Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, August 28, 2012

Berapa Ramadhan, Berapa Lebaran?


PAGI itu kami (saya, istri dan anak-anak) berjalan kaki dari Mounts Bay Road ke Kings Hotel di Hay Street, Perth. Minggu pagi (19 Agustus 2012) yang belia. Lalu lintas masih lengang, udara pagi akhir winter terasa dingin-segar.

Belum lagi Esplanade Bus Station terlewati, saya tiba-tiba disergap rindu pada Kotamobagu. Hingga masa akhir di Perguruan Tinggi (PT), di punghujung Ramadhan kami kakak-beradik berbondong pulang dan puncaknya Sholat Id bersama di Lapangan Kotamobagu.

Ritus Idul Fitri di Kotamobagu selalu sama. Dibangunkan subuh buta oleh Ayah dan Ibu, bergegas mandi dan berwudhu, berganti pakaian, lalu memulai jalan kaki dari Jalan Amal, Jalan Adampe Dolot, dan akhirnya Lapangan Kotamobagu. Sepanjang perjalanan orang-orang dari Kelurahan Mongolaing dan sekitarnya yang tak membawa kendaraan membentuk iring-iringan jalan kaki bersama yang khusyuk dengan komat-kamit takbis dan tahmid.

Usai Sholat Id, tradisi yang bertahun-tahun dijalankan dimulai. Pertama, berkumpul di rumah Nenek (yang bentuknya kini hanya tersisa ingatan karena bersulih menjadi bangunan rumah toko –Ruko). Lalu berkunjung ke saudara Ayah (almarhum Pa’ Tua’ dan Papa Ela), ke pekuburan Mongolaing menziarahi makam Kakek dan para kerabat, ke rumah adik Ayah (Papay), dan pulang ke Jalan Amal untuk mempersiapkan safari lanjutan: Ke rumah Nenek dan kerabat dari sisi Ibu di Kopandakan, serta ke rumah Pa’ Tua’ Gode’ di Gogagoman.

Di saat-saat tertentu, terutama ketika Idul Fitri di musim hujan, selalu ada spekulasi: Apakah tahun ini Sholat Id dilangsungkan di Lapangan Kotamobagu atau di Mesjid Jami’ (Baithul Makmur)? Ya, di masa PT saya, Mesjid Baithul Makmur yang pendiriannya dirintis sejak era Bupati Oe. N. Mokoagow akhirnya selesai dibangun.

Mesjid itu sungguh luar biasa. Sebagai masjid utama di Bolaang Mongondow (Bolmong) ketika belum dimekarkan seperti saat ini, pembangunannya merentang melewati kepemimpinan lima Bupati. Baithul Makmur akhirnya rampung dan menjadi kebanggaan orang Mongondow di masa kepemimpinan Bupati J. A. Damopolii, yang dengan gigih menggerakkan seluruh potensi masyarakat.

Generasi seangkatan saya, di atas dan di bawah saya, yang di masa itu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), tak akan pernah lupa bagaimana kami –anak-anak sekolah— dengan gembira dan sukarela mengumpulkan botol bekas minuman bersoda yang kemudian dijual dan hasilnya disumbangkan untuk pembangunan Mesjid Baithul Makmur.

Jangan ditanya bersapa besar sumbangsih para orang tua dan macam-macam kelompok yang bertahun-tahun menunggu Mesjid Jami’ mereka berdiri dengan gagah.

Ketika akhirnya mesjid itu berdiri, dia disambut sebagai harapan yang terwujud dan menjadi kebanggaan seluruh warga Mongondow (bukan hanya yang beragama Islam). Bagi kaum Muslimin sendiri, Mesjid Jami’ ini menjadi simbol kerja keras dan kebersamaan.

Ayah saya yang sangat bangga dan bersyukur terhadap rampungnya pembangunan Mesjid Jami’ itu bahkan menyimpang undangan peresmiannya di file penting yang dia jaga dengan telaten hingga hari ini. Tatkala isu pembongkaran Mesjid Baithul Makmur jadi wacana panas, saya pernah bertanya pada Ayah, mengapa dia menghargai undangan itu setara surat-surat penting (termasuk dokumen rumah dan tanah) miliknya. Jawaban Ayah: ‘’Ada tiga simbol kebersamaan kaum Muslimin di Bolaang Mongondow. Mesjid Baithul Makmur, Rumah Sakit –RS-- Islam, dan Tugu Tilawatil Qur’an.’’

Kini yang satu sudah diratakan dengan tanah, yang dua lagi tak ketahuan nasibnya (RS Islam setahu saya tidak pernah mengantongi izin operasional). Walikota Djelantik Mokodompit-lah yang dengan sukses membumi-hanguskan simbol utama itu.

***

Tak ada aroma Idul Fitri yang mewarnai lanskap di Perth. Lebaran 1433 H baru tersesap takkala melewati lobi Kings Hotel ke ballroom yang dipilih Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Western Australia sebagai tempat Sholat Id bersama.

Usai Sholat Id, setelah bereriungan dengan sesama warga Indonesia yang saya kenal (termasuk kawan-kawan yang dulu bekerja di perusahaan yang sama dan sekarang bermukim di kota ini), saya menceburkan diri bersama orang banyak menikmati open house di kediaman Konsul Jenderal.

Dan rindu pada Mongondow kian kental. Bukan pada ayam daun salam, mujair woku bakar, atau binarundak yang setiap tahun pasti tersaji di meja makan rumah Ayah-Ibu. Tapi pada sesuatu yang sukar digambarkan. Atau mungkin ini semacam perasaan melankolis yang umum diidap orang-orang yang berada jauh dari tanah kelahirannya di momen-momen tertentu seperti Idul Fitri atau Natal.

Lalu di bus dalam perjalanan pulang, ingatan saya disergap lagi oleh Mesjid Baithul Makmur. Sudah seperti apa wujud mesjid pengganti yang dijanjikan dan digembar-gemborkan oleh Walikota Djelantik Makodompit saat dia bersikukuh merobohkan Baithul Makmur?

Sore itu, setelah merenggangkan kaki yang agak pegal diseret dari Esplanade Bus Station ke Mounts Bay, saya akhirnya bisa menelepon ke Kotamobagu. Usai selamat-selamat dan berbual-bual dengan sanak-kerabat, saya menelepon beberapa kawan dan teringat menanyakan kabar mesjid pengganti Baithul Makmur.

Jawaban yang saya dapat sungguh membuat pedih: Konon pembangunannya sudah berhenti beberapa bulan terakhir. Besi-besi yang didirikan sebagai penanda bakal ada gedung di tempat itu, mulai digerogoti karat. Gambar disain mesjid yang sebelumnya dipampang, sirna entah digondol angin, hantu belau atau tangan jahil. Dan pagar yang menutupi areal pembangunan sukses dicorat-coret sejumlah orang dengan kreativitas tinggi.

***

Saya tak bermaksud mencari gara-gara setelah Ramadhan dan Lebaran berlalu. Tak pula ingin mengusik Walikota Djelantik Mokodompit yang mungkin sama sekali tidak punya andil (apalagi ikut mengumpulkan botol bekas minuman soda) dalam periode panjang pembangunan Mesjid Baithul Makmur. Saya hanya ingin bertanya: ‘’Wahai Walikota, di saat Anda meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Binarundak di Motoboi Besar beberapa hari lalu (yang saya baca dari situs http://www.beritamanado.com), terbayangkah Anda bahwa tugu itu mungkin sudah melewati beberapa musim ketika mesjid pengganti Mesjid Baithul Makmur rampung didirikan?’’

Melihat proses pembangunannya yang tersendat-sendat, bahkan diwarnai aneka ketidak-jelasan (termasuk kerja kontraktor yang ditunjuk), saya kuatir nasib bangunan mesjid pengganti Baithul Makmur bakal lebih buruk dari Bang Toyib yang sudah tiga Ramadhan dan tiga Lebaran tak pulang.

Tolong jawab, Pak Walikota yang sudah bergelar haji (karenanya pantang berbohong dalam urusan sepenting ini), harus berapa Ramadhan dan berapa Lebaran kami menunggu mesjid pengganti Baithul Makmur terwujud? Lebaran tahun ini tak terasa sebentar lagi telah berganti dengan Lebaran 1434 H. Atau haruskah kami, orang Mongondow, mulai mengerahkan segala upaya seperti di masa lalu (termasuk mengumpulkan dan menjual botol bekas minuman bersoda) untuk membiayai penyelesaian pembangunannya karena Anda akan cuci tangan di 2013 mendatang?***