Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, August 31, 2012

Tercolok Jempol di DPR Bolsel


POLITIKUS di Mongondow tampaknya memang gemar bikin sensasi, bahkan sebelum akal sehat mereka usai memproses tindakan yang diambil. Kadang-kadang ulah itu bisa kita nikmati sebagai lelucon, tontonan sambil mengudap goroho direbus dengan santan, atau yang paling buruk menjengkelkan karena menunjukkan kualitas mereka yang tak lebih dari blanga goreng popolulu.

Pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bolaang Mongondow Selatan (DPR Bolsel), Riston Mokoagow, yang hari ini (Jumat, 31 Agustus 2012) saya baca di situs Kontraonline.Com, menjadi salah satu contoh bagaimana politikus kita memang menerapkan aksi ‘’bicara dulu, berpikir kemudian’’. Perilaku itu celakanya dilakukan di sembarang tempat, termasuk di Rapat Paripurna sepenting pembahasan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2012. Sebagai bagian dari pandangan fraksi pula.

Di Rapat Paripurna APBD-P Bolsel tahun 2012 yang berlangsung di Molibagu, tulis Kontraonline.Com, Riston menuding pemberitaan berkaitan aksi cap jempol darah yang dilakukan tujuh anggota DPR Bolsel beberapa waktu lalu, adalah bagian dari upaya memprovokasi hubungan eksekutif dan legislatif. Karena sudah menyudutkan pihak DPR, janji  Riston, dia dan teman-teman (anggota DPR Bolsel) bakal melaporkan hal ini ke pihak kepolisian.

Sebagai anggota DPR (bahkan Wakil Ketua), Riston tampaknya lebih banyak tidur dan main game dibanding membaca-baca dan mempelajari hal-hal mendasar yang mesti diketahui dan dipahami seorang politikus yang juga legislator. Atau dia bersikap pura-pura buta-tuli bahwa kerja jurnalistik dilindungi undang-undang (UU) yang bersifat lex specialist, yang artinya bila ada masalah dengan pemberitaan oleh media, kasusnya dihadapkan ke Dewan Pers, bukan polisi.

Ada pengecualian (saya yakin sebagian besar jurnalis akan menentang pendapat ini), kalau pemberitaan oleh media ditulis 100 persen tanpa fakta, menurut hemat saya wilayahnya bukan UU Pers, melainkan pidana. Apakah pemberitaan cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel berdasar kuat atau sekadar karang-karangan para wartawan?

Dugaan saya, Riston Mokoagow dan enam anggota DPR Bolsel yang pernah melakukan cap jempol darah kini tak berdaya namun tak ingin kehilangan muka. Karena masih amatir dalam politik, bukannya bersiasat dengan cara canggih, dia memilih jalan paling gampang: Menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.

***

Ihwal cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel itu pertama kali saya baca di Radar Sulteng Online (http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/detail/rubrik/45/3450), Selasa, 24 Juli 2012, dengan tajuk 7 Legislator Cap Jempol Darah. Judulnya yang ‘’gawat’’ mendorong saya menyimak berita tersebut. Sayangnya tak ada penjelasan lebih jauh siapa dan mengapa anggota-anggota DPR yang terhormat itu melakukan upacara ala sekte fanatik atau kelompok kriminal terorganisir.

Tanda-tanya di kepala saya baru terjawab setelah membaca situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=114009), Rabu, 25 Juli 2012, yang mempublikasi Sumpah Jempol Daerah Terkuak: 1 Legislator Ajukan 3 Petisi. Berita ini dilengkapi foto petisi yang ditanda-tangani serta info grafis yang memperjelas poin demi poinnya.

Nama-nama anggota DPR Bolsel yang menandatangani petisi adalah Riston Mokoagow, Ibrahim Podomi, Jamaludin Rajak, Ismail Paputungan, Sumitro Moha, Syamsudin Jamaludin dan Syafrudin Datu. Isi petisinya sendiri: 1) Tidak akan mengikuti dan menghadiri HUT Bolsel (Paripurna). 2) Tidak akan mengikuti dan membahas serta menetapkan atau pun menyetujui kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara. Dan 3) Tak akan membahas dan menetapkan perda-perda lainnya di Bolsel. Apabila Bupati Bolsel serta unsur pemda lainnya tidak menyetujui dan mengikuti prinsip-prinsip keadilan yang diinginkan oleh anggota dewan perwakilan daerah sebagai representasi dari rakyat Bolsel.

Baiklah, ‘’para pendekar’’ penjempol-darah petisi telah diketahui, demikian pula isinya, tapi latar belakang aksi itu tak jua terjawab. Beberapa teman dan kenalan di Mongondow yang saya tanyai sambil lalu, juga kompak menyatakan tidak tahu. Maka dengan menduga-duga, saya menyimpulkan (sesuka hati saya), bahwa petisi dijempoli darah itu pasti tak lepas dari masalah pembagian porsi ‘’kue’’ yang umum jadi isu di seantero negeri ini.

Bukan rahasia lagi, bila eksekutif (Bupati dan jajaran) agak ketat melakukan bagi-membagi ‘’kue’’ ke legislatif, dapat dipastikan aneka isu bakal bersemburan, membuat suhu politik dan pemerintahan meriang -–terlebih bila yang dibagi onde-onde dan legislatif merasa mereka hanya kebagian bumbu kelapanya. Dalam hati saya membathin: ‘’Begitu tujuh orang anggota DPR itu mendapat masing-masing satu piring onde-onde, mereka bakal tak dapat membedakan lagi apakah bekas jempol di petisi berwarna merah karena darah atau akibat gula yang meluber.’’

Sudah pengetahuan umum yang lain bahwa kebanyakan politikus kita (tak hanya di Mongondow) bisa mendadak cerewet dan gagah berani membela rakyat; juga mendadak diam dengan alasan yang sama. Sementara rakyat yang diatas-namakan hanya bisa melongo-longo bingung karena situasi dan kondisi mereka ternyata cuma berubah seupil, atau bahkan sama sekali tidak.

***

Saya hampir melupakan perkara petisi cap jempol darah itu hingga membaca berita Cap Jempol Darah Dilanggar di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115018), Rabu, 29 Agustus 2012. Saya terbahak membaca kutipan dari salah seorang anggota DPR yang ikut menjempolkan darahnya, Jamaludin Razak, yang menyatakan, ‘’Tujuh jenderal cap jempol darah kini sudah terkubur.’’

Rupanya hanya dalam jangka satu bulan darah yang dibubuhkan di atas petisi yang mereka buat sudah berubah jadi gula merah onde-onde.

Sebagaimana dimulainya, berakhirnya petisi juga tak diketahui sebabnya. Tidak pula ada penjelasan apakah prinsip-prinsip keadilan sebagaimana yang mereka cantumkan di poin tiga petisi akhirnya disetujui dan diikuti oleh Bupati Bolsel dan unsur Pemda lainnya. Kalau pun disetujui dan diikuti, apa sebenarnya makluk yang disebut sebagai ‘’prinsip-prinsip’’ keadilan itu?

Di antara sejumlah tanya dan misteri, Riston Mokoagow yang namanya tercantum di nomor satu penjempol-darah tiba-tiba meradang pada para jurnalis dengan ancaman menyeret mereka ke hadapan polisi. Lengkaplah sudah tontonan ondel-ondel di DPR Bolsel dan karenanya izinkan saya mencaci secara terbuka: Idiot!

Menghadapi politikus kelas kuaci seperti yang ditunjukkan beberapa anggota DPR Bolsel, saya kira para jurnalis tak perlu ikut-ikutan bertindak bodoh dengan beramai-ramai pula mengadu ke polisi. Cukup kirimkan UU Pers, lup dan Cerebrovit X-Cel (nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan vitamin, mineral tubuh dan otak) dengan iringan doa semoga jendela pengetahuan dan kearifan segelintir legislator itu bolehlah sedikit terkuak.

Meladeni kebodohan dengan serius adalah perbuatan sia-sia yang cuma membuang-buang umur.***