Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 3, 2014

Dan Jadilah Sang Wapemred Tumbal ‘’Cash In’’

SENIN, 21 Oktober 2013, saya mengunggah Selamat Pemred (Wapemred?) Firman! Target ‘’Cash In’’ Menanti Anda. Artikel ini ditulis menyambut dipromosinya Kepala Biro MP Bolmong, Firman Toboleu, menjadi Wapemred Radar Bolmong.

Kendati mengimpikan ada media dengan para pewarta independen, kredibel, dan profesional di Mongondow, saya tidak terlampau optimis mengetahui penunjukkan Firman. Sekalipun posisinya sangat strategis mengingat Pemred, Budi Siwanto, bukanlah seorang jurnalis (kriteria dipilihnya dia memimpin koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ bagi saya masih tetap misteri). Boleh dibilang, Firman-lah yang bakal mengendalikan otak dan isi perut media ini.

Pemahaman itu mendorong saya –dalam tulisan itu-- mengingatkan dia bahwa hanya ada dua pilihan. Menjadikan Radar Bolmong koran yang sesungguhnya dengan konsekwensi melikuidasi kebijakan cash in; atau patuh pada tuntutan cash in dan lupakan serta selamat jalan pada praktek jurnalistik yang semestinya. Kurang dari lima bulan sejak ditunjuk sebagai Wapemred, awal Maret 2014 ini kita tahu, rekam jejak dan pengalaman Firman Toboleu tak kuasa melawan kebijakan ‘’para dewa’’ di atasnya. Radar Bolmong tetap perkasa dan membuta-tuli menegakkan kewajiban cash in pada para pewartanya.

Firman adalah sosok yang selalu menyenangkan. Begitu menduduki kursi Wapemred kami tetap berteman di BBM. Dia tak menghapus kontak saya, tetapi juga tidak pernah menyapa (saya pun demikian). Bagi saya, dipertahankannya kontak BBM itu cukup mengherankan, mengingat di saat yang sama saya menjadikan koran tempatnya bekerja (bahkan induknya, MPG) sasaran kritik, sinisme, dan olok-olok. Bukan rahasia lagi, khususnya di Radar Bolmong, siapapun yang berani berhubungan dengan saya, sekadar bertemu di kedai kopi dan tak segera menyingkirkan pantat sejauh mungkin, terancam dikucilkan dan akhirnya disingkirkan.

Beberapa mantan wartawan Radar Bolmong yang kini pindah ke media lain, termasuk yang memegang posisi penting seperti Yokman Muhaling, didepak (didahului penonaktifan untuk jangka waktu yang tak ditentukan) konon hanya karena pernah duduk mendengarkan bual-bual saya di Kopi Jarod Sinindian. Wartawan lain bernasib sama: dibikin tidak nyaman dan akhirnya hengkang (atau dihengkangkan) hanya karena tanpa sengaja ada di sekitar majelis ngalor-ngidul itu.

Tak pernah ada bukti ‘’konon’’ yang menempatkan saya seperti musuh haram jadah Radar Bolmong. Para eks pewarta koran ini, walau sudah bekerja di tempat lain, memilih tertawa atau senyum kecut ketika saya mintai konfirmasi.  Mereka dengan santun mengemukakan memilih keluar (atau dikeluarkan, tergantung perspektif mana yang digunakan) karena ingin mencari tantangan di tempat lain. Sungguh arif dan bijaksana. Apa menyetorkan Rp 15 hingga 25 juta (dan menjadi akumulatif bila tak mencapai target) per bulan ke kantong redaksi masih kurang menantang? Bukankah di koran ini para pewartanya tak dituntut pengetahuan jurnalistik, terutama UU Tentang Pers dan KEJ, kecuali keterampilan menyedot dana dari sumber berita?

Mengetahui diposisikan seperti itu, saya jadi berhati-hati melakukan kontak dengan teman-teman yang masih berkhimad di kelompok MPG. Mengerikan betul hanya karena papasan di tengah riuh pasar, bercakap-cakap demi sopan-santun sosial, tanpa sengaja dipergoki mulut ember, lalu kawan yang tak bersalah itu diparia perusahaan tempatnya bekerja.

Yang agak menghibur, ternyata saya bukan satu-satunya orang yang dianggap ‘’berbahaya’’. Sebab wartawan di kelompok penerbitan ini juga harus waspada bereriungan dengan mereka yang mantan dan pindah ke penerbitan saingan (misalnya Tribun Manado atau Sindo Manado), karena terancam surat peringatan keras. Luar biasa hebatnya manajemen paranoid dan curiga yang menjalar ke induk dan kerabat Radar Bolmong, silaturrahim pun dianggap sebagai konspirasi makar.

Beberapa hari terakhir saya nyaris melanggar prinsip kewaspadaan untuk tak menimbulkan masalah pada orang-orang yang saya kenal, yang (masih) bekerja di bawah payung MPG. Kabar dinonaktifkannya Firman Toboleu sebagai Wapemred Radar Bolmong akibat bbi Jumat (21 Februari 2014) yang bermuatan sensitif SARA, hampir membuat saya meraih telepon dan mengontak dia menanyakan kebenaran rumor yang lalu-lalang itu. Untunglah kewarasan saya mengingatkan, informasi itu mungkin sekadar pancingan dan bila saya teledor menghubungi Firman dan diketahui oleh entah siapa, bisa jadi niat baik bersimpati dan empati malah berubah jadi peluru eksekusi.

Sabtu, 1 Maret 2014, seorang kawan memberitahu benar adanya Firman Toboleu dinonaktifkan. Informasi ini, Minggu, 2 Maret 2014, dikonfirmasi pula oleh kawan lain yang tahu persis perkembangan di redaksi Radar Bolmong. Yang menonaktifkan adalah direksi. Alasannya, sitir kawan pembawa kabar, karena ada gugatan hukum terhadap bbi yang diedit oleh Firman.

Pikiran yang teracuni melahirkan keputusan bertuba. Pertama, bbi adalah kebijakan manajemen Radar Bolmong yang wajib dipatuhi dan diburu oleh seluruh wartawan dan supporting staff-nya. Lepas dari apakah Firman menulis, hanya mengedit, atau sekadar meloloskan bbi itu (karena posisinya sebagai Wapemred), dia konsisten menegakkan kebijakan manajemen. Dan bukankah sesuatu yang bersifat iklan, yang dipublikasi di media, pihak pertama (dan utama) yang bertanggungjawab adalah pemasangnya?

Menonaktifkan Firman Toboleu adalah perlakuan semena-mena dan cuci tangan. Manajemen Radar Bolmong bertindak mendahului proses hukum dengan membuang seluruh tanggungjawab ke pundak dia seorang.

Dan kedua, apa dan siapa sebenarnya yang digugat (yang diketahui orang banyak adalah yang dilayangkan Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya)? Bukankah yang digugat adalah Bupati Boltim karena mengeluarkan yang dianggap menista agama dan sakralitasnya; serta Radar Bolmong karena memuat pernyataan itu? Menonaktifkan Firman Toboleu tidak membuat kewajiban pidana koran ini gugur. Tindakan ini justru membuka peluang Radar Bolmong menganak-pinakkan masalahnya ke isu pengabaian hak jurnalisnya untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Penonaktifkan itu juga menjadi kontradiksi karena menunjukkan redaksi Radar Bolmong mengakui isu sensitif SARA yang dipublikasi itu adalah 100 persen berita, bukan bbi. Dengan demikian melepaskan terduga pemasang bbi dari tanggungjawab hukum. Konsekwensi yang diakibatkan publikasi Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? praktis hanya terpusat di pundak Radar Bolmong dan Bupati Boltim.

Padahal, sebagai bbi, pihak yang harus bertanggungjawab adalah: Bupati Boltim (bila benar dia mengeluarkan pernyataan gawat itu); Radar Bolmong (karena memuat sebagai berita dan menerima suap), dan pemesan bbi (sebagai dalang penyebaran materi penistaan agama dan sakralitasnya yang dapat memprovokasi orang banyak).

Kewajiban cash in memang menjadi bencana. Prakteknya yang menghalalkan segala cara seperti pesugihan: wajib dan rutin menyetorkan ‘’korban’’. Sudah begitu, hasilnya adalah ‘’duit setan dimakan iblis’’. Hanya memakmurkan mereka yang ada ‘’di atas angin dan kahyangan’’. Memangnya siapa direksi yang peduli dengan Firman Toboleu yang pasti kebingungan sebab (sebagaimana praktek di MPG) penonaktifan itu langsung pula menghentikan salary dan benefit-nya sebagai karyawan?

Promosi yang mestinya membuat karir Firman kian mencorong, ternyata dengan cepat menjadi musibah. Yang menyedihkan, dia akan berpasrah karena itulah satu-satunya jalan yang paling tidak merepotkan. Melawan direksi Radar Bolmong, apalagi MPG, memerlukan lebih dari tekad dan kekeras-kepalaan. Firman Toboleu pasti memiliki tekad, tapi saya meragukan kekeras-kepalaannya.

Saya bersimpati dan berempati pada Anda, Kawan Firman. Biarlah solulokui diakhiri dengan mengutip seorang karib Anda yang sama nelangsanya dengan saya: ‘’Tidak banyak Wapemred yang masih turun meliput. Firman Toboleu adalah salah satunya. Sayang sekali dia harus dipatahkan oleh jurnalisme cash in.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; MP: Manado Post; MPG: Manado Post Group; Pemred: Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; UU: Undang-undang; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.