Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, August 15, 2024

Calon Kuat dan "Bakuat Bacalon"

KABAR itu seperti guntur tanpa mendung. Partai NasDem mencalonkan Meiddy Malalalag sebagai balon Walikota KK 2025-2030.

Situs Kronik Today (https://www.kroniktoday.com/dukungan-nasdem-perkuat-posisi-ketua-dpc-pdip-kotamobagu-meiddy-makalalag-tarung-di-pilwako/) mempublikasi Kamis, 15 Agustus 2024. Berita ini disertai foto Meidy didampingi Ketua NasDem KK, Syarif Mokodongan, menerima dokumen dari anggota DPR RI Dapil Sulut dari NasDem, Felly E. Runtuwene.

Tidak diinformasikan apakah yang diserahkan adalah SK rekomendasi atau SK penunjukan/penetapan. Tidak jelas kapan dan di mana dokumen (pencalonan) diberikan. Tidak pula ada sentilan sedikit pun siapa wakil yang mendampingi dia. Pewarta kita, dalam soal berita politik yang dianggap bakal jadi perhatian, memang suka mendadak kesurupan bias.

Untuk menenangkan lidah para penggosip, saya bikin terang. SK Penunjukan Meiddy sebagai balon Walikota KK diterima Selasa, 13 Agustus 2024, di Ruang Bappilu, Lantai 5, NasDem Tower. Yang menyerahkan bukan Felly anggota DPR RI tetapi Felly yang adalah Komando Pemenangan Wilayah NasDem Sulut. Siapa balon Wawalinya? Kura-kura dalam perahu.

Penyerahan SK untuk Meiddy sesungguhnya menjawab beberapa spekulasi yang belakangan jadi konsumsi gurih para penggemar politik praktis. Pertama, bahwa Felly telah dipecat oleh Mahkamah Partai NasDem dan bahkan diminta segera mengembalikan kartu anggotanya. NasDem bukan warung kopi yang membiarkan anggota yang telah dipecat lalu lalang di Kantor DPP, menyerahkan SK pula.

Kedua, bahwa Meiddy Makalalag sebagai Ketua DPC PDIP, yang berhasil memberikan sembilan kursi DPRD KK di Pemilu 2024, tidak bakal jadi balon Walikota karena partainya lebih memilih kandidat yang lain. Jika partai lain mengapresiasi capaian Meiddy, yang juga peraih suara terbanyak Pemilu 2024, mengapa PDIP tidak?  Memberikan kesempatan balon Walikota KK 2025-2030 pada siapapun selain Meiddy adalah langkah bunuh diri politik buat PDIP.

Ketiga, dan ini yang terpenting: Syarif dan anak-anak muda yang mengurus NasDem di KK, juga NasDem sebagai partai politik, sedang memberi pelajaran politik terhadap para politikus tidak hanya di KK. Bahwa berkhimat di dunia politik praktis adalah proses yang tidak instan. Dan bahwa sesiapapun yang telah menjukkan kinerja terbaik (dalam politik kinerja terbaik adalah perolehan suara dan kursi) harus diberi apresiasi tinggi. Jika apresiasi itu adalah kursi Walikota di tingkat kota atau bupati di tingkat kabupaten, maka demikianlah adanya.

Hanya politikus yang memborong seluruh ketololan yang tidak melihat kekuasaan eksekutif sebagai salah satu tujuan tertinggi di sistem politik Indonesia. Meiddy telah membuktikan kinerja terbaiknya setidaknya dua Pemilu terakhir. Adalah saatnya jika dia juga mendapatkan apresiasi setimpal. 

Jika apresiasi itu datang dari PDIP, memang telah selayaknya. Tapi jika apresiasi itu yang pertama datang dari Nasdem, yang dalam dua Pemilu terakhir tidak kurang moncer (dari nol kursi menjadi satu fraksi utuh di Pemilu 2019 dan bertahan di Pemilu 2024), ini soal lain lagi. Sebagai awam, saya melihat penyerahan SK balon Walikota oleh NasDem kepada Meidy lebih dari sekadar strategi dan taktik politik.

Diperlukan kedewasaan, pemahaman etis, dan keikhlasan dari seluruh jajaran NasDem KK dan perangkat partai di atasnya untuk memutuskan memberikan peluang emas mereka kepada Meiddy. Untuk pertama kali sepanjang 30 tahun terakhir saya melihat nilai luhur budaya orang Mongondow, mo o-aheran bo mototompia-an kembali menemukan tempat.

NasDem yang punya empat kursi di DPRD KK hasil Pemilu 2019 (yang masih berharga untuk pencalonan Walikota dan Wawali 2025-2030) hanya memerlukan tambahan satu kursi untuk punya kandidat sendiri. Saya tidak berani berspekulasi apa yang ada di kepala para pengurus partai ini ketika mereka memutuskan langkah kuda, yang suka atau tidak, mengejutkan banyak orang.

Apalagi tidaklah sulit mencari satu atau sepasang orang dungu berduit, ambisius, dan sedang terujung kepingin jadi balon Walikota-Wawali di KK. Menang di kontestasi Pilwako melawan PDIP yang dari lima kursi jadi 9 kursi, buat NasDem adalah dapat durian runtuh. Kalah, apa ruginya? Setidaknya partai yang dari nol kursi di Pemilu 2004 ini sudah unjuk gigi dan menabung modal sosial-politik untuk Pemilu 2029.

Yang paling masuk akal, sebagai Parpol, NasDem berhasil membaca tanda-tanda dengan baik: mereka harus memilih calon kuat yang mampu menjadi representasi partai (bukan hanya NasDem) sebagai wahana kaderisasi. Calon kuat adalah politikus yang punya rekam jejak kinerja politik yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan; bukan mereka yang (kata orang Jalan Amal), ''Nintau dari kusu-kusu mana kong bakuat bacalon."

Dengan memilih calon kuat yang kinerja politiknya benar-benar teruji, ketimbang mereka yang ''bakuat bacalon'', NasDem KK (menurut hemat saya) menunjukkan ikhtiar lain yang kian sepi di politik praktis Indonesia: mengeliminasi politik transaksional. Sudah jadi pemahfuman umum, setiap kali seseorang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau pejabat publik (politik), pertanyaan pertama yang diterima adalah: Berapa hepeng yang Anda miliki?

Meiddy jelas tidak punya dana melimpah seperti kandidat lain yang simpang-siur diiklankan sedang ''bakuat bacalon" Walikota-Wawali KK. Wakilnya, saya duga (dengan harapan yang meruah), juga bukan sosok yang lahir dengan sendok perak di tangan. Soal kandidat dengan kinerja politik teruji tapi dhuafa menang atau kalah, terserah warga KK seberapa tinggi atau rendah kewarasannya. 

Sebagai orang Mongondow yang sedikit memahami budaya, nilai, dan tradisi Mongondow, lebih jauh saya menafsir langkah NasDem mencalonkan Meiddy, sebelum partainya sendiri bersuara (bahkan belakangan suaranya justru ke kendidat lain), adalah tempelengan politik terhadap partai, politikus senior, dan para "bakuat bacalon" khususnya di KK agar tahu diri dan tahu tempat. 

Mo o-aheran kata para orang tua bijak dari masa lalu Mongondow. Hargai yang berjuang dan bekerja keras. Yang duduk ongkang-ongkang lalu hanya karena punya uang dan beking, boleh menyalip dan merapok hasil keringat pihak lain, selalu tidak punya tempat dalam seluruh kearifan Mongondow. Mototompia-an kata mereka yang telah lama pralaya. Koreksi yang keliru, perbaiki yang salah, ingatkan yang abai. Selasa di NasDem Tower lalu anak-anak muda Mongondow di Nasdem KK dan Meiddy sedang mengajarkan kembali apa arti mototompia-an yang mestinya kita khimati setiap hari.

Bila tak ada aral melintangi pencalonan Meiddy dan balon Wawali-nya (siapapun itu, sepanjang punya kinerja setara), lalu mereka tidak terpilih dengan alasan pope dan sejenisnya, maka sebaiknya KK diiklan saja untuk dijual pada investor tajir di luar sana. Biar sekalian kita semua jadi budak duit dan kebodohan massal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

balon: bakal calon; Bappilu: Badan Pemenangan Pemilu; Dapil: Daerah Pemilihan; DPC: Dewan Pengurus Cabang; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republika Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokrat; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; SK: Surat Keputusan; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali:Wakil Walikota.