Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, February 27, 2014

Gayus Lumbuun, Sehan Lanjar, dan Tanggungjawab Pidana Media

HAKIM Agung Gayus Lumbuun diterjang tudingan tak sedap. Di tayangan Hitam Putih, Selasa (18 Februari 2014), yang dipandu Deddy Corbuzier dan disiarkan Trans7, dia diduga menerima Rp 700 juta dari artis Julia Peres agar MA segera menetapkan hukuman penjara untuk seterunya, artis dangdut Dewi Persik. Tudingan ‘’makan sorok’’ itu bahkan disertai dengan dipertunjukkannya bukti transfer dan gambar Gayus Lumbuun sebagai ilustrasi.

Di kalangan penggemar infotainment, perseteruan Julia Perez-Dewi Persik sempat menjadi isu panas. Dua artis yang kerap bikin sensasi ini terlibat cakar-cakaran, saling lapor ke pihak berwenang, dan akhirnya sama-sama dihukum kurungan penjara. Julia Perez lebih dahulu mencicipi jeruji besi, disusul Dewi Persik yang eksekusinya dilakukan Kamis, 13 Februari 2014 lalu, setelah Majelis Hakim MA (di mana Gayus Lumbuun menjadi salah satu anggotanya) mengetuk hukuman tiga bulan penjara.

Yakin tak menerima suap, Gayus Lumbuun bereaksi keras. Dia bukan hanya membantah dugaan itu, tetapi bahkan melaporkan Trans7 dan Deddy Corbuzier ke Mabes Polri, Rabu (26 Februari 2014). Menurut Hakim Agung yang juga Ketua IKAHI Cabang MA ini, apa yang dia lakukan adalah upaya agar pihak yang merekayasa tuduhan suap itu dapat diungkap tuntas.

Dikutip situs berita Vivanews (Deddy Corbuzier Minta Maaf, Ini Tanggapan Gayus Lumbuun, Kamis, 27 Februari 2014, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/484748-deddy-corbuzier-minta-maaf--ini-tanggapan-gayus-lumbuun), Gayus Lumbuun mengemukakan, "Saya juga menyadari acara Hitam Putih bukan berita media, tapi ekspresi jurnalistik, infotainment. Oleh karena itu, saya tidak membawa ke KPI, tapi langsung pada tanggung jawab pidana.’’ Dia juga menegaskan, ‘’Saya hanya mengingatkan media berhati-hati menayangkan sesuatu yang sumbernya tidak valid atau janggal. Kemudian, memperhatikan kebenaran dari bukti yang disampaikan.’’

Langkah Gayus Lumbuun sepintas adalah reaksi normal dari seseorang yang memahami hukum dan mekanismenya, yang disudutkan tanpa bukti kuat (bahkan direkayasa). Namun, di konteks Indonesia, di mana media (terutama televisi dengan aneka infotainment dan talk show yang kerap kebablasan), tindakannya mengandung dua pesan penting: Pertama, media memang perkasa, tetapi bila Anda benar, jangan segan dan takut bersikap tegas. Dan  kedua, berita yang disiarkan oleh media harus dibuat dengan proses yang ketat dan menjunjung standar tinggi jurnalistik; terlebih lagi yang bukan berita tetapi ‘’disifati’’ sebagai berita.

Mengingat Hitam Putih bukanlah produk acara yang menggunakan pendekatan dan standar jurnalistik, baik Trans7 maupun Deddy Corbuzier boleh bilang tak berada di bawah lindungan UU Pers dan KEJ. Maka tepat adanya Gayus Lumbuun menuntut tanggungjawab pidana dari institusi penyiaran ini dan host Hitam Putih.

Kasus Gayus Lumbuun versus Trans7 dan Deddy Corbuzier kurang lebih sejalan dengan apa yang kini dihadapi Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang menjadi korban berita berbayar –lebih dikenal sebagai bbi atau bbk-- yang di publikasi di Harian Radar Bolmong, Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir, Jumat (21 Februari 2014). Gara-gara publikasi ini Bupati Boltim dituding melakukan penistaan terhadap agama dan sakralitasnya; dan bahkan sudah dilaporkan ke Polres Bolmong oleh pihak yang mengaku sebagai salah satu organisasi aliansi umat beragama.

Menghadapi gunjang-ganjing publikasinya, selama tiga hari berturut (Senin-Rabu, 24-26 Februari 2014) koran yang berada di bawah payung MPG itu memang mengumumkan permintaan maaf (walau mulanya tidak termasuk pada Bupati Boltim) dengan mengakui kutipan yang menyeret Sehan Lanjar tidak jelas sumbernya. Pengakuan di permintaan maaf ‘’tipu-tipu’’ ini  tidak disertai maklumat pencabutan berita atau kutipannya. Dengan kata lain, sumber berita berbayar itu diakui tidak jelas; tetapi beritanya sendiri tetap ‘’dianggap’’ sah sebagai bagian dari publikasi Radar Bolmong.

Perkembangan terkini, sebagaimana yang dilansir Kontraonline (Sehan Janji Laporkan Radar Bolmong Senin Depan, Kamis, 27 Februari 2014, http://kontraonline.com/2014/02/sehan-janji-laporkan-radar-bolmong-senin-depan/), tampaknya Bupati Boltim telah menyadari, bila tidak menempuh upaya hukum, dia bakal dua kali jadi korban. Sudah dipublikasikan sebagai penista agama dan sakralitasnya, coba-coba pula diperdaya dengan permintaan maaf pura-pura dari Radar Bolmong. Selain itu, Sehan Lanjar dan publik umumnya juga bakal tak mendapatkan kejelasan tanggungjawab pidana koran ini dan oknum-oknum (termasuk dalang) di balik  publikasi berita berbayar itu.

Sebagai isu yang menjadi sorotan warga Mongondow (dan lebih luas lagi), perkembangannya terus dicermati dengan saksama. Informasi yang mulanya sekadar dugaan dan spekulasi, perlahan-lahan terkuak dan terkonfirmasi. Misalnya, hampir dipastikan pencantuman inisial salah satu wartawan di berita berbayar itu sama sekali tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Dan bahwa berita berbayar itu dimuat atas pesanan salah seorang politikus di Boltim dengan imbalan (konon) hanya Rp 500 ribu.

Informasi-informasi itu mendudukkan Radar Bolmong di posisi bagai ‘’tikus terjepit di cakar kucing’’. Bila Pemred dan jajarannya mencari perlindungan UU Tentang Pers dan KEJ; telanjang bulat mereka pasti bersalah. Pasal 6 KEJ menyebutkan: ‘’Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.’’ Sebaliknya, melempar tanggungjawab dengan kilahan berita berbayar sama dengan iklan; dan karenanya menjadi tanggungjawab pihak yang mengeluarkan dana agar materinya dipublikasi, juga amat sangat keliru. Berita berbayar itu dilengkapi inisial wartawan yang bertanggungjawab dan (ini yang terpenting) sama sekali tidak dinyatakan sebagai iklan, advertorial, atau sejenisnya.

Cepat atau lambat, untuk kesekian kalinya praktek busuk cash in yang dijalankan Radar Bolmong tak terelakkan terus menjatuhkan korban. Bupati Boltim sudah menjadi korban nyata baru. Siapa yang harus bertanggungjawab di redaksi Radar Bolmong? Siapa pula tokoh yang diduga menjadi otak dan pendana berita berbayar celaka itu, yang mesti pula turut diminta pertanggungjawabannya?

Masalahnya, terus-terang saja, saya meragukan kemampuan Polres Bolmong (bahkan Polda Sulut) yang masih sibuk berputar-putar bagai anak anjing mengejar ekor sendiri meraba-raba UU Tentang Pers; KEJ; termasuk pasti beralasan perlu meminta pendapat Dewan Pers. Melihat pendekatan dan cara kerja polisi, saya tidak heran kasus ini bakal tak ketahuan juntrungannya, menyurut, dan akhirnya pupus di ingatan publik seperti geger foto mesum di halaman 1 Radar Bolmong edisi Selasa, 22 Oktober 2013.

Bagaimana pun juga, polisi kita, khususnya di Polres Bolmong, memang profesional, teguh, tangguh, dan hebat-hebat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: berita berbayar iklan; bbk: berita berbayar koran; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; IKAHI: Ikatan Hakim Indonesia; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KPI: Komisi Penyiaran Indonesia; MA: Mahkamah Agung; MPG: Manado Post Group; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resort; dan UU: Undang-undang.