Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, February 24, 2014

‘’Koran Lei atau Kartas Toilet?’’

BERAGAM reaksi menyambangi telepon genggam saya, Minggu (23 Februari 2014), selepas ‘’Blasphemous’’ Bupati Boltim dan Media Hantu Belau diunggah di blog ini. Bila dikonklusi, umumnya komentar, pernyataan, dan protes yang berdatangan itu terbagi dalam tiga isu.

Pertama, saya cenderung mendukung dugaan penghujatan yang dilakukan Bupati Boltim. Supaya isu ini jernih, sebagai Muslim yang memahami sakralitas Islam, Al Qur’an, Muhammad Rasulullah, dan ajaran-ajaran luhur agama ini (juga menghormati sakralitas-sakralitas agama lain dan umatnya), spekulasi yang disampaikan itu saya sambut dengan terima kasih dan tawa lebar.

Mentakzimi religiusitas yang dianut, bagi saya hukumnya mutlak tak dapat dikompromikan; tetapi di saat yang sama saya sungguh pula berikhtiar memahami konteks (terutama dinamika kekinian) lengkap dengan keimanan dan kelapangan hati. Modernitas dan keberagaman manusia yang menghuni permukaan bumi misalnya, sangat mempengaruhi konteks sakralitas agama.

Dengan membuka hati seluasnya (sekaligus menegaskan yang ditulis ini tidak dengan niat menghujat --apalagi menista keberagamaan— serta permohonan maaf sebesar-besarnya pada kaum Muslim dan Kristian), saya ingin mengajukan pertanyaan retoris sederhana: Andai hari ini Muhammad Rasulullah menjadi salah satu kandidat Presiden AS, dari rasionalitas manusia dan fakta kekinian, masuk akalkah Nabi Allah ini pasti keluar sebagai pemenang? Sama halnya dengan: Mungkinkah hari ini Tuhan Yesus bakal terpilih sebagai Perdana Menteri bila tokoh sakral yang dimuliakan umat Kristiani ini mengikuti pemilihan umum di salah satu negara Islam di Timur Tengah?

Menurut hemat saya, jawaban terhadap dua pertanyaan itu bukanlah debat tentang seberapa tinggi keyakinan beragama seseorang; melainkan sejauh mana kita (sebagai umat yang mengimani dua tokoh sakral itu) khatam memahami peta sosial, politik, dan budaya setempat. Sebab itulah, dalam konteks pemberitaan Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), yang kemudian mendudukkan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, sebagai terduga penista agama (Islam dan Kristen), saya lebih menitik-beratkan pada praktek jurnalistik profesional; bukan sentimen keyakinan beragama yang membabi-buta.

Kedua, di banyak isu yang berkaitan dengan Bupati Boltim, saya sukarela menghambakan diri di garda depan dan tanpa reserve membela Sehan Lanjar. Ah, tuduhan seperti ini tentu dilempar ke tong sampah. Pembaca yang sejak mula rutin menyimak blog ini tahu persis, bukan sekali-dua Bupati Boltim menjadi sasaran kritik pedas (bahkan‘’kegeraman’’) saya.

Sebagai politikus, Sehan Lanjar bukan tanpa cacat-cela. Dia khas kebanyakan politikus Indonesia, tetapi dengan sejumlah nilai lebih dan keunggulan. Dibanding umumnya Bupati/Walikota di Sulut, dia mampu membaca dan spontan bereaksi terhadap dinamika di sekitar yang pada akhirnya secara sosial dan politik mendatangkan nilai tambah dan magnet bagi khalayak. Sehan Lanjar juga selalu menunjukkan dia tulus dan apa adanya. Sikap ini mampu membuat khalayak menaruh kepercayaan besar, tak peduli dia sedang berakting menutupi kebohongan atau sejujur bocah usia bawah lima tahun.

Bahwa saya menyukai personalitas Bupati Boltim, juga sepak-terjangnya sebagai politikus dan pejabat publik, tidak akan mempengaruhi daya kritis dan ketegaan mengoreksi dia. Bila Radar Bolmong tidak compang-camping melansir isu penistaan agama (Islam dan Kristen) oleh Sehan Lanjar, saya tidak segan berdiri bersama-sama banyak pihak menuntut dia bertanggungjawab terhadap dugaan seram itu.

Dan ketiga, saya hanya menungganggi isu yang dipublikasi Radar Bolmong itu untuk melampiaskan niat buruk terhadap media ini. Beberapa orang bahkan menyampaikan dugaan (atau gugatan) disertai pertanyaan: Apa sebenarnya motif Anda? Apa tujuannya? Apakah menghancurkan Radar Bolmong, tempat di mana tak kurang 50 orang (termasuk warga Mongondow) menggantungkan nafkah akan memuaskan Anda?

Jawaban terhadap sederet pertanyaan itu saya dahului dengan: Apa motif Radar Bolmong mempublikasi berita berbayar Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? Apakah tujuannya demi menguntungkan pemesan berita; menghancurkan kredibilitas Bupati Boltim; atau lebih buruk lagi menempatkan Sehan Lanjar sebagai musuh bersama umat Islam dan Kristen? Pula, apakah dengan mempublikasi isu sensitif SARA yang tak jelas di konteks apa dinyatakan, Radar Bolmong sedang memprovokasi agar wilayah Mongondow (dan Sulut) terjerumus pada kerusuhan antar umat beragama?

Akan halnya motif saya mengkritisi Radar Bolmong dan pemberitaan yang kini jadi isu panas itu tidak muluk-muluk: Institusi media yang tak profesional dan berpihak (juga bertanggungjawab) pada kebenaran dan publik, lebih dari pantas sesegeranya dibinasakan. Kalau kemudian apa yang saya lakukan ditafsir bertujuan hingga Radar Bolmong raib dari wilayah Mongondow, apa yang salah? Masyarakat Mongondow memang memerlukan media massa, tapi jelas bukan koran yang dikelola para kriminal tukang peras, yang isinya tak dapat dipertanggungjawabkan bahkan dari aspek paling dasar jurnalistik.

Jangan pula dilupakan, kehadiran Radar Bolmong di wilayah Mongondow kian nyata bukan dengan motif dan tujuan luhur media massa. Kewajiban cash in adalah bukti bahwa satu-satunya tujuan koran ini adalah menghimpun keuntungan ekonomi, tak peduli dengan cara melampaui akal sehat dan kewarasan adab bisnis modern.

Nah, bagian paling seram dari publikasi yang mendudukkan Bupati Boltim sebagai target umat Islam dan Kristen yang emosinya potensial tersundut isu penistaan agama, adalah saya memiliki bukti hal tersebut memang direncanakan dan sepengetahuan para petinggi redaksi Radar Bolmong. Saya kutipkan potongan ‘’instruksi’’ Pemred Radar Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.22, yang menyatakan: ‘’Cuma besok-besok main save torang.... Boleh tulis Sehan tantang Tuhan dan Nabi saja, jangan detail.’’

Saya belum menunjukkan bukti yang ada di tangan saya ke Sehan Lanjar yang telah berlapang dada memaafkan Radar Bolmong dan tidak berniat menggugat media ini. Dengan mengetahui duduk-soal, bahwa dia dengan sengaja ditarget, tidak tertutup kemungkinan Bupati Boltim berubah pikiran dan menggugat koran ini lebih dari sekadar pasal pencemaran nama baik.

Celakanya, karena redaksi Radar Bolmong dipimpin bukan oleh wartawan kompeten, Senin (24 Februari 2014), lewat permintaan maaf yang ditanda-tangani Pemred-nya, koran ini justru mengumumkan secara terbuka mereka memang berniat busuk memprovokasi umat Islam dan Kristen untuk mengeroyok Bupati Boltim atau bahkan mendorong meletusnya konflik antar dua umat beragama ini. Permintaan maaf itu juga absah menjadi bukti bagi pihak berwenang, bahwa Radar Bolmong bukanlah institusi jurnalistik, melainkan alat kriminalitas yang berlindung di balik jurnalisme.

Tidak ada alasan lagi bagi pihak berwenang memperlakukan pemberitaan sensitif SARA yang potensial mendorong meletusnya anarki sipil itu sebagai kekhilafan jurnalistik. Media ini adalah pelaku subversi dan karena itu para pengelola dan wartawannya pantas dibui.

Lebih buruk lagi, setelah permintaan maaf yang berisi pengakuan berita Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir hanya karang-karangnya redaksi Radar Bolmong, masyarakat di wilayah Mongondow tak perlu lagi menduga-duga media ini hanya piece of s**t. Bukan wahana yang pantas dijadikan bacaan, apalagi rujukan. Bahwa koran ini memang cuma cocok dipotong-potong untuk kepentingan mengelap bokong di kakus umum usai bertandas.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Pemred: Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; dan Sulut: Sulawesi Utara.