KONON kian
panjang rentang usia seseorang makin kerap dia menengok ke belakang. Di usia
melewati 40 tahun saya pun tak kuasa menolak kecenderungan itu. Tapi setidaknya,
untuk saya pribadi, masa kini selalu punya tautan dengan sesuatu yang dapat
ditengok ke belakang.
Mengikuti dinamika di Bolaang Mongondow (Bolmong) saat ini
pun tak lepas dari ingatan yang kadang-kadang menggelikan bagi generasi kini.
Anak-anak saya, misalnya, hanya nyengir
ketika diungkapkan bahwa setiap kali melakukan perjalanan dari Manado ke
Kotamobagu (ke rumah Aki dan Ba’ai mereka), saya selalu lega setelah melewati
kelokan tajam Inobonto –menjelang Jembatan Kaiya yang setia tegak beberapa
ratus meter di sisi kanannya.
Rumah Ayah-Ibu makin terasa dekat setelah melewati sepotong
jalan di ruas Lobong yang sejak masa remaja saya terus-menerus bikin masalah;
lalu Tugu Nenas yang jadi penanda komoditi andalan desa ini; dan terakhir
kelokan menjelang gerbang Kotamobagu (dulu) yang biasanya dihiasi baliho
raksasa sejak zaman Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan.
Tugu Nenas (yang sekarang tampaknya tak lagi diperdulikan
orang) bukanlah sebuah monumen besar. Dia hanya sepotong adonan semen, batu dan
pasir dengan puncak dihiasi nenas dengan ukuran tak mencolok. Tak sebesar Tugu
Kacang di Kawangkoan yang langsung memaku pandangan begitu kita memasuki kota
ini dari arah Tomohon.
Tapi sebagaimana Tugu Kacang, Tugu Nenas melekat di benak
saya dan jadi penanda karena sejumlah pengetahuan yang jadi alasan. Warga
Lobong pantas mengabadikan nenas sebagai ‘’sesuatu’’. Buah ini berhasil menjadi
komoditi utama yang membawa kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka. Di antara
duri-duri daun nenas yang pedih dan gatal bila tertusuk kulit, buah ini seperti
emas yang siap dipetik.
Diam-diam selama bertahun-tahun saya mengangguk penuh hormat
setiap kali melewati Tugu Nenas. Mereka yang membangun –kemudian membiar begitu
saja—mungkin sudah usai mengekspresikan apapun nilai yang ingin diabadikan dari
tugu itu. Namun buat saya pribadi, sebagai simbol, tugu itu menyimpang pesan
yang seharusnya melewati generasi ke generasi: Sumber kehidupan kerap datang
dari sesuatu yang sebelumnya bukan hal penting bagi kebanyakan kita.
Nilai itu pula yang membuat saya menghormati simbol
Mongondow yang lain: Patung Bogani. Saya sangat yakin sosok Bogani yang
sebenarnya barangkali sangat berbeda dengan yang digambarkan lewat patungnya. Tapi
seorang gagah yang berdiri dengan tameng dan tombak, dengan wajah menengadah
penuh percaya diri, sungguh semestinya mewakili orang Mongondow: Mereka yang
tanpa gentar dan ragu menyatakan diri.
Dari Patung Bogani saya mengidentifikasi diri sebagai orang
Mongondow. Selepas Sekolah Menengah Atas (SMA), saya yang sebenarnya bukan
seorang pemberani (terlebih dengan tubuh tinggi kurus tanpa otot), setelah jauh
dari rumah Ayah-Ibu bisa tiba-tiba beringas membela diri bila diperlakukan
semena-mena, hanya dengan membayangkan sosok Bogani. Bayangan yang ada di
kepala saya, lucunya, hanya meminjam semangat berani yang digambarkan dari
patungnya.
Pembaca, Anda mungkin tidak percaya bahwa sebuah patung
dapat membangkitkan nyali. Tapi orang Mongondow siapa –setidaknya mereka yang
pernah dengan cermat mengamati-- yang bisa membantah, bila disalami dengan
khusuk, Patung Bogani memang mampu menggentarkan hati?
***
Ada pesan yang sarat nilai dari penanda seperti Tugu Nenas
atau Patung Bogani. Pesan itu pula yang susah payah saya kais tatkala membaca Djelantik Letakan Batu Pertama Pembangunan
Tugu ‘’Binarundak’’ di http://www.beritamanado.com/
pada Sabtu, 25 Agustus 2012 (sebagai catatan: Penulis berita ini mesti belajar
bahasa Indonesia dengan lebih serius, sebab seharusnya bukan ‘Letakan’ tetapi
‘Letakkan’).
Tanpa bermaksud membuat tersinggung seluruh warga Motoboi
Besar yang bersuka ria, bergotong royong dan memestakan pembangunan Tugu
Binarundak itu, saya ingin bertanya: Tugu itu ingin menyimbolkan apa? Pesan dan
nilai apa yang ingin disampaikan?
Apakah binarundak ditemukan dan hanya dibuat di Motoboi
Besar? Apakah jenis makan ini bersumber dari kelurahan ini? Atau adakah tradisi
asli warganya yang terikat erat dengan binarundak, sehingga dia absah
diabadikan sebagai sebuah tugu? Seingat saya, di acara-acara tertentu
binarundak umum ditemukan di seluruh Mongondow. Berbeda, misalnya, dengan ilulut (daging, kulit, jeroan, dan
tulang sapi yang dimasak tanpa garam –tapi anehnya tidak tawar) yang hanya khas
Motoboi Kecil.
Dengan rendah hati saya ingin mengingatkan bahwa binarundak
harus dikaji dengan serius apakah memang berakar di Mongondow atau hasil adopsi
tata cara kuliner dari persentuhan budaya, sosial dan ekonomi dengan masyarakat
lain. Di luar Mongondow, di Sulut warga Minahasa mengenal binarundak sebagai
‘’nasi jaha’’. Di konteks yang lebih luas, masyarakat Indonesia tahu bahwa
makanan dari beras pulut yang diadon dengan santan dan ditanak di dalam tabung
(bambu) adalah ‘’lemang’’.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Umum Bahasa
Indonesia (KUBI), jenis makanan ini juga tidak dibakukan sebagai ‘’binarundak’’
atau ‘’nasi jaha’’, melainkan ‘’lemang’’.
Dengan pula memohon maaf sebesar-besarnya pada warga Motoboi
Besar, bila benar alasan pembangunan tugu itu (sebagaimana yang ditulis Beritamanado.Com) sebagai tanda
peringatan acara binarundak yang dilaksanakan setiap tahun, bangun-membangun
tugu yang sekadar tugu sebentar lagi bakal jadi trend percuma di seantero Mongondow (sebagaimana trend rekor Museum Rekor Indonesia
–MURI—yang pernah mewabah). Yang paling mudah diduga adalah bakal ada Tugu
Ketupat, sebab masyarakat Mongondow sekarang juga ghirah berlebaran ketupat. Lalu setelah itu ada Tugu Dinangoi, Tugu
Kacang Goyang, Tugu Pisang Goroho Goreng, Tugu Tude Bakar, dan tidak tertutup
kemungkinan Tugu Biapong.
Sebagai warga Mongondow, saya tidak keberatan. Setidaknya
dengan demikian cukup banyak tempat yang dapat diklaim sebagai situs wisata
(kuliner) di Bolmong. Walau, di balik itu saya pening memikirkan bagaimana
bentuk Tugu Yondog Binango’an, mengingat makanan ini –selain kuliner eksotis
sangat khas seperti ilulut dan dinangoi— bukan sekadar pengganjal perut
bagi orang Mongondow, melainkan nyaris menjadi identitas budayanya.
Jauh di rantau, dengan mengesampingkan tugu-tuguan yang barangkali
bakal bertumbuhan itu, saya bersaksi dengan serius: Kuliner Mongondow memang
dasyat! Nyam-nyam….***