ANARKI meletus
seusai upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Jumat
(17 Agustus 2012), di Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Musababnya, menurut
yang saya baca dari sejumlah situs berita (termasuk situs terkemuka http://www.detik.com/), karena Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) memindahkan lokasi upacara dari ibukota kabupaten, Tutuyan,
ke Kotabunan.
Orang-orang yang marah kemudian berinisiatif menggelar
upacara HUT Proklamasi ‘’pertikelir’’ dengan dipimpin Sangadi (Kepala Desa)
Tutuyan, Piantai Potabuga, di Lapangan Pondabo. Usai upacara, massa berbondong
ke perbatasan Tutuyan-Tombolikat dan menghadang para peserta upacara (resmi) yang akan kembali ke Tutuyan.
Aksi massa yang tampaknya sudah dididihkan amarah tak
sekadar menghadang. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang bersigegas menemui mereka
disambut dengan tindakan membabi-buta. Konon kendaraan dinas Bupati dan
rombongan dihujani timpukan hingga rusak, dan bahkan dari satu foto yang saya
lihat di sebuah situs berita, seseorang tampak tengah beraksi di atas kap mobil
Bupati, bagai preman mabuk alkohol murahan.
Luar biasa! Lengkap sudah tindakan goblok dan barbar yang
dipertunjukkan segelintir orang di Boltim.
Beruntunglah para pandir itu karena: Pertama, aksi mereka dilakukan di penghujung Ramadhan, di mana
semua orang dengan amat ketat dan hati-hati menjaga adabnya (kecuali tentu saja
mereka tidak terdidik itu). Kedua,
Bupati yang mereka perlakukan semena-mena adalah Sehan Lanjar, sosok yang saya
kenal pemaaf, humoris, dan jauh dari sifat pendendam. Ketiga, tidak ada satu pun tokoh yang berbalik menggerakkan massa,
yang pada akhirnya meletuskan ‘’perang sipil’’ di antara warga Boltim sendiri.
Diakui atau tidak, jumlah yang mencintai dan mendukung Sehan Lanjar sebagai
Bupati jumlahnya masih berlipat kali dibanding mereka yang tidak menyukai dan
menentang dia.
***
Apa yang ada di batok kosong kepala orang-orang yang beraksi
di saat seluruh warga negeri ini tengah mensyukuri kemerdekaannya? Bila semata rumor
dipindahkannya upacara HUT Proklamasi ke Kotabunan, kemudian dikait-kaitkan
dengan teori konspirasi bahwa itu petanda adanya niat memindahkan ibukota
kabupaten, akal budi mereka jelas korsleting (kortsluiting).
Saya yakin Bupati Boltim dan jajarannya masih sangat waras
untuk kehilangan akal sehat dan berencana memindahkan ibukota kabupaten,
setelah sebagian infrastruktur pemerintahan sudah berhasil dibangun di Tutuyan.
Memangnya memindahkan ibukota kabupaten semudah membuat binarundak? Bahkan binarundak
pun memerlukan perencanaan dan proses pembuatan yang memakan tenaga, waktu, dan
uang.
Maka jelas orang-orang yang beraksi pada Jumat (17 Agustus
2012) di Boltim itu dapat dikategorikan sebagai: Sekumpulan otak udang yang
mencoba tunjung jago dan tunjung pande.
***
Mari kita telaah apa dasar pelaksanakan upcara bendera
umumnya di negeri ini. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1981 Tentang
Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih adalah yang pertama kali
menjadi dasar pelaksanaan upacara bendera yang kita kenal sekarang ini.
Inpres yang ditujukan pada para Menteri, Jaksa Agung RI,
para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, para Sekretaris Jenderal Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Non Departemen, dan para
Pimpinan Bank Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara, ini berisi instruksi
antaranya (yang terpenting): Menyelenggarakan Upacara Pengibaran bendera Merah
Putih pada tanggal 17 Agustus setiap bulan. Jika tanggal 17 Agustus jatuh pada
hari libur maka upacara diadakan pada hari kerja berikutnya.
Kemudian, upacara
diadakan dalam lingkungan dan tempat pekerjaan masing-masing yang merupakan
satu kesatuan dan diikuti oleh semua pejabat/karyawan
di lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. Acara upacara adalah: 1) Pengibaran
Bendera Merah Putih diiringi dengan lagu Kebangsaan
Indonesia Raya. 2) Mengheningkan
cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah
gugur. 3) Pengucapan/pembacaan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 4) Pengucapan/Pembacaan Pancasila yang di
ikuti oleh para peserta
upacara. 5) Pengucapan/Pembacaan Sapta Prasetya Korps
Pegawai Republik
lndonesia yang diikuti oleh para peserta upacara.
Lima
acara utama itu dapat disi pula dengan 6) Acara lain seperti pemberian tanda jasa/kehormatan
atau penghargaan lainnya; pelepasan mereka yang pensiun; pengumuman/pemberitahuan
mengenai mutasi-mutasi jabatan dan
kenaikan pangkat, tindakan-tindakan atau
langkah-langkah penertiban
yang telah diambil dalam lingkungan masing-masing
dan sebagainya. Serta 7) Sambutan Inspektur Upacara apabila dipandang perlu.
Namun Inpres
Nomor 14 Tahun 1981 itu kemudian dicabut dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2000
Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981 Tentang Penyelenggaraan
Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih.
Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang ditujukan pada para Menteri,
Jaksa Agung, para Gubernur, para Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non/Departemen, serta para
Pimpinan Bank Pemerintah dan badan Usaha Milik Negara ini menegaskan, Pertama, kecuali Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
meniadakan kegiatan upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 17
setiap bulan di lingkungan masing-masing. Kedua,
dengan Instruksi Presiden ini maka Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981
tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih dinyatakan tidak
berlaku.
Dengan
dasar hukum itu, di manakah posisi dan hak orang-orang yang dipimpin Piantai
Potabuga menggelar upacara HUT Proklamasi pertikelir dan kemudian menghadang
para peserta upacara yang dipimpin Bupati, yang memang melaksanakan kewajiban
dan haknya sesuai aturan yang berlaku di negeri ini?
***
Peristiwa di perbatasan Tutuyan-Tombolikat kini di tangan
polisi. Menurut hemat saya, polisi semestinya tidak boleh bertindak
setengah-setengah,. Tangkap dan proses hukum seluruh mereka yang terlibat dalam
upacara liar yang dipimpin Piantai Potabuga. Tangkap dan proses pula siapa pun aktor
di belakang mereka. Tindakan orang-orang ini jelas makar. Mereka telah dengan
sengaja menghalangi pelaksanaan upacara resmi HUT Kemerdekaan yang bernilai sakral
bagi setiap warga negara Indonesia.
Di luar itu, masyarakat umum boleh menggunakan hukuman yang
berakar dari budaya, adat dan tradisi Mongondow: Usir para barbar pembuat onar
itu dari kampung agar muka orang se kabupaten tidak tercemar kotoran.***