Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, February 15, 2014

LSM Aku-mengaku, Takut-menakuti, Peras-memeras, dan Tipu-menipu

KABID Dikdasmen Pemkab Bolmong, Takarianta, mengadu karena diperas oknum aktivis LSM. Kamis, 6 Februari 2014, situs totabuan.co menurunkan beritanya dengan tajuk Kabid Dinas Bolmong Mengadu. Katanya Dia Diperas Oknum Ketua LSM (http://totabuan.co/2014/02/06/kabid-diknas-bolmong-mengadu-katanya-dia-diperas-oknum-ketua-lsm/).

Saya, yang sejak awal Januari 2014 tak henti ditungkup kesibukan pekerjaan, sempat mengabaikan berita tersebut. Pengelolaan pemerintahan dan kinerja aparatnya di Kabupaten Bolmong sudah lama bukan topik yang menarik buat saya. ‘’Kekacauan’’ kepemimpinan (yang mengakibatkan rupa-rupa penyelewengan) Bupati Salihi Mokodongan dan Wabup Yani Tuuk telah terlampau telanjang dipertontonkan. Hebatnya, diingatkan dan dikritik sebagaimana rupa pun, Bupati dan jajarannya tak goyah. Mereka maju tak gentar dengan kuping dan mata tertutup rapat. Sudah begitu, aparat berwenang pun bertingkah seolah-olah di Bolmong segala ketatalaksanaan pemerintahan dipraktekkan dengan khusyuk.

Tingkah aparat berwenang itu juga sebenarnya tak perlu diherani. Kabupaten Bolmong terlampau jauh dari pusat pengawasan. Kondisi ini ditambah mentalitas aparat yang masih doyan sogok, meras, dan korupsi umumnya, membuat segala sesuatu akhirnya diselesaikan dengan tahu-sama-tahu.

Kepastian hukum yang dpidatokan para petinggi lembaga dan institusi penegak hukum, di wilayah Mongondow cuma merdu di kuping. Faktanya, dugaan-dugaan pelanggaran dan dan penyelewengan diubah jadi celengan. Terduga pelanggar dan penyeleweng dengan ketakutan anjing dipentung dipaksa menyediakan setoran rutin. Gagal bayar, nasibnya seperti kredit sepeda motor atau mobil: tanpa ampun ditarik dan dikandangkan.

Kasus TPAPD adalah contoh paling menggelikan. Ditarik-ulur bagai karet gelang, kasus ini digulir sesuai selera dan jenis sarapan yang dikudap aparat hukum yang menangani. Maka jadilah dia lelucon. Sebagian tersangkanya telah lama naik status jadi terpidana; ada yang bahkan hampir dan telah menyelesaikan masa hukuman; sementara beberapa pelaku (tersangka dan terduga lain) lain justru status penyidikannya malah tak beda dengan angin di musim pancaroba.

Keliru meng-klik tautan menyebabkan saya ‘’terpaksa’’ membaca berita yang sontak terasa menyegat di ubun-ubun. Takarianta yang mengaku diperas aktivis LSM ternyata mengadu ke LPKEL Reformasi; bukan ke Polres Bolmong. Apa urusannya LPKEL dengan penindakan terhadap pelanggaran hukum? Sejak kapan insitusi ini menjadi salah satu satuan –setidaknya—di Polres Bolmong?

Tersebab LPKEL Reformasi ini bukan siapa-siapa, maka yang paling mungkin mereka lakukan adalah berkoar-koar, terutama ke media massa. Itulah yang dilakukan ketuanya (saya lama menyimpan penasaran, selain ketua, adakah LSM ini memiliki struktur dan personil selayaknya sebuah institusi kredibel?) dengan menyerang Ketua LAKI yang diduga sebagai pelaku pemerasan terhadap Takarianta.

Aduan Takarianta ke LPKEL Reformasi, alih-alih ke aparat berwenang, ibarat ruas ketemu buku. Dua pihak sama-sama tolol. Tak urung membuat saya menyimpulkan: Tidak heran dia gampang ditakut-takuti dan diperas. Yang memperihatinkan, sebagai Kabid, semestinya Takarianta cukup terdidik dan tahu persis bagaimana upaya dan prosedur  memperjuangkan keadilan. Kecuali, dia memang sejenis pejabat korup yang berada di posisi mouse in the corner. Memang terindikasi korupsi tetapi sudah tak kuat ditakut-takuti dan diperas aktivis LSM, sekaligus jerih menyambangi kantor polisi karena sama artinya dengan menyerahkan kepala ke tatakan persembahan.

Takarianta bukanlah anggota masyarakat biasa yang dapat diasumsikan buta hukum dan karenanya kebinggungan mencari pelabuhan mengadukan pemerasan melilit. Aduannya ke LPKEL Reformasi pun tak urung mamantik syak: Takarianta lebih mempercayai LSM melawan LSM ketimbang aparat hukum berwenang karena dia telah jadi korban dari dua sisi? Oleh oknum LSM pemeras dan oknum aparat berwenang bermental setan belang.

Makanya, Pak Kabid, jangan suka mengambil yang bukan hak. Akibatnya pahit. Anda cuma dijadikan ‘’celengan babi’’ yang digoyang setiap kali bangsat-bangsat tak bertanggungjawab memerlukan ‘’hepeng’’; dan akhirnya tetap diseret ke depan hukum. Walau, beruntung pulalah Anda, Pak Kabid, tabiat aparat berwenang di wilayah Mongondow kurang lebih sama dengan oknum LSM abal-abal dan jin penunggu tempat wingit. Sepanjang sesajen memuaskan, dia akan tidur nyenyak. Anda boleh melakukan apapun di teritorinya.

Kita tinggalkan saja derita Kabid Dikdasmen menjadi urusannya sendiri. Toh cepat atau lambat, menjadi perkara hukum atau tidak, bersih atau kotornya dia, bakal terbukti dengan sendirinya. Yang lebih mustahak justru pernyataan oknum Ketua LAKI Bolmong yang dikutip totabuan.co. Pernyataan ‘’saya dengan dukungan masyarakat membongkar kasus, bukan mencari uang’’ tentu cuma gertak sok jagonya. Siapa ‘’masyarakat’’ itu? Coba tunjukkan.

Sebagai bagian dari warga masyarakat Mongondow, saya tidak pernah merasa memberikan dukungan terhadap LSM yang aktivitasnya cuma dilaporkan di facebook, yang tautannya di dunia maya hanya terdapat di blog yang tak pernah diperbaharui sejak 2010 (http://lakindonesia.blogspot.com), yang alamat kantornya pusat (dan cabang-cabang yang diklaim hampir di seluruh Indonesia) entah ada di mana?

Indonesia yang gegar perubahan sejak runtuhnya rezim Orba memang dijamuri penunggang apapun. Gerakan anti korupsi tak hanya didukung (mati-matian) oleh mereka yang jemu dan muak terhadap perilaku dan praktek busuk ini; tetapi juga ditunggangi bajigan dan para ‘’pengambil kesempatan di tengah kesempitan’’ demi kepentingan kelompok dan pribadinya sendiri.

Pernyataan ‘’LAKI ini adalah kaki tangan para KPK. Selama saya mengikuti kegiatan yang ada, selalu didampingi KPK, bisa dikatakan LAKI ini adalah tentaranya KPK, yang memberikan penyuluhan dari KPK’’ adalah klaim omong kosong. Bahkan, jika kutipan totabuan.co ini 100 persen tepat sama dengan pernyataan Ketua LAKI Bolmong, yang bersangkutan pantas disidik sebagai pencatut KPK demi kepentingan yang patut diduga melanggar hukum.

Sejak kapan KPK punya kaki tangan dan laskar di luar struktur resmi lembaganya? Di mana aktivitas (lapangan) LAKI menguak-nguak dugaan korupsi didampingi petugas KPK? Kalau sekadar penyuluhan anti korupsi dan dihadiri petugas KPK, bukanlah hal istimewa. Penyuluhan anti korupsi yang dilaksanakan untuk murid SD Negeri Mogolaing pun, akan dihadiri petugas KPK sepanjang mereka diundang dan event-nya dianggap sangat penting bagi kepentingan pemberantasan korupsi.

Oknum LSM yang mengaku-ngaku, menakut-nakuti, meras-memeras, dan tipu-menipu sudah galib di negeri ini. Pernyataan Ketua LAKI Bolmong yang dikutip totabuan.co adalah contoh nyatanya. Beruntunglah oknum sialan ini, sebab dia tidak membual di hadapan orang yang paham hukum, sistem, dan mekanismenya. Andai pernyataan itu disampaikan di hadapan saya, wajahnya pasti sudah ber-cap lima jari kanan saya dan urusannya bakal panjang hingga ke Gedung KPK di Rasuna Said, Jakarta.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Dikdasmen: Pendidikan Dasar dan Menengah; Kabid: Kepala Bidang; LAKI: Laskar Anti Korupsi Indonesia; LPKEL: Lembaga Pemantau Kerja Eksekutif Legislatif; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Orba: Orde Baru; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Polres: Kepolisian Resort; SD: Sekolah Dasar; dan Wabup: Wakil Bupati.