Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, February 23, 2014

‘’Blasphemous’’ Bupati Boltim dan Media Hantu Belau

NUKILAN dari ‘’King of Pop’’ Michael Jackson (Moonwalk, 1988 –pembaca, ini buku, bukan lagu)  “What happened to truth? Did it go out of style?” (Apa yang terjadi dengan kebenaran? Sudahkah dia menjadi hal kuno?) adalah salah satu dari 26 kutipan populer tentang media massa dan kebenaran. Bahkan selewat 26 tahun sejak dituliskan dan mega bintang ini telah tiada, pertanyaan yang dia ajukan menjadi kian relevan.

Media massa kini semakin mudah meliput hanya dengan mengandalkan bisik-bisik, posting di facebook, twitter, bahkan dengan mengarang-ngarang halusinasi dan imaji wartawannya sendiri. Berita adalah komoditas dan jurnalis tak beda dengan pekerja pabrik yang sekadar memiliki keterampilan seorang tukang. Profesionalismenya adalah membuat berita, bukan mewakili mata, telinga, dan hati nurani orang banyak; tidak pula demi niat luhur jurnalisme adalah sikap adil yang menjunjung norma, etika, dan standar-standar tinggi sosial-budaya.

Terjerembablah media dari sesuatu yang kredibel menjadi sekadar pamflet murahan atau selebaran provokasi. Mereka yang bekerja di media seperti itu tak pantas menyandang sebutan wartawan, pewarta, jurnalis, dan sejenisnya. Mereka cuma tukang yang tidak dilindungi UU Tentang Pers, kode etik, dan etika jurnalistik umumnya. Pendek kata, statusnya sama belaka dengan penjahat jalanan kelas teri: preman leput rendahan tukang menakut-nakuti, tukang peras, atau tukang bakuku.

Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Bergulir  (tata bahasa judul ini sungguh kacau dan tak enak dibaca, khas wartawan yang tak lulus pelatihan dasar) yang dipublikasi Harian Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), menjadi contoh kesekian kali bagaimana koran ini dikelola semata alat kepentingan (ekonomi, politik, bahkan kriminal) segelintir orang; bukan institusi yang berpihak dan bertanggungjawab pada publik.

Bagaimana saya mempertanggungjawabkan pernyataan itu?

Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum Radar Bolmong adalah koran yang wartawannya secara struktural diperintah menadahkan tangan hingga menonjok kepala setiap sumber (atau yang potesial menjadi sumber) berita demi cash in yang disetorkan ke menejemen dan pengelolanya. Tersebab isinya adalah iklan, apapun yang dipublikasi patut diduga adalah pesanan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Penandanya adalah “*” yang juga terdapat di berita Sachrul Lawan Sehan di Pilbub 2015 Bergulir --lengkapnya (rus/*/fir).

Kedua, frasa ‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar Sehan, antara serius atau sekadar bercanda adalah ‘’an evil intention’’. Memang sejak mula diniatkan menjahati Bupati Boltim Sehan Lanjar.

Jurnalisme mensyaratkan ketatnya penegakan standar tinggi (yang telah berulang kali saya tulis di blog ini), terutamanya verifikasi. Tanpa bermaksud membela Sehan Lanjar (yang bagi saya adalah adalah karib dan saudara), dari aspek jurnalistik apa yang ditulis pewarta Radar Bolmong pasti tak dapat dipertanggungjawabkan. Cara mengujinya adalah dengan pertanyaan: Apakah sang wartawan mendengar langsung? Memiliki rekaman atau bukti tak terbantahkan? Memahami konteksnya (bila pun pernyataan itu memang benar disampaikan Bupati Boltim)? Serta, yang terpenting, melakukan check, re-check, balance, dan verifikasi?  Kegagalan menjawab salah-satu di antara empat pertanyaan ini lebih dari cukup menyeret Radar Bolmong, penanggungjawab redaksi dan desk, serta wartawannya ke kursi pesakitan.

Tidak ada urusan dengan Dewan Pers sebagai lembaga yang menilai kerja para pewarta dan praktek jurnalistik di negeri ini. Berita buta, yang ditujukan menjerumuskan seorang tokoh publik pada potensi penghinaan terhadap keyakinan orang banyak (bahkan Tuhan), yang hanya menyatakan waktu kejadian (Kamis, 20 Februari 2014) tanpa menjelaskan konteks dan aspek-aspek fundamental lainnya; jelas ditungganggi kepentingan tercela.

Mari meluaskan cara pandang. Bahkan bila pun 100 persen benar Sehan Lanjar memberi pernyataan itu, baik dalam konteks bercanda maupun serius, di lingkungan yang sangat terbatas dan dekat; dia bukanlah perilaku penghujatan. Masyarakat di negara-negara Skandinavia mengenal kata blasphemy dengan turunan blasphemous language yang berarti penyataan yang tidak merespek Tuhan atau sesuatu yang sakral. Blasphemous bukanlah penghujataan (atau penistaan) karena dia justru ditujukan sebagai penghormatan terhadap Tuhan dan sakralitas religius yang dijunjung masyarakatnya.

Bagi yang ingin mendebat fenomena terbalik (sikap yang bagi masyarakat luar Skandinavia diartikan menghujat, sebaliknya untuk mereka adalah respek)  blasphemy, sebaiknya terlebih dahulu menyimak The Viking Manifesto dari Steve Strid dan Cales Andréasson (saya memiliki edisi 2008 yang diterbitkan Marshall Cavendish Asia). Blasphemy bukanlah aib melainkan spirit yang memperkokoh stabilitas sosial-budaya (juga keamanan) dan ekonomi negara-negara Skandinavia.

Dan ketiga, media yang curang, culas, dan dipenuhi niat jahat terencana adalah pelaku sekaligus alat provokasi efektif. Kutipan pernyataan Bupati Boltim yang tak ketahuan asbabul nuzul-nya memicu efek lanjutan: menggetarkan dan memicu amarah para penganut Islam dan umat Kristen (sekali pun kita tahu mustahil Nabi Muhammad dan Yesus berkompetisi di Pilbub Boltim). Sensitivitas umat yang kerap berlebihan tanpa menelisik muasal isu dengan mudah mendorong tindakan terhadap seseorang yang dianggap menista agama dan sakralitasnya hingga ke tahap anarkis.

Selang sehari setelah Radar Bolmong mempublikasi dugaan pernyataan Sehan Lanjar, reaksi sudah meletup. Adalah Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya yang melaporkan dugaan penistaan dan provokasi oleh Bupati Boltim dan wartawan Radar Bolmong ke Polres Bolmong (totabuan.co, Sabtu, 22 Februari 2014, http://totabuan.co/2014/02/22/bupati-boltim-dan-oknum-wartawan-dilapor-soal-pemberitaan/). Apalagi ini? Apakah Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya adalah institusi dengan dasar hukum yang dapat menakar seseorang atau sebuah institusi menista agama dan sakralitasnya; atau lembaga yang paham jurnalistik dan prakteknya, hingga berhak menjadi wakil orang Mongondow?

Aliansi antah berantah itu terlebih dahulu harus membuktikan mereka punya kekuatan legal sebelum mengajukan laporannya. Lain soal bila orang per orang, umat Muhammad Rasulullah (Muslim) atau Yesus (Kristian) yang berkeberatan dan melaporkan. Individu Muslim atau Kristian punya legal standing yang tak perlu diperdebatkan lagi. Akan halnya organisasi yang mendadak dideklarasikan, tanpa dokumen legal dan kepatuhan terhadap compliance lainnya, menurut hemat saya cuma kegenitan ‘’seolah-olah wakil orang banyak’’ agar isunya tampak ‘’wah!’’. Pula, sekadar upaya beberapa gelintir orang mencari panggung supaya dadanya boleh bungah.

Klaim dan atas nama-atas nama orang banyak sungguh menjengkelkan. Dan aparat berwenang, dalam hal ini Polres Bolmong, yang menindak-lanjuti laporan dugaan penistaan dan provokasi oleh Bupati Boltim dan wartawan (juga institusi Radar Bolmong) tanpa terlebih dahulu mencermati isi perut organisasi yang jadi pelapor, tak beda dengan kodok dalam tempurung yang tidak merespek tata laksana dan tata cara penegakan hukum.

Padahal, muara isu pernyataan Sehan Lanjar yang kini jadi kontroversi, memerahkan kuping umat Muslim dan Kristian, bahkan masalah hukum (formal), sederhana belaka: Radar Bolmong bukanlah media massa. Dia hanya alat pemerasan dan provokasi yang sama sekali tidak dilindungi UU Tentang Pers, kode etik jurnalistik, dan etika media umumnya. Karenanya, kehadiran institusi ini lebih banyak mudaratnya dibanding manfaat di wilayah Mongondow. Agar tak menimbulkan kerusakan dan kesemena-menaan berkelanjutan atas nama jurnalistik, sudah waktunya institusi ini disingkirkan sejauh mungkin.

Saya menguatirkan, pada akhirnya ancamanan ‘’menghabisi’’ wartawan atau membumi-hanguskan Radar Bolmong seperti yang beberapa waktu lalu beredar di pesan pendek, BBM, dan media sosial karena pemberitaan yang dianggap sekadar modus pemerasan dan lancung (dan memang demikian adanya), diwujudkan massa yang murka akibat provokasi, manipulasi, bahkan kebohongan. Terlebih, praktek efektif membungkan kriminalitas biasanya efektif hanya dengan dua cara: penegakan hukum tanpa pandang bulu dan proporsional oleh aparatnya; atau aksi massa yang tegas dan dingin (untuk tidak mengatakan brutal dan kejam).***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Pilbub: Pemilihan Bupati; dan UU: Undang-undang.