Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 31, 2014

Gagal Ujian Walikota-Wawali KK di Mogolaing

GERUNDELAN, tanya, dan kecewa menggantung di udara yang sarat asap rokok. Satu malam akhir pekan lalu saya terus-menerus menyemburkan batuk –yang sudah mengganggu sejak penerbangan dari Jakarta ke Manado, Rabu, 26 Maret 2014— sembari menatap wajah-wajah kesal yang tengah reriungan.

Pertemuan sembari menatap hamparan permukaan kolam yang menghitam memantulkan cahaya di malam yang menua itu, adalah kehadiran kesekian saya di beberapa majelis yang hampir mirip. Isunya bukanlah tentang gonjang-ganjing kampanye Pemilu 2014 yang sedang memasuki puncak hingar-bingarnya. Bagi lanskap politik Bolmong Raya, bahkan KK, isu yang dideras orang-orang yang datang berhimpun, kecil belaka.

Memang, di skala makro, apa signifikansi penggantian Lurah Mogolaing bagi pemerintahan, birokrasi, dan dinamika sosial-politik-kemasyarakatan di KK? Bukankah wajar belaka ada pergeseran dan perubahan peta birokrasi dan birokrat (sebagai pelayan warga) di periode-periode tertentu? Begitu istimewakah proses penggantian Lurah Mogolaing hingga sejumlah tokoh dan orang-orang berpengaruh, tak hanya di kalangan warga Mogolaing, mendadak berkumpul dan membahasa isunya dengan serius.

Bukan karena menjadi bagian dari Kelurahan Mogolaing sejak sebelum dilahirkan lalu saya mampu memahami pentingnya isu ini di skala mikro dan makro KK, khususnya intervensi politik sempit dalam penyelenggaraan birokrasinya. Pergantian Lurah Mogolaing di antara (kalau tak salah ratusan) perubahan jabatan yang dilakukan Walikota KK, Tatong Bara, dan Wawali Jainuddin Damopolii, Kamis (27 Maret 2014), menjadi tanda awas berlanjutnya model pemerintahan warisan mantan Walikota terdahulu, Djelantik Mokodompit. Pemerintahan yang pengambilan keputusan birokrasi dan politiknya acak-acakan, tanpa pertimbangan matang, hanya berlandas bisik-bisik dan kepentingan sempit, serta jauh dari mengedepankan substansi fundamental: kenyamanan dan stabilitas masyarakat.

Saya memang tak ambil pusing dengan rolling yang dilakukan Walikota- Wawali. Adalah hak prerogatif mereka untuk melakukan perubahan kapan saja dengan menempatkan siapa saja, sepanjang itu sejalan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai Kepala Daerah. Masalahnya, seorang atau dua Kepala Daerah semestinya menunjukkan apapun kebijakan dan putusannya, telah dengan sungguh-sungguh diambil dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.

Pertama, sejak tumbangnya rezim Orba, umumnya Kepala Daerah di Indonesia adalah juga politisi (karir maupun karbitan) yang terafiliasi dengan Parpol. Imbas dari fakta ini adalah, pengambilan keputusan birokrasi yang memang tak lepas dari pertimbangan politis dan politik, kian terjerumus pada politisasi. Penunjukkan seorang Kepala SKPD misalnya, tak lepas dari intervensi persepsi loyalitas yang melebihi kesetiaan birokrat profesional. Sederhananya, loyalitas Kepala SKPD juga berkaitan atau dikaitkan dengan kesediaan turut mengindahkan kepentingan Parpol yang terafiliasi dengan Kepala Daerah.

Kepentingan utama Parpol adalah mengikat (dan memperluas) kesetiaan konstituen. Di tingkat paling kecil, salah satu yang sangat efektif adalah perangkat kelurahan dan desa. Menguasai para perangkat di level pemerintahan terendah ini berarti mengoptimalkan penetrasi pengaruh hingga ke akar rumput paling terbawah.

Dalam politik, the winner takes all adalah hal lumrah. Tapi memanen keuntungan di saat tak tepat, sama dengan menggali lobang neraka. Penggantian dan pergeseran jabatan yang dilakukan Walikota-Wawali KK beberapa hari sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan; adalah kedunguan  yang sulit dimaafkan. Kebijakan ini mudah dituduh sebagai upaya memenangkan Parpol asal pasangan ini; atau lebih buruk lagi menunjukkan inkompetensi seorang Kepala Daerah yang mestinya mengedepankan stabilitas dan keamanan agar Pemilu 2014 berlangsung sukses.

Dan kedua, Kepala Daerah yang benar-benar menginginkan kemajuan wilayah yang dia pimpin, pasti mengedepankan pertimbangan profesionalisme dan kinerja saat memilih dan menata perangkat birokrasi pembantunya. Di kasus penggantian Lurah Mogolaing (sebagai contoh paling terasa dan telanjang bagi warga kelurahan ini), adakah petimbangan itu menjadi dasar utama? Di mana cacat profesional dan kinerja buruk mantan Lurah yang baru menjalankan tugas kurang dari 1,5 tahun?

Sepanjang kehadiran saya di semua pertemuan dan pembicaraan membahas nasib mantan Lurah, tak ada satu pun keberatan yang disuarakan. Bagi warga Mogolaing, mantan lurah yang juga seorang jiow sejauh ini berhasil menunjukkan profesionalisme dan kinerja optimal, yang salah satunya dibuktikan dengan netralitasnya di Pilwako 2013 lalu. Yang tak dapat ditampik, sudah menjadi semacam tradisi, masyarakat Mogolaing sangat menghormati dan gigih menjunjung pemimpin lokalnya, terutama mereka yang dianggap benar-benar menjadi pelayan dan pengayom masyarakat.

Tradisi yang sangat lokal ini dimanifestasi dengan masa jabatan hampir semua Lurah Mogolaing yang rata-rata di atas delapan tahun. Bahkan Lurah Ati Ginoga ‘’diminta’’ tetap meneruskan jabatannya beberapa waktu setelah pensiun, karena kepemimpinannya memang minimal berhasil menjaga kelurahan di jantung KK ini relatif aman-tenteram.

Maka wajar ada pertanyaan semacam ‘’Apa Lurah pe salah?’’; ‘’Ini Walikota-Wawali mo kase tunjung dorang pe kekuasaan?’’; atau ‘’Kiapa so jadi sambarangan bagini ini Walikota-Wawali?’’ dilontarkan terang-terangan. Sama dengan cacian bahwa sejumlah pembisik Walikota yang diketahui dekat karena menjadi penyokong politiknya, berlaku culas terhadap mantan Lurah, yang kepentingan akhirnya demi meraup dukungan di Pemilu 2014. Orang-orang itu, yang namanya disebutkan dengan tambahan ‘’Mo pilih pa dorang? Blum stau!’’, sudah menjadi pengetahuan umum adalah lingkaran non struktural dan non formal Walikota, yang pengaruhnya nyaris tanpa batas dan filter.

Menjadi pemimpin politik dan birokrasi pada akhirnya adalah parade pengetahuan kompleks seseorang terhadap berbagai aspek terkait di wilayah dan masyarakat yang dia ayom. Penggantian Lurah Mogolaing menjelang Pemilu 2014 dengan cara yang tidak mempertimbangkan konteks sangat lokal, menunjukkan Walikota-Wawali KK memang politisi dan pemimpin sangat amatir. Mengecewakan betul. Terlebih, sekali pun Tatong Bara berlatar Matali, hampir satu dasawarsa terakhir dia adalah penduduk Mogolaing, yang semestinya paham dan khatam bagaimana laku dan tindak masyarakat di kelurahan ini.

Apa boleh buat, isu bagai api dalam sekam yang kini menjalar di Kelurahan Mogolaing menjadi cermin kebijakan lebih besar Walikota-Wawali, setidaknya di tingkat kecamatan dan Kota. Di Mogolaing, di awal masa pemerintahan mereka, Walikota-Wawali sudah menyemai bibit yang cepat atau lambat bakal dituai panenannya. Sebab, sebagaimana yang diutarakan seorang tokoh masyarakat termuka di kelurahan ini, ‘’Mo ganti deng sapa pun, nyanda masalah. Tapi depe waktu baganti deng cara baganti yang jadi masalah.’’

Saya mesti mengingatkan, khususnya pada Walikota Tatong Bara, cara masyarakat Mogolaing menghukum pemimpin yang dianggap tak karuan, seringkali sangat menyakitkan. Mantan Walikota Djelantik Mokodompit sudah merasakan, sebagai penduduk Kelurahan Mogolaing, dia dengan telak kalah di tempatnya bermukim di Pilwako 2013 lalu. Dia di-delegitimasi oleh masyarakat yang seharusnya menjadi jangkar sosial dan politik utamanya.

Saya lahir dan tumbuh di Mogolaing. Saya memahami apa yang dipikir, dirasa, dan menjadi sikap masyarakatnya. Sebab itu juga yang kini berkecamuk di benak dan hati saya. Para elit birokrasi dan politik di KK tampaknya terlalu bebal mempelajari, bahwa mempercayai para pembisik tanpa reserve, tak beda dengan menarik gerbong perlawanan dan delegitimasi. Diam-diam dan terang-terangan.  Dan itulah yang kini dilakukan Walikota-Wawali di Kelurahan Mogolaing.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; Orba: Orde Baru; Parpol: Partai Politik; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan Walikota; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Wawali: Wakil Walikota.