Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, August 29, 2012

Kuliner Mongondow Memang Dasyat!


KONON kian panjang rentang usia seseorang makin kerap dia menengok ke belakang. Di usia melewati 40 tahun saya pun tak kuasa menolak kecenderungan itu. Tapi setidaknya, untuk saya pribadi, masa kini selalu punya tautan dengan sesuatu yang dapat ditengok ke belakang.

Mengikuti dinamika di Bolaang Mongondow (Bolmong) saat ini pun tak lepas dari ingatan yang kadang-kadang menggelikan bagi generasi kini. Anak-anak saya, misalnya, hanya nyengir ketika diungkapkan bahwa setiap kali melakukan perjalanan dari Manado ke Kotamobagu (ke rumah Aki dan Ba’ai mereka), saya selalu lega setelah melewati kelokan tajam Inobonto –menjelang Jembatan Kaiya yang setia tegak beberapa ratus meter di sisi kanannya.

Rumah Ayah-Ibu makin terasa dekat setelah melewati sepotong jalan di ruas Lobong yang sejak masa remaja saya terus-menerus bikin masalah; lalu Tugu Nenas yang jadi penanda komoditi andalan desa ini; dan terakhir kelokan menjelang gerbang Kotamobagu (dulu) yang biasanya dihiasi baliho raksasa sejak zaman Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan.

Tugu Nenas (yang sekarang tampaknya tak lagi diperdulikan orang) bukanlah sebuah monumen besar. Dia hanya sepotong adonan semen, batu dan pasir dengan puncak dihiasi nenas dengan ukuran tak mencolok. Tak sebesar Tugu Kacang di Kawangkoan yang langsung memaku pandangan begitu kita memasuki kota ini dari arah Tomohon.

Tapi sebagaimana Tugu Kacang, Tugu Nenas melekat di benak saya dan jadi penanda karena sejumlah pengetahuan yang jadi alasan. Warga Lobong pantas mengabadikan nenas sebagai ‘’sesuatu’’. Buah ini berhasil menjadi komoditi utama yang membawa kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka. Di antara duri-duri daun nenas yang pedih dan gatal bila tertusuk kulit, buah ini seperti emas yang siap dipetik.

Diam-diam selama bertahun-tahun saya mengangguk penuh hormat setiap kali melewati Tugu Nenas. Mereka yang membangun –kemudian membiar begitu saja—mungkin sudah usai mengekspresikan apapun nilai yang ingin diabadikan dari tugu itu. Namun buat saya pribadi, sebagai simbol, tugu itu menyimpang pesan yang seharusnya melewati generasi ke generasi: Sumber kehidupan kerap datang dari sesuatu yang sebelumnya bukan hal penting bagi kebanyakan kita.

Nilai itu pula yang membuat saya menghormati simbol Mongondow yang lain: Patung Bogani. Saya sangat yakin sosok Bogani yang sebenarnya barangkali sangat berbeda dengan yang digambarkan lewat patungnya. Tapi seorang gagah yang berdiri dengan tameng dan tombak, dengan wajah menengadah penuh percaya diri, sungguh semestinya mewakili orang Mongondow: Mereka yang tanpa gentar dan ragu menyatakan diri.

Dari Patung Bogani saya mengidentifikasi diri sebagai orang Mongondow. Selepas Sekolah Menengah Atas (SMA), saya yang sebenarnya bukan seorang pemberani (terlebih dengan tubuh tinggi kurus tanpa otot), setelah jauh dari rumah Ayah-Ibu bisa tiba-tiba beringas membela diri bila diperlakukan semena-mena, hanya dengan membayangkan sosok Bogani. Bayangan yang ada di kepala saya, lucunya, hanya meminjam semangat berani yang digambarkan dari patungnya.

Pembaca, Anda mungkin tidak percaya bahwa sebuah patung dapat membangkitkan nyali. Tapi orang Mongondow siapa –setidaknya mereka yang pernah dengan cermat mengamati-- yang bisa membantah, bila disalami dengan khusuk, Patung Bogani memang mampu menggentarkan hati?

***

Ada pesan yang sarat nilai dari penanda seperti Tugu Nenas atau Patung Bogani. Pesan itu pula yang susah payah saya kais tatkala membaca Djelantik Letakan Batu Pertama Pembangunan Tugu ‘’Binarundak’’ di http://www.beritamanado.com/ pada Sabtu, 25 Agustus 2012 (sebagai catatan: Penulis berita ini mesti belajar bahasa Indonesia dengan lebih serius, sebab seharusnya bukan ‘Letakan’ tetapi ‘Letakkan’).

Tanpa bermaksud membuat tersinggung seluruh warga Motoboi Besar yang bersuka ria, bergotong royong dan memestakan pembangunan Tugu Binarundak itu, saya ingin bertanya: Tugu itu ingin menyimbolkan apa? Pesan dan nilai apa yang ingin disampaikan?

Apakah binarundak ditemukan dan hanya dibuat di Motoboi Besar? Apakah jenis makan ini bersumber dari kelurahan ini? Atau adakah tradisi asli warganya yang terikat erat dengan binarundak, sehingga dia absah diabadikan sebagai sebuah tugu? Seingat saya, di acara-acara tertentu binarundak umum ditemukan di seluruh Mongondow. Berbeda, misalnya, dengan ilulut (daging, kulit, jeroan, dan tulang sapi yang dimasak tanpa garam –tapi anehnya tidak tawar) yang hanya khas Motoboi Kecil.

Dengan rendah hati saya ingin mengingatkan bahwa binarundak harus dikaji dengan serius apakah memang berakar di Mongondow atau hasil adopsi tata cara kuliner dari persentuhan budaya, sosial dan ekonomi dengan masyarakat lain. Di luar Mongondow, di Sulut warga Minahasa mengenal binarundak sebagai ‘’nasi jaha’’. Di konteks yang lebih luas, masyarakat Indonesia tahu bahwa makanan dari beras pulut yang diadon dengan santan dan ditanak di dalam tabung (bambu) adalah ‘’lemang’’.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), jenis makanan ini juga tidak dibakukan sebagai ‘’binarundak’’ atau ‘’nasi jaha’’, melainkan ‘’lemang’’.

Dengan pula memohon maaf sebesar-besarnya pada warga Motoboi Besar, bila benar alasan pembangunan tugu itu (sebagaimana yang ditulis Beritamanado.Com) sebagai tanda peringatan acara binarundak yang dilaksanakan setiap tahun, bangun-membangun tugu yang sekadar tugu sebentar lagi bakal jadi trend percuma di seantero Mongondow (sebagaimana trend rekor Museum Rekor Indonesia –MURI—yang pernah mewabah). Yang paling mudah diduga adalah bakal ada Tugu Ketupat, sebab masyarakat Mongondow sekarang juga ghirah berlebaran ketupat. Lalu setelah itu ada Tugu Dinangoi, Tugu Kacang Goyang, Tugu Pisang Goroho Goreng, Tugu Tude Bakar, dan tidak tertutup kemungkinan Tugu Biapong.

Sebagai warga Mongondow, saya tidak keberatan. Setidaknya dengan demikian cukup banyak tempat yang dapat diklaim sebagai situs wisata (kuliner) di Bolmong. Walau, di balik itu saya pening memikirkan bagaimana bentuk Tugu Yondog Binango’an, mengingat makanan ini –selain kuliner eksotis sangat khas seperti ilulut dan dinangoi— bukan sekadar pengganjal perut bagi orang Mongondow, melainkan nyaris menjadi identitas budayanya.

Jauh di rantau, dengan mengesampingkan tugu-tuguan yang barangkali bakal bertumbuhan itu, saya bersaksi dengan serius: Kuliner Mongondow memang dasyat! Nyam-nyam….***