa pada ‘’tali rafia tali sepatu,
sesama mafia harus saling membantu’’ yang populer beberapa waktu lalu); atau
justru mereka sedang membentuk sekte fanatik (ini yang amat berbahaya). Sekte
fanatik yang menggunakan darah sebagai simbol biasanya bermuara pada setan dan
iblis.
Agar
musababnya terang, warga Bolsel pantas menuntut tujuh anggota DPR Bolsel itu
menjelaskan aksi mereka secara terbuka, sedetil-detilnya. Kalau tidak, jatuhkan
sanksi yang memang berakar dari tradisi mongondow: mogompat kon lipu” atau sekalian usir mereka keluar dari Bolsel. Kalau
tidak, besok-besok saya yakin bakal ada lagi ulah (atas nama rakyat) dari para
politikus yang bukan hanya menciderai stabilitas dan budaya; tapi bahkan
merusak sandi-sandi fundamental dan sakral dari peradaban Mongondow.***