Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, September 4, 2012

Kisah Pertengkaran dan Tafsir Map Hijau


INI kisah tentang seorang kawan dekat yang sangat saya hormati. Mengingat dia cukup populer di Sulawesi Utara (Sulut), namanya tidak akan saya tuliskan. Akan halnya cerita yang dibeber di tulisan ini, saya yakin dia akan sama dengan Anda sekalian, Pembaca: Menikmati dengan senyum dikulum.

Tersebutlah kawan ini dan istrinya, yang sebagaimana pasangan lain, tak lepas dari cekcok dan silang-selisih. Bedanya, di kalangan yang dekat dan tahu persis kelakuan keduanya, kebanyakan peristiwa cekcok mereka berakhir sebagai bahan lelucon.

Satu ketika istri kawan ini meradang karena suaminya terus-menerus pulang larut malam, bahkan tidak sekali-dua menjelang subuh. Pecahlah pertengkaran di antara mereka. Masing-masing pihak melontarkan gertak dan ancaman. Si istri melolongkan maklumat akan pulang ke rumah orangtuanya, kawan saya mengultimatum mau bunuh diri dengan minum racun serangga.

Keriuhan rumah tangga di mana-mana mengundang longokkan tetangga dan keluarga dekat. Satu per satu keluarga dari kedua pihak tiba dan berusaha menenangkan keduanya. Suami-istri bertengkar itu biasanya, tapi kalau jadi tontonan massal bukan hanya keduanya yang malu, tapi penonton pun akhirnya jengah.

Melihat orang-orang berkumpul, entah dibisikkan oleh ilham apa, kawan saya masuk ke dapur, diam-diam menyembunyikan kerupuk yang baru digoreng sang istri, bergegas ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat dan berteriak: ‘’Kalu bagitu ngana pe mau, biar kita mati jo!’’

Bersama teriakan itu dia mulai mengunyah kerupuk sembari menghancurkan obat anti nyamuk bakar yang memang selalu tersedia di rumah mereka. Obat anti nyamuk bakar itu kemudian dia lulurkan di sekitar mulutnya.

Mendengar teriakan mati jo itu, paniklah para sanak kerabat. Pintu kamar di dobrak dan mereka menemukan kawan saya yang menggeletak, akting seolah-olah racun obat anti nyamuk bakar yang dikunyah sudah bekerja. Geger pun meletus. Beberapa lelaki segera meringkus kawan ini, menahan tangan, kaki, dan mengekang mulutnya erat-erat. Yang lain bersigegas memanjat kelapa, mengukur dan memeras santannya. Konon salah satu obat pertolongan pertama keracunan makanan adalah dengan menggelontorkan santan kelapa kental pada korban.

Kawan saya yang melihat lima liter santan kelapa siap dicekokkan, kontan panik, meronta-ronta, dan mati-matian ingin mengatakan bahwa dia mengunyah kerupuk, bukan obat anti nyamuk bakar yang remah-remahnya berceceran. Tapi mulutnya sudah dikunci dan mulailah lima liter santan kelapa dipompakan oleh para kerabat dan tetangga hingga kawan ini kembung dan muntah-muntah.

Lima hari dia harus menanggung akibat drama ancaman bunuh dirinya. Badan remuk-redam, mulut kebas, dan diare akibat hantaman lima liter santan kelapa.

***

Lain hari, kawan yang saya ceritakan ini bertengkar lagi dengan istrinya. Penyebabnya pun bukan soal gawat yang berpotensi mengguncang stabilitas rumah tangga. Kadang-kadang cuma karena kawan ini malas-malasan mengurusi permintaan sepele istri, semisal menyiangi pohon pisang goroho yang tumbuh merimbun di sampaing rumah mereka.

Buat kawan saya, pohon pisang memang harus rimbun dan sedikit acak-acakan. Bagi istrinya, tidak mesti begitu karena banyak pertimbangan kalau: kalau jadi sarang ular, sarang kaki seribu, sarang semut, bahkan penyebab kebakaran karena suaminya sembarangan menjentikkan puntung rokok dan mendarat di daun pisang kering.

Perkara sepele sekali lagi memicu pertengkaran hebat. Tetangga yang kembali mendapat tontonan meriah, mulai keluar satu per satu menunggu aksi apa lagi yang akan dilakukan salah satu di antara pasangan ini. Sanak kerabat juga berdatangan dan mengingatkan agar mereka menggunakan akal sehatnya. Tidak baik keseringan bertengkar, hebat pula, sebab anak-anak mulai besar dan bisa membuat mereka malu melihat ayah-ibunya lebih mirip pesilat mabuk daripada orangtua yang memberi contoh positif.

Mendapatkan angin karena penonton sudah terkumpul, istri kawan ini mulai mengeluarkan jurus mematikan: ‘’Cere jo pa kita…. Cere jo pa kita….!’’

Ditohok ancaman seperti itu, kawan saya melompat dari kursi yang diduduki, masuk kamar tidur, membanting pintu dan mengaduk-aduk isi lemari tempat penyimpan berkas. Mencari surat nikah mereka. Ketika itu matanya tersirobok pada sepotong map hijau bekas tempat dokumen pekerjaan kantor. Dengan segera diraihnya map itu, menyobek-nyobek dengan bunyi keras sembari berteriak, ‘’Ngana pe mau bagitu, noh kita rabe-rabe ini surat nikah!’’

Perlu beberapa menit bagi kawan saya untuk membuat map hijau bekas dokumen itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Agar lebih dramatis, sambil menyobek-nyobek, dia juga melayangkan tendangan ke ranjang, kursi, lemari pakaian, dan meja rias istrinya.

Yang tak kawan saya duga aksi teaterikalnya itu ternyata sejak awal sudah ditonton sang istri dari jendela yang terbuka. Bersama melayangnya serpihan terakhir map hijau yang disobek-sobek sang suami, dari balik jendela istrinya  melontarkan komentar di antara tawa tertahan: ‘’Yang dia robe’-robe’ bukan surat nikah noh….’’

***

Saya teringat pada kawan dan istrinya itu (sampai hari ini keduanya masih suami-istri yang harmonis dengan cara mereka sendiri) tatkala membaca Keputusan Medy Batal dalam Hitungan Menit di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/04/keputusan-medy-batal-dalam-hitungan-menit), Selasa (4 September 2012). Ada semacam kebetulan yang lucu dari kisah suami-istri dan peristiwa yang terkait dengan Medy Lensun.

Map yang disobek-sobek kawan yang bertengkar dengan istrinya berwarna hijau, demikian pula dengan map yang ‘’katanya’’ berisi surat pengunduran diri Medy Lensun sebagai Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur (Wabup Boltim) yang dilumat pendukungnya di halaman Kantor DPR Boltim, Senin kemarin (3 September 2012).

Dan demikianlah tulisan ini berakhir. Pembaca boleh menafsir makna yang terkandung secara bebas, sesuai keyakinan dan persepsi masing-masing.***