Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, August 28, 2012

Makar Goblok Orang-Orang Barbar



ANARKI meletus seusai upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Jumat (17 Agustus 2012), di Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Musababnya, menurut yang saya baca dari sejumlah situs berita (termasuk situs terkemuka http://www.detik.com/), karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) memindahkan lokasi upacara dari ibukota kabupaten, Tutuyan, ke Kotabunan.

Orang-orang yang marah kemudian berinisiatif menggelar upacara HUT Proklamasi ‘’pertikelir’’ dengan dipimpin Sangadi (Kepala Desa) Tutuyan, Piantai Potabuga, di Lapangan Pondabo. Usai upacara, massa berbondong ke perbatasan Tutuyan-Tombolikat dan menghadang para peserta upacara  (resmi) yang akan kembali ke Tutuyan.

Aksi massa yang tampaknya sudah dididihkan amarah tak sekadar menghadang. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang bersigegas menemui mereka disambut dengan tindakan membabi-buta. Konon kendaraan dinas Bupati dan rombongan dihujani timpukan hingga rusak, dan bahkan dari satu foto yang saya lihat di sebuah situs berita, seseorang tampak tengah beraksi di atas kap mobil Bupati, bagai preman mabuk alkohol murahan.

Luar biasa! Lengkap sudah tindakan goblok dan barbar yang dipertunjukkan segelintir orang di Boltim.

Beruntunglah para pandir itu karena: Pertama, aksi mereka dilakukan di penghujung Ramadhan, di mana semua orang dengan amat ketat dan hati-hati menjaga adabnya (kecuali tentu saja mereka tidak terdidik itu). Kedua, Bupati yang mereka perlakukan semena-mena adalah Sehan Lanjar, sosok yang saya kenal pemaaf, humoris, dan jauh dari sifat pendendam. Ketiga, tidak ada satu pun tokoh yang berbalik menggerakkan massa, yang pada akhirnya meletuskan ‘’perang sipil’’ di antara warga Boltim sendiri. Diakui atau tidak, jumlah yang mencintai dan mendukung Sehan Lanjar sebagai Bupati jumlahnya masih berlipat kali dibanding mereka yang tidak menyukai dan menentang dia.

***

Apa yang ada di batok kosong kepala orang-orang yang beraksi di saat seluruh warga negeri ini tengah mensyukuri kemerdekaannya? Bila semata rumor dipindahkannya upacara HUT Proklamasi ke Kotabunan, kemudian dikait-kaitkan dengan teori konspirasi bahwa itu petanda adanya niat memindahkan ibukota kabupaten, akal budi mereka jelas korsleting (kortsluiting).

Saya yakin Bupati Boltim dan jajarannya masih sangat waras untuk kehilangan akal sehat dan berencana memindahkan ibukota kabupaten, setelah sebagian infrastruktur pemerintahan sudah berhasil dibangun di Tutuyan. Memangnya memindahkan ibukota kabupaten semudah membuat binarundak? Bahkan binarundak pun memerlukan perencanaan dan proses pembuatan yang memakan tenaga, waktu, dan uang.

Maka jelas orang-orang yang beraksi pada Jumat (17 Agustus 2012) di Boltim itu dapat dikategorikan sebagai: Sekumpulan otak udang yang mencoba tunjung jago dan tunjung pande.

***

Mari kita telaah apa dasar pelaksanakan upcara bendera umumnya di negeri ini. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1981 Tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih adalah yang pertama kali menjadi dasar pelaksanaan upacara bendera yang kita kenal sekarang ini.

Inpres yang ditujukan pada para Menteri, Jaksa Agung RI, para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, para Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Non Departemen, dan para Pimpinan Bank Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara, ini berisi instruksi antaranya (yang terpenting): Menyelenggarakan Upacara Pengibaran bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus setiap bulan. Jika tanggal 17 Agustus jatuh pada hari libur maka upacara diadakan pada hari kerja berikutnya.

Kemudian, upacara diadakan dalam lingkungan dan tempat pekerjaan masing-masing yang merupakan satu kesatuan dan diikuti oleh semua pejabat/karyawan di lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. Acara upacara adalah: 1) Pengibaran Bendera Merah Putih diiringi dengan lagu Kebangsaan 
Indonesia Raya. 2) Mengheningkan cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah 
gugur. 3) Pengucapan/pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 4) Pengucapan/Pembacaan Pancasila yang di ikuti oleh para peserta 
upacara. 5) Pengucapan/Pembacaan Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik 
lndonesia yang diikuti oleh para peserta upacara.

Lima acara utama itu dapat disi pula dengan 6) Acara lain seperti pemberian tanda jasa/kehormatan atau penghargaan lainnya; pelepasan mereka yang pensiun; pengumuman/pemberitahuan mengenai mutasi-mutasi jabatan dan 
kenaikan pangkat, tindakan-tindakan atau langkah-langkah penertiban 
yang telah diambil dalam lingkungan masing-masing dan sebagainya. Serta 7) Sambutan Inspektur Upacara apabila dipandang perlu.

Namun Inpres Nomor 14 Tahun 1981 itu kemudian dicabut dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981 Tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih.

Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang ditujukan pada para Menteri, Jaksa Agung, para Gubernur, para Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non/Departemen, serta para Pimpinan Bank Pemerintah dan badan Usaha Milik Negara ini menegaskan, Pertama, kecuali Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, meniadakan kegiatan upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 17 setiap bulan di lingkungan masing-masing. Kedua, dengan Instruksi Presiden ini maka Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih dinyatakan tidak berlaku.

Dengan dasar hukum itu, di manakah posisi dan hak orang-orang yang dipimpin Piantai Potabuga menggelar upacara HUT Proklamasi pertikelir dan kemudian menghadang para peserta upacara yang dipimpin Bupati, yang memang melaksanakan kewajiban dan haknya sesuai aturan yang berlaku di negeri ini?

***

Peristiwa di perbatasan Tutuyan-Tombolikat kini di tangan polisi. Menurut hemat saya, polisi semestinya tidak boleh bertindak setengah-setengah,. Tangkap dan proses hukum seluruh mereka yang terlibat dalam upacara liar yang dipimpin Piantai Potabuga. Tangkap dan proses pula siapa pun aktor di belakang mereka. Tindakan orang-orang ini jelas makar. Mereka telah dengan sengaja menghalangi pelaksanaan upacara resmi HUT Kemerdekaan yang bernilai sakral bagi setiap warga negara Indonesia.

Di luar itu, masyarakat umum boleh menggunakan hukuman yang berakar dari budaya, adat dan tradisi Mongondow: Usir para barbar pembuat onar itu dari kampung agar muka orang se kabupaten tidak tercemar kotoran.***