KABAR itu tiba di
malam yang menua, Rabu (29 Agustus 2012). Beberapa short message dan BlackBerry
Messenger (BBM) mengabarkan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur
(Boltim), Medy Lensun, akan mengundurkan diri dari jabatannya. Pernyataan ini,
tulis beberapa kawan dan sanak, bisa dicek di status BBM-nya.
Saya buru-buru mencari kontak BBM Wabup Boltim dan terhenyak
ketika menemukan info itu benar adanya. Apa gerangan yang menyebabkan Medy
Lensun pecah kongsi dengan pasangannya, Bupati Sehan Lanjar? Hubungan mereka,
sebagaimana relasi antar elit umumnya, sepengetahuan saya sangat dinamis. Tapi
biasanya dengan cepat mereka segera se-iya sekata lagi.
Kedua tokoh itu saya kenal dekat. Eyang –sapaan akrab Bupati
Boltim—selalu menyebut Medy sebagai ‘’Wabup dan adik saya’’. Sebaliknya di
kesempatan-kesempatan pribadi Medy menyapa Bupatinya sebagai ‘’Eyang’’ saja.
Hampir tak ada jarak di antara mereka berdua.
Sebagai pasangan Bupati-Wabup terpilih yang dilantik pada 4
Oktober 2010 lalu, Eyang-Medy melalui jalan yang tak mudah. Dibanding para
pesaingnya, pasangan ini adalah underdog
dalam segala pengertian (tidak didukung partai besar, dana terbatas dan kalah
popularitas). Eyang menggambarkan proses terpilihnya mereka berdua sebagai,
‘’Kerja politik yang susah-payah dan berdarah-darah.’’
Karena itu, dalam satu pertemuan dengan saya dan beberapa
kawan di Hotel Swiss Maleosan Manado, Eyang dan Medy tanpa ragu bertekad
mempertahankan duet mereka hingga akhir masa jabatan. Malam itu saya tidak
menangkap yang disampaikan adalah komitmen politik, melainkan kemesraan dan
saling memahami antara dua tokoh yang telah dengan tulus mengikat kesepakatan.
***
Pukul 23.39 WIB saya mengontak Medy Lensun dan menanyakan
apakah dia serius dengan maklumat mundur itu? Dan apa penyebabnya? Komunikasi
kami tentu bukan konsumsi publik, tetapi intinya Medy tidak sedang baku sedu. Dia dan Eyang terpaksa harus berpisah
sebab memang demikianlah situasinya.
Menjelang tidur terlintas di benak saya harapan semoga Medy
menyampaikan pengunduran diri (serta alasannya) dengan elegan dan bermartabat.
Dengan begitu dia bukan hanya membuktikan bahwa ‘’jabatan bukan tujuan’’,
tetapi juga memberikan pelajaran integritas pada warga Boltim umumnya dan
Bupati Sehan Lanjar khususnya.
Sayangnya Kamis (30 Agustus 2012) beberapa media massa
–cetak dan elekronik—yang memuat lebih detil ihwal pengunduran diri Medy jauh
dari harapan saya. Bahkan ada berita dengan kutipan langsung, yang menurut
pendapat saya, menunjukkan Medy tak mampu mengontrol emosi dan tergelincir
menyerang Eyang secara pribadi sebagai sosok dengan kepribadian yang tak dapat
dipercaya.
Ah, andai Medy mengundurkan diri dengan pernyataan
terkontrol, bahwa karena tidak lagi cocok dengan Bupati sebagai pasangannya.
Stop sampai di situ, secara eksplisit dan implisit dia dapat kita gambarkan
sebagai seseorang yang pergi penuh kehormatan, santun, dengan wajah serta dada
tegak. Menyerang Eyang sekadar sebagai pelampiasan apa yang bergolak di dada
setelah terlebih dahulu memproklamirkan pengunduran diri, menurut hemat saya,
hanya provakasi yang mengundang anak-pinak kemarahan dari banyak pihak (pro dan
kontra) di jangka panjang.
Saya mencoba merasionalisasi bahwa usia dan darah muda kerap
membuat kita alpa mengontrol emosi. Saya mahfum bahwa Medy pun bukan ‘’orang
suci’’ yang sepenuhnya mampu bersikap arif dan bijaksana. Semoga Eyang yang
diserang secara langsung tetap menunjukkan bahwa Medy adalah ‘’(bakal mantan)
Wabup dan (tetap) adik saya.’’
***
Pukul 16.58 WIB, saya masih bersikutat dengan pekerjaan
kantor ketika panggilan telepon dari Eyang masuk. Panggilan telepon itu hanya
selisih 16 menit setelah saya mengirimkan SMS, menanyakan apa sebenarnya yang
sedang terjadi antara dia dan Wabup.
Eyang yang masih berada di Gorontalo dan dalam kondisi
berduka dengan wafatnya Ibu Mertuanya, meluangkan waktu bercakap-cakap dengan
saya lebih dari satu jam. Banyak latar belakang yang disampaikan Eyang. Tentu
dari versi subyektifnya, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah saya ketahui
dari sumber lain. Biarlah percakapan antara kami –sebagaimana komunikasi saya
dengan Medy—menjadi konsumsi yang tidak akan saya jadikan milik publik.
Yang dapat saya bagikan adalah, saya menyatakan menghormati
sikap Eyang dan juga Medy, dan berharap keduanya dapat menyelesaikan perbedaan
pendapat dengan tetap menjunjung kehormatan masing-masing. Sebagai Bupati yang
juga berusia lebih tua, saya berharap Eyang tidak kehilangan kearifannya.
Hingga kami menutup percakapan, ada pertanyaan di ujung
lidah yang tak pernah berhasil terucap. Sesuatu yang sepele dan tak penting,
tetapi mungkin cukup mengingatkan Eyang dan Medy betapa dulu mereka rukun dan
bahu-membahu mencapai posisi publik saat ini. Bahwa, ‘’Mengapa kemesraan itu
cepat berlalu?’’
Tidakkah Eyang dan Medy mencoba memahami bahwa perpisahan
mereka dengan cara menyakitkan sungguh mengecewakan warga Boltim; juga
mematahkan hati sejumlah banyak orang yang pernah optimis pasangan ini bakal
menjadi contoh sosok Bupati-Wabup ideal di Mongondow?
***
Kata-kata seperti batu yang dilamparkan atau waktu yang
berlalu. Tak dapat ditarik kembali. Medy telah menyatakan pengunduran dirinya
secara terbuka. Mari kita hormati sembari memberikan dukungan agar dia
konsisten, sebab dengan demikian juga meletakkan harga dirinya di tempat
terhormat.
Simpati dan empati berbentuk penghadangan terhadap pegawai
negeri sipil (PNS) yang akan berangkat kerja ke Tutuyan seperti yang terjadi
hari ini, justru bakal menciderai integritas yang ingin ditegakkan Medy. Pun
aksi dukungan seperti itu hanya mengundang reaksi tak perlu yang berpotensi
menciptakan perpecahan di tengah orang-orang yang sesungguhnya mungkin tak
komprehensif memahami musabab ketidak-sepahaman Eyang dan Medy.
Kepada Eyang, saya hanya dapat menyampaikan (kembali):
Terimalah pengunduran diri Wabup sebagai koreksi (yang sangat keras), kritik,
dan teguran tanpa tedeng aling-aling dari seseorang yang hanya akan menjadi
‘’mantan Wabup''; bukan ''mantan adik’’.***