PAGI itu kami
(saya, istri dan anak-anak) berjalan kaki dari Mounts Bay Road ke Kings Hotel
di Hay Street, Perth. Minggu pagi (19 Agustus 2012) yang belia. Lalu lintas
masih lengang, udara pagi akhir winter
terasa dingin-segar.
Belum lagi Esplanade Bus Station terlewati, saya tiba-tiba
disergap rindu pada Kotamobagu. Hingga masa akhir di Perguruan Tinggi (PT), di
punghujung Ramadhan kami kakak-beradik berbondong pulang dan puncaknya Sholat
Id bersama di Lapangan Kotamobagu.
Ritus Idul Fitri di Kotamobagu selalu sama. Dibangunkan
subuh buta oleh Ayah dan Ibu, bergegas mandi dan berwudhu, berganti pakaian, lalu
memulai jalan kaki dari Jalan Amal, Jalan Adampe Dolot, dan akhirnya Lapangan
Kotamobagu. Sepanjang perjalanan orang-orang dari Kelurahan Mongolaing dan
sekitarnya yang tak membawa kendaraan membentuk iring-iringan jalan kaki bersama
yang khusyuk dengan komat-kamit takbis dan tahmid.
Usai Sholat Id, tradisi yang bertahun-tahun dijalankan
dimulai. Pertama, berkumpul di rumah
Nenek (yang bentuknya kini hanya tersisa ingatan karena bersulih menjadi
bangunan rumah toko –Ruko). Lalu berkunjung ke saudara Ayah (almarhum Pa’ Tua’
dan Papa Ela), ke pekuburan Mongolaing menziarahi makam Kakek dan para kerabat,
ke rumah adik Ayah (Papay), dan pulang ke Jalan Amal untuk mempersiapkan safari
lanjutan: Ke rumah Nenek dan kerabat dari sisi Ibu di Kopandakan, serta ke
rumah Pa’ Tua’ Gode’ di Gogagoman.
Di saat-saat tertentu, terutama ketika Idul Fitri di musim
hujan, selalu ada spekulasi: Apakah tahun ini Sholat Id dilangsungkan di
Lapangan Kotamobagu atau di Mesjid Jami’ (Baithul Makmur)? Ya, di masa PT saya,
Mesjid Baithul Makmur yang pendiriannya dirintis sejak era Bupati Oe. N.
Mokoagow akhirnya selesai dibangun.
Mesjid itu sungguh luar biasa. Sebagai masjid utama di
Bolaang Mongondow (Bolmong) ketika belum dimekarkan seperti saat ini,
pembangunannya merentang melewati kepemimpinan lima Bupati. Baithul Makmur
akhirnya rampung dan menjadi kebanggaan orang Mongondow di masa kepemimpinan
Bupati J. A. Damopolii, yang dengan gigih menggerakkan seluruh potensi
masyarakat.
Generasi seangkatan saya, di atas dan di bawah saya, yang di
masa itu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP)
atau Sekolah Menengah Atas (SMA), tak akan pernah lupa bagaimana kami –anak-anak
sekolah— dengan gembira dan sukarela mengumpulkan botol bekas minuman bersoda
yang kemudian dijual dan hasilnya disumbangkan untuk pembangunan Mesjid Baithul
Makmur.
Jangan ditanya bersapa besar sumbangsih para orang tua dan
macam-macam kelompok yang bertahun-tahun menunggu Mesjid Jami’ mereka berdiri
dengan gagah.
Ketika akhirnya mesjid itu berdiri, dia disambut sebagai harapan
yang terwujud dan menjadi kebanggaan seluruh warga Mongondow (bukan hanya yang
beragama Islam). Bagi kaum Muslimin sendiri, Mesjid Jami’ ini menjadi simbol
kerja keras dan kebersamaan.
Ayah saya yang sangat bangga dan bersyukur terhadap
rampungnya pembangunan Mesjid Jami’ itu bahkan menyimpang undangan peresmiannya
di file penting yang dia jaga dengan
telaten hingga hari ini. Tatkala isu pembongkaran Mesjid Baithul Makmur jadi wacana
panas, saya pernah bertanya pada Ayah, mengapa dia menghargai undangan itu
setara surat-surat penting (termasuk dokumen rumah dan tanah) miliknya. Jawaban
Ayah: ‘’Ada tiga simbol kebersamaan kaum Muslimin di Bolaang Mongondow. Mesjid
Baithul Makmur, Rumah Sakit –RS-- Islam, dan Tugu Tilawatil Qur’an.’’
Kini yang satu sudah diratakan dengan tanah, yang dua lagi
tak ketahuan nasibnya (RS Islam setahu saya tidak pernah mengantongi izin
operasional). Walikota Djelantik Mokodompit-lah yang dengan sukses
membumi-hanguskan simbol utama itu.
***
Tak ada aroma Idul Fitri yang mewarnai lanskap di Perth.
Lebaran 1433 H baru tersesap takkala melewati lobi Kings Hotel ke ballroom yang dipilih Konsulat Jenderal
Republik Indonesia (Konjen RI) di Western Australia sebagai tempat Sholat Id
bersama.
Usai Sholat Id, setelah bereriungan dengan sesama warga
Indonesia yang saya kenal (termasuk kawan-kawan yang dulu bekerja di perusahaan
yang sama dan sekarang bermukim di kota ini), saya menceburkan diri bersama
orang banyak menikmati open house di
kediaman Konsul Jenderal.
Dan rindu pada Mongondow kian kental. Bukan pada ayam daun
salam, mujair woku bakar, atau binarundak
yang setiap tahun pasti tersaji di meja makan rumah Ayah-Ibu. Tapi pada sesuatu
yang sukar digambarkan. Atau mungkin ini semacam perasaan melankolis yang umum
diidap orang-orang yang berada jauh dari tanah kelahirannya di momen-momen
tertentu seperti Idul Fitri atau Natal.
Lalu di bus dalam perjalanan pulang, ingatan saya disergap
lagi oleh Mesjid Baithul Makmur. Sudah seperti apa wujud mesjid pengganti yang
dijanjikan dan digembar-gemborkan oleh Walikota Djelantik Makodompit saat dia
bersikukuh merobohkan Baithul Makmur?
Sore itu, setelah merenggangkan kaki yang agak pegal diseret
dari Esplanade Bus Station ke Mounts Bay, saya akhirnya bisa menelepon ke
Kotamobagu. Usai selamat-selamat dan berbual-bual dengan sanak-kerabat, saya
menelepon beberapa kawan dan teringat menanyakan kabar mesjid pengganti Baithul
Makmur.
Jawaban yang saya dapat sungguh membuat pedih: Konon
pembangunannya sudah berhenti beberapa bulan terakhir. Besi-besi yang didirikan
sebagai penanda bakal ada gedung di tempat itu, mulai digerogoti karat. Gambar
disain mesjid yang sebelumnya dipampang, sirna entah digondol angin,
hantu belau atau tangan jahil. Dan pagar yang menutupi areal pembangunan sukses
dicorat-coret sejumlah orang dengan kreativitas tinggi.
***
Saya tak bermaksud mencari gara-gara setelah Ramadhan dan
Lebaran berlalu. Tak pula ingin mengusik Walikota Djelantik Mokodompit yang
mungkin sama sekali tidak punya andil (apalagi ikut mengumpulkan botol bekas
minuman soda) dalam periode panjang pembangunan Mesjid Baithul Makmur. Saya
hanya ingin bertanya: ‘’Wahai Walikota, di saat Anda meletakkan batu pertama
pembangunan Tugu Binarundak di Motoboi Besar beberapa hari lalu (yang saya baca
dari situs http://www.beritamanado.com),
terbayangkah Anda bahwa tugu itu mungkin sudah melewati beberapa musim ketika mesjid
pengganti Mesjid Baithul Makmur rampung didirikan?’’
Melihat proses pembangunannya yang tersendat-sendat, bahkan
diwarnai aneka ketidak-jelasan (termasuk kerja kontraktor yang ditunjuk), saya
kuatir nasib bangunan mesjid pengganti Baithul Makmur bakal lebih buruk dari
Bang Toyib yang sudah tiga Ramadhan dan tiga Lebaran tak pulang.
Tolong jawab, Pak Walikota yang sudah bergelar haji
(karenanya pantang berbohong dalam urusan sepenting ini), harus berapa Ramadhan
dan berapa Lebaran kami menunggu mesjid pengganti Baithul Makmur terwujud? Lebaran
tahun ini tak terasa sebentar lagi telah berganti dengan Lebaran 1434 H. Atau
haruskah kami, orang Mongondow, mulai mengerahkan segala upaya seperti di masa
lalu (termasuk mengumpulkan dan menjual botol bekas minuman bersoda) untuk
membiayai penyelesaian pembangunannya karena Anda akan cuci tangan di 2013
mendatang?***