Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, February 25, 2014

Maaf Tipu-tipu Pemred ''Radar Bolmong''

UNGGAHAN di blog ini, Senin (24 Februari 2014), ‘’Koran Lei atau Kartas Toilet?’’ mengundang sejumlah reaksi, termasuk sindir-sindiran yang (lagi-lagi) menuding saya bersikap tak adil terhadap Radar Bolmong. Lepas dari kenyinyiran tanpa bukti itu, salah satu komentar cerdas yang dikutip seorang kawan dari status BBM seseorang, kurang lebih menyatakan, ‘’Isu sensitif SARA adalah extraordinary crime.’’

Hampir 16 tahun terakhir negeri ini mengalami dan belajar pahit dan rentannya isu SARA memicu rusuh. Poso, Maluku, Malut, dan sejumlah letupan konflik lainnya yang menjatuhkan ribuan korban jiwa dan harta benda terjadi karena silang-selisih SARA. Benar adanya memicu pertentangan berdasar SARA adalah ‘’kejahatan luar biasa’’ yang setara (bahkan lebih) mengerikan dari korupsi.

Di tengah konflik sipil SARA, media yang menyadari perannya lebih dari sekadar institusi bisnis, dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati turut berikhtiar mencari jalan keluar. Maka lahirlah macam-macam istilah, termasuk jurnalisme damai yang lebih mengedepankan penghormatan terhadap keberagaman; nilai-nilai positif yang sama dari entitas yang berbeda; dialog saling memahami memperpendek dan menjembatani perbedaan; serta toleransi.

Pemahaman terhadap tanggungjawab, fungsi, dan peran media itulah yang berulang kali saya sampaikan merespons pernyataan, komentar, dan kritik terhadap unggahan ihwal isu sensitif SARA yang dipicu pemberitaan (berbayar pula) Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), yang menyeret Bupati Boltim, Sehan Lanjar. Namun koran ini, pengelola, dan kelompok yang memayunginya memang hebat. Mereka bergeming dengan kokoh terhadap telisikan, kritik, dan celaan; bahkan dengan tetap pongah dan tanpa malu-malu bersikap seolah mereka adalah institusi profesional yang kredibel.

Disudutkannya Bupati Boltim dengan kutipan yang mengesankan penghujatan terhadap dua tokoh sakral ajaran Islam (Nabi Muhammad) dan Kristen (Tuhan Yesus), memang segera dikoreksi dengan permintaan maaf. Sehan Lanjar, pembaca umumnya (termasuk umat dua agama ini yang tensinya menggelegak), mungkin terpuaskan dengan langkah jajaran redaksi Radar Bolmong; tapi tidak dengan orang-orang yang khatam memahami bahasa.

Perhatikan, maklumat Senin, 24 Februari 2014 yang ditajuki ‘’Permintaan Maaf’’ berisi pernyataan: ‘’Redaksi Harian Radar Bolmong menyampaikan permohonan maaf atas berita berjudul ‘’Sehan versus Sahrul di Pilbub 2015 Mulai Bergulir’’, di halaman Boltim, edisi Jumat 21 Februari 2014. Berita yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus itu kami nyatakan tak jelas sumbernya. Kami juga meminta maaf kepada seluruh umat Islam dan Kristen atas isu berita itu. Dan redaksi menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi kepada reporter dan editor berita tersebut. TTD Pemimpin Redaksi.’’

Mari saya tunjukkan di mana niat jahat terencana redaksi Radar Bolmong menyudutkan Bupati Boltim (saya juga punya bukti ‘’harapan’’ Pemred Radar Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.18, ‘’Mudah-mudahan statemennya yang disorot pembaca, bukan korannya.’’). Bahwa memang sejak mula informasi dan pergunjingan media ini mempraktekkan ‘’pukul, rangkul, dan sedot’’ bukanlah rumor belaka.

Mula-mula lima jajaran Pemkab dan Pemkot di wilayah Bolmong dipukul dengan pemberitaan dan ancaman pengungkapan borok mereka; lalu dirangkul seolah-olah Radar Bolmong adalah kawan berhati mulia pendukung proses pemerintahan dan pembangunan; namun setelah itu ‘’tak ada makan siang gratis’’. Jajaran Pemkab dan Pemkot mesti bekerjasama dalam semua hal: pemberitaan, iklan, advertorial, dan apapun yang dapat dikapitalisasi dari hubungan pertemanan pura-pura itu. Dan yang disasar tentu saja dana APBD.

Kembali ke soal niat busuk terhadap Bupati Boltim dan perilaku pongah serta manipulatif manajemen dan redaksi Radar Bolmong.

Pertama, Pemred Radar Bolmong hanya meminta maaf pada seluruh umat Islam dan Kristen. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang hampir saja jadi sasaran kemarahan dua umat beragama ini (tidak sebatas hanya di wilayah Mongondow) diabaikan dan baru ditambahkan (artinya ralat di atas ralat --betapa amatirnya) di maklumat yang dimuat Selasa, 25 Februari 2014, di halaman 1 koran ini.

Tidak adanya permintaan maaf terhadap Bupati Boltim, eksplisit dan implisit mengandung pesan Radar Bolmong tetap berkeyakinan Sehan Lanjar benar-benar menyatakan penghujatan terhadap Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus. Soalnya adalah, semata karena koran ini tidak memiliki bukti pendukung yang sahih, sebagaimana penegasan di frasa, ‘’Berita yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus itu kami nyatakan tak jelas sumbernya.’’

Enak betul kilahan tidak bermutu itu. Pembaca Radar Bolmong dianggap segerombolan kodok yang enteng saja meniadakan kutipan pernyataan Sehan Lanjar (‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar Sehan, antara serius atau sekadar bercanda). Apa maksud ‘’tak jelas sumbernya’’? Bupati Boltim bukan sosok yang jelas; atau kutipan itu diakui memang hanya karang-karangan wartawan yang (dibayar) menulis beritanya?

Bukannya menjernihkan masalah, pengumuman itu justru adalah pelecehan terang-terangan terhadap Bupati Boltim. Karenanya, kalau Sehan Lanjar menerima permintaan maaf itu sebagai penyelesaian memadai isu penghujatan sakralitas agama (Islam dan Kristen), dengan menyesal saya mesti mengatakan, ‘’Anda tertipu, Pak Bupati. Cuma bagitu dang Bupati tercerdas di Mongondow pe langit?’’ Anda tertipu mentah-mentah, apalagi bila terlena dengan ‘’gosokkan’’ Sehan Patut Diteladani yang dipublikasi Radar Bolmong dan kerabatnya (Manado Post dan Posko), Selasa, 25 Februari 2014.

Dan kedua, pengumuman Pemred Radar Bolmong ditutup dengan pernyataan, ‘’Dan redaksi menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi kepada reporter dan editor berita tersebut.’’ Ini ekspresi culas, angkuh, cuci tangan, dan menggampangkan masalah; sekaligus menunjukkan kompetensi Pemred koran ini memang cui!

Proses merencanakan, meliput, menuliskan, dan mengedit hingga satu isu memenuhi persyaratan publikasi di media massa, menjadi tanggung jawab Redpel, Korlip, redaktur, dan reporter. Tetapi begitu beritanya ditayangkan, Pemred-lah yang bertanggungjawab penuh. Memberikan sanksi, hukum pancung, atau dicubit hingga kelenger kepada reporter dan editor yang menulis dan menyiapkan berita (berbayar) itu adalah urusan internal. Urusan publik, pembaca dan orang banyak, adalah apa tanggungjawab nyata dari Pemred sebagai otoritas tertinggi redaksi? Secara hukum, Pemred-lah yang harus menghadapi aparat berwenang, bukan jajaran di bawahnya.

Mengumumkan permintaan maaf bertandatangan Pemred diimbuhi ‘’ada sanksi terhadap reporter dan editor’’ adalah cara cuci tangan pengecut. Pulia dalam kosakata Mongondow. Pula sok pahlawan dan mentang-mentang, mengingat galibnya ralat dan permintaan maaf akibat kesalahan publikasi media hanya diabsahkan dengan ‘’Redaksi’’.  Anehnya, manajemen Radar Bolmong (dan induknya) tetap mempertahankan Pemred dengan kualitas kertas toilet ini. Benarkah semata karena kepiawaiannya menyetorkan cash in tak mampu ditandingi pewarta lain yang lebih kredibel, berpengetahuan, dan profesional?

Apapun alasannya, Pemred Radar Bolmong harus dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana Pemred Majalah Sastra, HB Jassin, sebab mempublikasi cerpen Langit Makin Mendung dari Ki Panji Kusmin di edisi Agustus 1968. Dianggap ‘’melecehkan’’ Islam (Allah, Muhammad Rasulullah, dan Jibril), cerpen ini menyebabkan Majalah Sastra dilarang terbit dan HB Jassin dijatuhi hukuman (tunda) satu tahun.

Nah, apalagi yang dipertimbangan dan ditunggu Bupati Boltim yang dijadikan obyek dan pelecehan serta pihak berwenang yang semestinya mengambil tindakan tegas terhadap provokasi sensitif SARA oleh Radar Bolmong? Apakah mesti menunggu aksi umat Islam dan Kristen; atau anarki massal terhadap koran ini?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cerpen: cerita Pendek; Korlip: Koordinator Liputan; Malut: Maluku Utara; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pemred: Peminpin Redaksi; Redpel: Redaktur Pelaksana; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; dan TTD: Tertanda.