Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, September 3, 2012

Boltim: ‘’Pemimpin Rajin Ba Garta’, Rakyat Hobi Ba Dola’’


WAKIL Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Medy Lensun, Senin (3 September 2012), tiba di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Boltim, memenuhi janji mengundurkan diri dari jabatan sebagaimana digembar-gembor sejak pekan lalu. Massa yang disebut-sebut sebagai pendukungnya bersiaga, menyambut bahkan dengan deraian air mata seperti yang ditulis Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/03/seorang-pengunjuk-rasa-menangis).

Sebagai penggemar teater dan film, saya membayangkan prosesi pengunduran diri Medy dari jabatan Wabup Boltim bakal jadi sesuatu yang dramatis dan ikonik. Pengunduran dirinya akan dibicarakan hingga tahun-tahun mendatang sebagai contoh politikus idealis. Yang dihadang apapun tak goyah dari pendirian dan prinsip yang dimaklumatkan, sebab ‘’jabatan bukanlah tujuan’’ dan Bupati Sehan Lanjar lancung serta tak dapat lagi dipercaya sebagai partner.

Skenario di otak saya menggambarkan Medy turun dari mobil pribadi (dia tidak lagi menggunakan kendaraan dinas karena akan menggundurkan diri), tegak di tengah massa di bawah panggangan terik matahari, menenangkan beberapa orang yang mungkin kalap dan histeris, lalu memberi pernyataan.

Dengan ekspresi teduh, suara lembut yang terdengar hingga melewati batas halaman Kantor DPR Boltim, Medy menjelaskan mengapa dia mundur. Pilihan mundur dia ambil karena menghormati dukungan orang banyak yang percaya bahwa (sebagai pasangan Bupati-Wabup) dia dan Sehan Lanjar mampu mempertanggungjawabkan amanat yang dibebankan. Tersebab Bupati bengkok dan sebagai Wabup dia tak kuasa lagi meluruskan, jalan terbaik adalah berpisah.

Melihat dan mendengar pemimpinnya tampil sebagai pemimpin, saya yakin massa segera terbakar. Ada teriakan dan aneka ekspresi yang mendesak Medy tak mengundurkan diri. Sesuatu yang galib dipraktekkan dalam ‘’pentas teater politik’’ di Indonesia. Ada tokoh yang menggertak melepaskan atau mundur dari jabatan, lalu ada sekelompok massa yang sebenarnya lingkaran orang-orang serta sedulur dekat yang menggelar aksi heboh menolak, dan akhirnya demi orang banyak niat yang telah selurus tegakan Monas harus dibatalkan. Biasanya alasan yang mengemuka adalah demi stabilitas dan hajat hidup publik.

Telah terpatri di benak saya bahwa Medy Lensun bukanlah politikus biasa. Dia adalah anak muda yang rela melepaskan jabatan karena ingin meluruskan sesuatu yang lancung, yang semestinya dapat dilakukan bila Bupati sebagai partner tidak mengebiri kewenangannya.

Adegan berikut setelah pikuk permohonan massa agar Medy membatalkan niat adalah: Dia akan meneteskan airmata, terseret dalam haru-biru dukungan orang banyak. Tapi kemudian Medy menyampaikan penegasan bahwa dia tetap pada pendirian yang sudah diucapkan, sebab kata-katalah yang paling utama yang harus digenggam dari seorang pemimpin. Apalagi salah satu alasan utamanya mengundurkan diri justru karena tak bisa lagi memegang kata-kata Bupati Sehan Lanjar.

Massa kian histeris, lalu setelah menit-menit yang menjurus ke anarki, mereka perlahan-lahan menyurut. Orang-orang tunduk pedih karena mereka tak sedang menyaksikan seorang Wabup yang mundur dari jabatan, melainkan pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang layak dipanuti, dengan atau tanpa jabatan politik dan birokrasi formal.

***

Pembaca, imaji heroik saya terputus telepon dari seorang teman jurnalis yang sedang berada di Tutuyan, yang mengabarkan bahwa Medy Lansun batal mengundurkan diri. Massa yang hadir di halaman Kantor DPR Boltim menolak niatnya, merampas dan menyobek-nyobek surat pengunduran diri yang disiapkan. Ringkasnya: Hingga usai jam kerja resmi instansi dan lembaga pemerintah hari ini, Medy Lensun masih tetap Wabup Boltim.

Terus-terang saya kecewa dengan batalnya Medy mengundurkan diri. Sebagai pemimpin yang sudah membulatkan tekad, dia harus berani menegaskan pada massa yang mendukung bahwa pengunduran diri itu telah menjadi senilai harga dirinya. Toh Medy-lah yang mengumumkan ke seantero jagad rencananya; yang saya yakin dilakukan tidak di bawah todongan pistol, parang, atau kepungan bandit-bandit jahat.

Kalau alasannya karena massa menolak, bagaimana kalau besok jumlah yang lebih banyak berdemo untuk mendukung pengunduran diri itu? Demikian pula dengan surat yang dirampas dan disobek, cuma perkara teknis yang dapat disusulkan besok. Dia cukup menemui Ketua dan para anggota DPR Boltim, menyampaikan secara verbal (namun resmi), lalu masalah administrasi menyusul. Yang jelas harga dirinya telah ditegakkan.

Kekecewaan saya yang lain karena (seperti ditulis situs Tribun Manado) di pertemuan dengan Ketua DPR Boltim, Sumardia Modeon, dia justru sibuk menyoal poin-poin kesepakatan politiknya dengan Sehan Lanjar saat mereka mencalonkan diri sebagai pasangan Bupati-Wabup, yang dia anggap telah dilanggar. Saya menghormati dan menyayangi Medy, tetapi di titik ini saya terpaksa menyatakan: Dia sedang membuka kotak pendora aib politiknya sendiri.

Saya tahu persis ada perjanjian di atas meterai antara Sehan Lanjar dan Medy Lensun dengan saksi lima Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) partai yang mendukung pencalonan mereka. Masalahnya, bila Medy lebih berkepala dingin dan cermat, perjanjian yang dia buat dengan Sehan Lanjar bukanlah dokumen legal yang memiliki kekuatan hukum. Isinya bahkan sama sekali tidak menyinggung tuntutan atau sanksi bila salah satu pihak melakukan pelanggaran.

Di sisi lain, bila perjanjian itu dijadikan dasar tuduhan Sehan Lanjar tukang telikung janji dan dibuka ke publik, saya yakin masyarakat Boltim justru akan meradang. Pembaca, perjanjian itu tidak ada hubungannya dengan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tidak pula ada relevansinya dengan melaksanakan pemerintahan yang  mengabdi pada kepentingan orang banyak

Perjanjian keduanya, menurut saya, adalah ‘’dagang’’ politik dan kekuasaan biasa antara dua orang politikus. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak punya kekuatan apa-apa selain senjata bagi rakyat banyak yang justru suara dan dukungannya ternyata sekadar komoditas politik belaka.

***

Dari Tutuyan, Boltim, hari ini saya gagal turut bangga karena masih ada politikus yang –minimal—ucapannya bisa dipegang dan dipercaya. Kalau pun ada pelajaran yang pantas dipetik dari pertunjukan dengan aktor utama Wabup Boltim itu, hanya sesuatu yang tua dan klasik: Seorang politikus harus bisa mengontrol emosi dan mulut. Bila tidak, dia bakal jadi olok-olok dan cemooh.

Benar, dengan batalnya Medy mengundurkan diri, kita harus mahfum bahwa memang salah satu keistimewaan Boltim adalah para pemimpinnya ternyata cuma rajin ba garta’, sementara rakyatnya terbukti sangat hobi ba dola’. ***