Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, March 1, 2014

Taktik Kotor Politik Praktis di Mongondow

HARI masih belia, Sabtu (1 Maret 2014), sewaktu saya menerima broadcast BBM yang mengesankan ‘’bagi-bagi rezeki’’ mengatasnamakan anggota DPR RI Yasti S Mokoagow. Bagi kebanyakan orang, isi BBM itu sangat menggoda; tapi tentu tidak berlaku untuk mereka yang waspada terhadap aku-akuan, janji-janji, dan modus penipuan lainnya.

Broadcast yang dengan cepat menjalar itu (terbukti saya menerima berturut dari sejumlah orang yang tampaknya melakukan tanpa mikir dan mengecek terlebih dulu) adalah: ‘’Calon DPR RI PAN ibu YASTI SUPREJO No.6 bagi pulza karena mencalonkan diri sebagai DPR RI bekerja sama dengan operator lanjutkan BC ini ke 15 orang maka pulsa anda terisi 100000, ini benar kita so kirim, kita cek pulsa ta isi 100000 cepat sebarkan sekarang.’’

Penyebaran ‘’rezeki tiban’’ itu jelas tipu-tipu. Pertama, BBM tersebut dibuat asal-asalan oleh orang yang tak memahami Yasti S Mokoagow hingga ke detil sikap dan perilakunya. Yang paling mencolok, hampir lima tahun terakhir Yasti tidak lagi menggunakan ‘’Suprejo’’ di akhir namanya, tetapi ‘’Mokoagow’’. Kedua, materi-materi komunikasi dan kampanye resmi Yasti S Mokoagow (kecuali dia telah berubah sama teledornya dengan kebanyakan politikus Indonesia) selalu disiapkan dengan cermat dan hati-hati. Bahasa compang-camping broadcast BBM itu jauh dari cermat, apalagi hati-hati. Dan ketiga, Yasti Mokoagow paham betul mana komunikasi dan kampanye efektif; mana yang bukan. Kampanye dengan memagi-bagi pulsa jauh dari efektif, efisian, dan cuma membuang-buang duit.

Karena ingin tahu kebenaran kabar itu, saya lalu mengontak Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara, yang tegas menyatakan hoax belaka.  Setelahnya, tak lama kemudian berturutan masuk BBM yang mengklarifikasi: ‘’SMS dan BBM yg beredar membawa bawa nama. Anggota DPR-RI. Dra Hj Yasti Soepredjo Mokoagow yang membagi bagi pulsa gratis itu adalah salah satu bentuk fitnah dan ingin menjatuhkan nama beliau. Di mohon agar tidak mempercayai BBM atau SMS tersebut ##Sebarkan BC ini sebagai bentuk klarifikasi#.’’

‘’Perang’’ antara yang tidak dan yang mendukung Yasti S Mokoagow di Pemilu April 2014 mendatang sudah terang-terangan berkobar. Dua belah pihak sama-sama konyol. Pihak kontra melancarkan serangan tak cerdas dan kekanak-kanakan; sementara pendukung Yasti Mokoagow membalas dengan ketidak-cermatan anak SD. Lihatlah kandungan SMS dan BBM klarifikasi yang mereka sebarkan, bahasa Indonesianya minta ampun cacat-celanya. Tidak mewakili citra anggota DPR RI yang semestinya tertatalaksana, terutama dalam berbahasa.

Mana ada ‘’membawa bawa’’, ‘’membagi bagi’’, atau ‘’di mohon’’ di bahasa Indonesia yang baik dan benar? Urusan berbahasa saja masih tak karuan; bagaimana para pendukung ini merumuskan strategi dan taktik politik ‘’kelas tinggi’’, elegan, efektif, efisien, dan tepat sasaran mendukung keterpilihan Yasti Mokoagow untuk kedua kalinya ke DPR RI?

Kegairahan (atau tepatnya nafsu besar) politik di kalangan politikus di Mongondow memang menggebu-gebu tanpa dibarengi keinginan dan kemampuan belajar yang sungguh-sungguh. Politik seolah-olah dimaknai sebagai kepiawaian yang turun begitu saja dan melekat di diri seseorang, sepanjang dia sudah bergiat di aspek-aspek praktisnya. Hasilnya, alih-alih kita melihat politikus sebagai sosok yang membawa, menjadi, dan memberi harapan; yang tampak adalah badut-badut dan artis kartun. Lebih minta ampun lagi, tokoh-tokoh di sekitar mereka, yang semestinya menjadi supporting tim, tak beda dengan segerombolan simpanse yang cuma bisa menciptakan kebisingan.

Prasangka broadcast ‘’bagi-bagi rezeki’’ atas nama Yasti Mokoagow sebagai fitnah dan upaya menjatuhkan nama baiknya, menjadi tafsir yang masuk akal bagaimana busuknya politik praktis dipraktekkan (paling tidak) di Mongondow. Sedihnya, kebusukan itu makin menyegat karena caranya yang absolut bodoh. Menjatuhkan politikus sekelas Yasti Mokoagow, yang masih punya cadangan penasihat dan orang sekitar dengan keterampilan strategi dan taktik politik berkapasitas tinggi, tak cukup hanya dengan cara-cara konvensional sepele yang mudah dibaca dan diantisipasi.

Brutalitas tanpa otak yang dikelindangi keinginan banyak pihak untuk terlibat (dan mengambil manfaat) politik praktis di Mongondow, mesti sangat diwaspadai para politikus yang tulus dan bersungguh-sungguh memilih politik sebagai ladang pengabdiannya. Kasus dugaan penistaan agama dan sakralitasnya yang melibatkan nama Bupati Boltim, Sehan Lanjar; Harian Radar Bolmong; dan –belakangan mencuatkan dugaan keikutsertaan— Ketua PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto, adalah contoh nyata kotornya taktik para pemain politik praktis di Mongondow.

Sejak pekan lalu (Jumat, 21 Februari 2014), orang banyak dibombardir fakta dan spekulasi kebenaran isu penistaan itu, apa motifnya, dan siapa-siapa terduga di baliknya? Perkembangan terakhir menunjukkan, perhatian publik terfokus pada Radar Bolmong sebagai kreator dan pihak yang mempublikasi isunya dalam bentuk bbi, serta Sachrul Mamonto yang ‘’konon’’ menjadi penyandang dana.

Benarkah demikian? Jumat (28 Februari 2014), Sachrul Mamonto mengontak saya, menyampaikan versi dari sisinya –yang menurut dia diabaikan oleh media yang gegar menyoroti isunya.

Menurut Ketua PAN Boltim ini: Pertama, wartawan Radar Bolmong memang menghubungi untuk konfirmasi apakah dia bakal berkompetisi di Pilbub Boltim 2015 mendatang atau tidak. Konfirmasi diberikan; dan untuk itu kutipan pernyataannya di-bbi-kan agar tepat hingga titik-koma sebagaimana yang disampaikan. Kedua, Sachrul Mamonto sama sekali tidak mengetahui keseluruhan isi bbi yang dipublikasi Radar Bolmong. Dan ketiga, dia bingung dan keberatan karena belakangan di banyak kesempatan Bupati Boltim secara terbuka menyatakan Sachrul Mamonto berada di balik dugaan penistaan itu.

Saya menyambut baik komunikasi dengan Sachrul Mamonto dan menyarankan: Pertama, kalau dia keberatan dan akan mengadukan ke pihak berwenang (karena mengganggu kredibilitasnya, apalagi sebagai calon anggota DPR di Pemilu April 2014 mendatang), maka siapkan seluruh bukti tak terbantahkan. Bila buktinya lemah, langkah apapun yang diambil justru kian merusak reputasi dan kredibilitas sendiri. Dan dua, andai versi Sachrul Mamonto 100 persen benar, maka mutlak Radar Bolmong memang berniat jahat dan kotor terhadap Bupati Boltim serta Sachrul Mamonto. Dua tokoh ini sama-sama wajib menjernihkan pangkal soalnya dan menuntut tanggungjawab pidana dari Radar Bolmong.

Cara terbaik menguak tuntas isu penistaan itu memang hanya dengan masing-masing pihak menempuh upaya yang dijamin UU dan turunannya serta aturan-aturan terkait lainnya. Tanpa bermaksud mendahului aparat berwenang, dengan mempertimbangkan versi Bupati Boltim dan versi Sachrul Mamonto, tanggungjawab pidana isu tampaknya mengerucut ke Radar Bolmong.

Sekadar spekulasi, demi kepentingan cash in, koran ini sadar dan sengaja menceburkan diri ke tengah praktek politik praktis di Mongondow, dengan saling menabrakkan tokoh-tokohnya sembari meraup keuntungan dari bbi, bbk, advertorial, dan apapun yang dapat mengalirkan duit ke kantong manajemennya. Yang menggenaskan, cara yang dilakukan Radar Bolmong sungguh kotor, jahat, dan jauh dari cerdas; sebagaimana broadcast ‘’bagi-bagi rezeki’’ yang mengatasnamakan Yasti S Mokoagow.

Pertanyaan saya: Masak media yang kotor, jahat, bodoh, dan tak profesional masih tetap dilanggani, dibeli, dan dibaca? Kemana kewarasan orang-orang di Mongondow; terutama politikus dan Pemkab yang tetap menggunakan Radar Bolmong sebagai wahana komunikasi? Apakah mereka juga sama kotor, jahat, dan bodohnya?***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

bbi: berita berbayar iklan; bbk: berita berbayar koran; BBM: BlackBerry Messenger; BC: Broadcast; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; Pemilu: Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; RI: Republik Indonesia; SMS: Short Massage/Pesan Pendek; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.