Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, September 6, 2012

Eyang dan Medy, Sudahlah….


KERIUHAN pengunduran diri Medy Lensun dari jabatan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) yang kemudian batal, mulanya adalah dinamika dan diskursus sosial-politik menarik. Tapi saking banyaknya pengomentar, pendukung, analis hingga ‘’tukang kompor’’ yang angkat bicara dan ngalor-ngidul kemana-mana, dengan cepat  isu ini jadi menjengkelkan.

Dari cermatan saya kebanyakan orang yang omongannya dikutip media –termasuk analisis dari yang ditahbis  sebagai pakar--, sekadar menambah ramai teater politik itu dengan mengesampingkan aspek-aspek substansial dan fundamental dari pernyataan dan langkah-langkah yang diambil Medy. Alih-alih mendudukkan dan menjernihkan tindakkan tiap aktor-aktor utama yang terlibat,  para pemain tambahan jadi tak beda dengan penonton sabung ayam. Mendorong-dorong, menyoraki, dan menyemangati ayam jagoannya masing-masing.

Sejumlah pernyataan yang dipublikasi Harian Manado Post, Kamis (6 September 2012), misalnya, hanya melebar-lebarkan isu dan memperuncing hubungan Sehan Lanjar (sebagai pribadi dan Bupati Boltim) dengan Medy Lensun. Apalagi para komentator yang dikutip di berita AMTI Kecam Pernyataan Lanjar itu, adalah mereka yang memposisikan diri sebagai penyokong Medy.

***

Begini, sidang pembaca, bagaimana kalau kita urut fakta-fakta dan ujung-pangkal drama pengunduran diri Medy sebelum menyimpulkan (mirip karya ilmiah anak sekolah) apa yang semestinya dilakukan semua pihak ke depan.

Pertama, Sehan Lanjar (yang akrab disapa Eyang)-Medy Lensun mencalonkan diri sebagai Bupati-Wabup Boltim dengan sokongan lima partai; dan terpilih. Masyarakat Boltim tahu mereka memilih pasangan ini bersama sejumlah komitmen dan janji seperti yang mereka kampanyekan.

Di balik punggung masyarakat diam-diam ada perjanjian politik yang ditanda-tangani keduanya, disaksikan ketua-ketua partai pengusung. Perjanjian itu (sebagaimana yang sudah saya tuliskan), tidak ada hubungannya dengan pemerintahan yang efisien, efektif, dan bersih; apatah lagi kesejahteraan dan kemaslahatan warga Boltim. Tidak pula ada dasar mengapa mereka membuat kesepakatan itu serta sanksi apabila ada yang melanggar.

Ringkasnya, kandungan substantif perjanjian itu justru (meminjam pengakuan Eyang sendiri) sesat.

Kedua, setelah terpilih, Eyang-Medy bersama-sama menjalankan pemerintahan, yang tampaknya serius demi kemaslahatan orang banyak. Ada beberapa prestasi yang layak dicatat dan dipuji; demikian pula dengan kekeliruan dan kegagalan, termasuk penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan Boltim dua tahun terakhir.

Dalam menjalankan tanggungjawab, wewenang dan fungsi Bupati-Wabup, keduanya tentu memilih para pembantu (sekretaris daerah –Sekda-- serta Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah --SKPD—dan jajaran di bawahnya) dengan pendekatan kompetensi. Saya pribadi tidak pernah mendengar, misalnya, Sekda Boltim dipilih karena dia kerabat Bupati dan Kepala Dinas A sebab posisi itu jatah Wabup.

Demikian pula dengan proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), sepengetahuan saya dikerjakan oleh kontraktor atau pemasok tertentu yang terpilih juga tidak berdasarkan jatah pembagian untuk Bupati dan Wabup.

Ketiga, di tengah pemahaman umum seperti itu, tiba-tiba Medy mengumumkan pengunduran diri dengan alasan Eyang melanggar perjanjian yang mereka tanda-tangani saat mencalonkan diri. Artinya: Medy tidak sedang mempermasalahkan wewenangnya sebagai Wabup sesuai undang-undang (UU) dan turunannya, melainkan kekecewaan terhadap bagi-bagi porsi yang ternyata dianggap tidak sesuai dengan perjanjiannya (sebagai pribadi) dengan Eyang (sebagai pribadi pula).

Sebelum orang-orang yang kini berhadapan di posisi pro dan kontra meradang, saya harus mengingatkan bahwa perjanjian antara Eyang dan Medy harusnya boleh digugat sebagai pelanggaran hukum. Sebab berdasar perjanjian itu keduanya terbukti mengikatkan diri dalam mufakat (dan bersama ketua lima partai pengusung bersekongkol) menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab sebagai Bupati-Wabup. Mencermati kandungannya, saya tak ragu menyatakan institusi dan aparat berwenang semestinya dapat menggunakan perjanjian itu sebagai dasar adanya rencana jahat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Keempat, dengan dalih tidak disetujui pendukungnya (yang merampas dan menyobek-nyobek surat pengunduran diri yang siap diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat –DPR—Boltim), Medy membatalkan niatnya. Pada saat membatalkan pengunduran dirinya itu tidak disinggung apakah dengan demikian Medy membatalkan dan mencabut pula semua tuduhan dan serapah yang sudah dilontarkan terhadap Eyang. Tidak ada juga permintaan maaf secara terbuka terhadap seluruh warga Boltim, mengingat dia bukan hanya Wabup dari para pendukungnya, tetapi pemimpin dari orang se kabupaten.

Dan lima, atas rencana pengunduran diri dan  pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Medy, utamanya terhadap Eyang (yang saya cermati umumnya bersifat pribadi), mendapat respons yang gradually dari Bupati. Mulanya Eyang terkesan mengalah dengan mengatakan tidak tahu alasan rencana pengunduran diri Wabup. Namun bersamaan dengan meningginya intensitas isu, terlebih setelah Medy melontarkan aneka tuduhan yang cukup memerahkan kuping, Eyang ‘’tampaknya’’  tak kuasa mengontrol kesabarannya.

Reaksi Eyang pun tak kurang pedas. Dari menyindir Medy di Paripurna DR Boltim, Senin (3 September 2012), bahwa kalau dia yang mengundurkan diri, cukup suratnya dititip ke pengendara becak motor (bentor) atau ojek; menjelaskan bahwa perjanjian antara dia dan Medy adalah sesat; menjawab pertanyaan media tentang batalnya pengunduran diri Wabup dengan ‘’Ha ha ha….’’ saja; menilai sebagian pendemo yang mendukung Medy bukanlah warga Boltim; hingga menolak kemungkinan rekonsiliasi di antara keduanya.

***

Dari fakta-fakta itu, apa langkah terbaik dari pihak-pihak terkait dan konsern agar isu yang membuat demam dinamika sosial-politik di Boltim mereda? Satu-satunya upaya yang paling masuk akal adalah Eyang dan Medy segera menghentikan saling lontar komentar atau pernyataan (termasuk di media sosial). Mereka berdua juga perlu dengan tegas meminta (dan memerintahkan) orang-orang yang mengaku sebagai pendukung untuk tak menambah keruh situasi dengan aneka ocehan dan manuver.

Hanya dengan upaya itu diharapkan tensi tinggi antara para elit di Boltim perlahan-lahan mendingin. Setelah itu (yang saya perkirakan memerlukan waktu berbulan) barulah rekonsiliasi antara Eyang dan Medy mungkin di wujudkan. Di tahap ini partai-partai pendukung, atas kesediaan dua tokoh yang berseteru, mengupayakan pertemuan tertutup di mana proses yang terjadi di dalam ruangan haram hukumnya dijadikan konsumsi publik.

Mendorong dua tokoh yang sudah terlanjur saling melukai untuk segera duduk bersama, seperti yang disarankan sejumlah suara netral, tak beda dengan menyediakan peluang dan kesempatan buat keduanya berhadap-hadapan langsung, menghunus senjata berat, dan saling bantai. Dua gajah yang berseteru, didukung gerombolan penyokong masing-masing, niscaya hanya memporak-porandakan hutan dan menjatuhkan banyak korban ikutan.***