Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, August 30, 2012

Eyang dan Medy: Mengapa Kemesraan Itu Cepat Berlalu?


KABAR itu tiba di malam yang menua, Rabu (29 Agustus 2012). Beberapa short message dan BlackBerry Messenger (BBM) mengabarkan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Medy Lensun, akan mengundurkan diri dari jabatannya. Pernyataan ini, tulis beberapa kawan dan sanak, bisa dicek di status BBM-nya.

Saya buru-buru mencari kontak BBM Wabup Boltim dan terhenyak ketika menemukan info itu benar adanya. Apa gerangan yang menyebabkan Medy Lensun pecah kongsi dengan pasangannya, Bupati Sehan Lanjar? Hubungan mereka, sebagaimana relasi antar elit umumnya, sepengetahuan saya sangat dinamis. Tapi biasanya dengan cepat mereka segera se-iya sekata lagi.

Kedua tokoh itu saya kenal dekat. Eyang –sapaan akrab Bupati Boltim—selalu menyebut Medy sebagai ‘’Wabup dan adik saya’’. Sebaliknya di kesempatan-kesempatan pribadi Medy menyapa Bupatinya sebagai ‘’Eyang’’ saja. Hampir tak ada jarak di antara mereka berdua.

Sebagai pasangan Bupati-Wabup terpilih yang dilantik pada 4 Oktober 2010 lalu, Eyang-Medy melalui jalan yang tak mudah. Dibanding para pesaingnya, pasangan ini adalah underdog dalam segala pengertian (tidak didukung partai besar, dana terbatas dan kalah popularitas). Eyang menggambarkan proses terpilihnya mereka berdua sebagai, ‘’Kerja politik yang susah-payah dan berdarah-darah.’’

Karena itu, dalam satu pertemuan dengan saya dan beberapa kawan di Hotel Swiss Maleosan Manado, Eyang dan Medy tanpa ragu bertekad mempertahankan duet mereka hingga akhir masa jabatan. Malam itu saya tidak menangkap yang disampaikan adalah komitmen politik, melainkan kemesraan dan saling memahami antara dua tokoh yang telah dengan tulus mengikat kesepakatan.

***

Pukul 23.39 WIB saya mengontak Medy Lensun dan menanyakan apakah dia serius dengan maklumat mundur itu? Dan apa penyebabnya? Komunikasi kami tentu bukan konsumsi publik, tetapi intinya Medy tidak sedang baku sedu. Dia dan Eyang terpaksa harus berpisah sebab memang demikianlah situasinya.

Menjelang tidur terlintas di benak saya harapan semoga Medy menyampaikan pengunduran diri (serta alasannya) dengan elegan dan bermartabat. Dengan begitu dia bukan hanya membuktikan bahwa ‘’jabatan bukan tujuan’’, tetapi juga memberikan pelajaran integritas pada warga Boltim umumnya dan Bupati Sehan Lanjar khususnya.

Sayangnya Kamis (30 Agustus 2012) beberapa media massa –cetak dan elekronik—yang memuat lebih detil ihwal pengunduran diri Medy jauh dari harapan saya. Bahkan ada berita dengan kutipan langsung, yang menurut pendapat saya, menunjukkan Medy tak mampu mengontrol emosi dan tergelincir menyerang Eyang secara pribadi sebagai sosok dengan kepribadian yang tak dapat dipercaya.

Ah, andai Medy mengundurkan diri dengan pernyataan terkontrol, bahwa karena tidak lagi cocok dengan Bupati sebagai pasangannya. Stop sampai di situ, secara eksplisit dan implisit dia dapat kita gambarkan sebagai seseorang yang pergi penuh kehormatan, santun, dengan wajah serta dada tegak. Menyerang Eyang sekadar sebagai pelampiasan apa yang bergolak di dada setelah terlebih dahulu memproklamirkan pengunduran diri, menurut hemat saya, hanya provakasi yang mengundang anak-pinak kemarahan dari banyak pihak (pro dan kontra) di jangka panjang.

Saya mencoba merasionalisasi bahwa usia dan darah muda kerap membuat kita alpa mengontrol emosi. Saya mahfum bahwa Medy pun bukan ‘’orang suci’’ yang sepenuhnya mampu bersikap arif dan bijaksana. Semoga Eyang yang diserang secara langsung tetap menunjukkan bahwa Medy adalah ‘’(bakal mantan) Wabup dan (tetap) adik saya.’’

***

Pukul 16.58 WIB, saya masih bersikutat dengan pekerjaan kantor ketika panggilan telepon dari Eyang masuk. Panggilan telepon itu hanya selisih 16 menit setelah saya mengirimkan SMS, menanyakan apa sebenarnya yang sedang terjadi antara dia dan Wabup.

Eyang yang masih berada di Gorontalo dan dalam kondisi berduka dengan wafatnya Ibu Mertuanya, meluangkan waktu bercakap-cakap dengan saya lebih dari satu jam. Banyak latar belakang yang disampaikan Eyang. Tentu dari versi subyektifnya, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah saya ketahui dari sumber lain. Biarlah percakapan antara kami –sebagaimana komunikasi saya dengan Medy—menjadi konsumsi yang tidak akan saya jadikan milik publik.

Yang dapat saya bagikan adalah, saya menyatakan menghormati sikap Eyang dan juga Medy, dan berharap keduanya dapat menyelesaikan perbedaan pendapat dengan tetap menjunjung kehormatan masing-masing. Sebagai Bupati yang juga berusia lebih tua, saya berharap Eyang tidak kehilangan kearifannya.

Hingga kami menutup percakapan, ada pertanyaan di ujung lidah yang tak pernah berhasil terucap. Sesuatu yang sepele dan tak penting, tetapi mungkin cukup mengingatkan Eyang dan Medy betapa dulu mereka rukun dan bahu-membahu mencapai posisi publik saat ini. Bahwa, ‘’Mengapa kemesraan itu cepat berlalu?’’

Tidakkah Eyang dan Medy mencoba memahami bahwa perpisahan mereka dengan cara menyakitkan sungguh mengecewakan warga Boltim; juga mematahkan hati sejumlah banyak orang yang pernah optimis pasangan ini bakal menjadi contoh sosok Bupati-Wabup ideal di Mongondow?


***

Kata-kata seperti batu yang dilamparkan atau waktu yang berlalu. Tak dapat ditarik kembali. Medy telah menyatakan pengunduran dirinya secara terbuka. Mari kita hormati sembari memberikan dukungan agar dia konsisten, sebab dengan demikian juga meletakkan harga dirinya di tempat terhormat.

Simpati dan empati berbentuk penghadangan terhadap pegawai negeri sipil (PNS) yang akan berangkat kerja ke Tutuyan seperti yang terjadi hari ini, justru bakal menciderai integritas yang ingin ditegakkan Medy. Pun aksi dukungan seperti itu hanya mengundang reaksi tak perlu yang berpotensi menciptakan perpecahan di tengah orang-orang yang sesungguhnya mungkin tak komprehensif memahami musabab ketidak-sepahaman Eyang dan Medy.

Kepada Eyang, saya hanya dapat menyampaikan (kembali): Terimalah pengunduran diri Wabup sebagai koreksi (yang sangat keras), kritik, dan teguran tanpa tedeng aling-aling dari seseorang yang hanya akan menjadi ‘’mantan Wabup''; bukan ''mantan adik’’.***