Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 27, 2019

Otak Udang dan Aparat Ecek-ecek

KELINDAN isu Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu belum mereda. Gegaranya: alih-alih mengakui ada yang bengkok dan sumir dari proses pambangunannya (bahkan bukan hanya Instalasi Radilogi, tapi hampir seluruh fasilitas yang berdiri di RS ini), pihak-pihak yang paling bertanggungjawab justru sibuk memutar lidah dan menyoal urusan sesepele ihwal kata ‘’segel’’.

Walikota KK dan jajarannya—juga para penjilat di sekitar—, termasuk Kadis Kominfo yang juga Plt Kadis Kesehatan, bersikukuh bahwa stiker yang dipasang BAPETEN di Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu bukanlah ‘’segel’’, melainkan ‘’peringatan’’ (dengan gaya Walikota menggunakan bahasa Inggris, ‘’warning’’). Terkini, Rabu, 26 Juni 2019, sejumlah situs berita di BMR ramai-ramai mempublikasi pernyataan Kabag Komunikasi Publik dan Protokol BAPETEN, Abdul Qohhar, yang ringkasnya—kurang-lebih—bahwa pihaknya bukanlah PPNS yang berhak melakukan penyegelan.

Di unggahan-unggahan yang nyaris seragam (salah satu contoh di https://totabuan.news/2019/06/bapeten-akui-tak-punya-hak-menyegel-gedung-radiologi-rsud-kotamobagu/) ada kutipan langsung, ‘’Tetapi, saat kami datang lagi dan kedapatan ada aktivitas (penekanan dari saya: di gedung atau fasilitas yang di’’stiker’’ merah BAPETEN), kami akan bawa ini ke penegak hukum.’’

Baiklah. Mari kita bermain bahasa dan logika. KBBI mendefinisikan kata ‘’segel’’ sebagai ‘’tera, cap, materai’’. Sedang ‘’menyegel’’ diartikan sebagai ‘’menutup rumah (bangunan, barang, dan sebagainya) yang disita dengan menempelkan segel pada pintu dan sebagainya.’’

Yang ditempel BAPETEN di pintu Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu adalah apa yang oleh Kabag Komunikasi Publik dan Protokol BAPETEN (dan dikutip situs-situs berita) disebut sebagai ‘’stiker’’ berwarna merah dengan sisi kiri bertulis ‘’Tidak memiliki Izin dari BAPETEN’’; tengah atas ‘’Melanggar Pasal 20 UU No. 10 Tahun 1997’’, tengah bawah ‘’Dilarang Memanfaatkan’’; dan sisi kanan ‘’Direktorat Inspeksi  Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif’’. Dengan logika yang sekarang dibingkai media-media yang (bukan rahasia lagi) menerima bayaran rutin dari Pemkot KK, artinya warna merah stiker BAPETEN itu bukanlah cap dengan pembatasan yang jelas (Dilarang Memanfaatkan)?

Saya tidak tahu dari sekolah mana dan kamus bahasa apa yang digunakan para pejabat dan jurnalis yang menyiarkan apa yang ditempelkan BAPETEN bukanlah segel. Yang saya tahu, saya paham bahasa Indonesia dan logikanya. Sama dengan saya memahami bahwa papan larangan meneruskan pembangunan ditempelkan oleh Satpol PP di rumah yang belum memiliki IMB adalah penyegelan.

Siapa yang melanggar segel itu (stiker BAPETEN atau papan larangan Satpol PP), sanksi memang akhirnya menjadi ranah penegakan hukum. Ranahnya polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Tapi bukankah memang demikian aturan di negeri ini? 

Dalam bahasa Inggris ada kata yang mungkin lebih tepat mendefinisikan stiker yang dipasang BAPETEN, yakni tag (tanda/label). Di industri-industri yang melihatkan mesin dan aneka peralatan teknis, istilah ini umum digunakan sebagai identifikasi bukan hanya pada benda, peralatan, atau bangunan; tetapi juga untuk orang. Tag merah artinya ‘’tidak boleh’’, tag kuning maksudnya ''dalam pengawasan'' dan tag hijau bermakna ‘’boleh’’.

Kembali pada ‘’segel’’, memahami kata yang terang-menderang dalam kamus saja jajaran di Pemkot KK tergagap-gagap, tentu tak masalah saya menyatakan gerombolan itu berotak udang. Mereka toh tidak paham arti ‘’otak udang’’. Kepalanya hanya diisi secuil otak berdempet sebongkah kotoran. Sebab otak udang biasanya hanya bertempat di kepala udang—yang tidak dilindungi hak asasi manusia dan hak-hak manusia lain--, bukan pelanggaran perdata dan pidana pula kalau saya mencaci udang. Mana ada udang yang bisa mengadu ke polisi atau memberi kuasa hukum ke pengacara?

Di dunia perudangan, galib belaka terjadi jepit-menjepit, tekan-menekan, dan paksa-memaksa. Dengan pemahaman seperti itu, walau berat hati, saya memaafkan saja udang kecil seperti Kadis Infokom yang juga Plt Kadis Kesehatan. Otak udang kecil tentu kotorannya juga kecil. Sebaliknya, udang ukurannya besar, volume kotorannya juga besar. Dan udang terbesar di KK, yang punya kuasa jepit-menjepit, tekan-menekan, dan paksa-memaksa, tentu adalah yang menduduki puncak jabatan birokrasi dan politik.

Namun, apa yang diharapkan dari mesin layanan publik yang dikendalikan para otak udang? Berita RSUD Bantah Ada Kerusakan Alat Limbah (Harian Radar Bolmong, Rabu, 26 Juni 2019) adalah contoh respons yang mau tak mau membuat saya berdecak. Di unggahan saya sebelumnya, ‘’So Bogo-bogo, Papandusta Lei’’, saya menyinggung (dengan diawali ‘’misalnya’’) fasilitas pemusnah limbah medis yang kini mangkrak. Fasilitas yang saya maksud adalah insinerator (tungku pembakaran), yang kemudian dibantah Humas RSUD Kotamobagu dan disebut hanyalah isu ecek-ecek.

Mudah-mudahan penyebutan isu ecek-ecek itu cuma versi hiperbola dari pewarta yang menulis beritanya untuk menarik perhatian pembaca. Kalau insinerator adalah isu ecek-ecek, lalu bagaimana dengan laboratorium tanpa meja beton, gudang obat yang dikelilingi jendela kaca (dokter dan ahli farmasi tahu persis haram hukumnya gudang obat terpapar sinar matahari langsung), atau fasilitas pemulasaran jenazah yang dikerjakan asal-asalan?

Sejatinya, dalam soal insinerator, sungguh saya berharap RSUD Kotamobagu khususnya dan Pemkot KK umumnya, sebaiknya mengecek dengan saksama fasilitas ini. 

Limbah medis umumnya dikategorikan sebagai B3; dan salah satu cara mengelola jenis limbah ini adalah memusnahkan dengan insinerator yang pengoperasiannya disyarati dengan kriteria sangat ketat (kurang-lebih sama dengan Instalasi Radiologi). Selain dicakup dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang ancaman pidana dan dendanya cukup menggetarkan nyali), sejumlah PP dan turunannya menegaskan gawatnya urusan insinerator ini. 

Benarkah isunya ecek-ecek belaka? Kita uji dengan pertanyaan sederhana: Apakah cerobong insinerator RSUD Kotamobagu berdiri lebih tinggi dari Tower A dan B? Kalau jawabannya (yang dengan mata telanjang bisa dilihat oleh siapapun dari kejauhan) adalah ‘’tidak’’, Humas (yang saya maafkan juga karena hanya menjalankan tugas dan fungsinya), tentu mahfum dan tahu persis rangkaian sebab-akibat yang bakal mengikutinya.

Tidak perlu saya menyoal isi perut insinerator yang hanya segelintir orang teknis yang paham detil-detilnya. Tapi kalau meja beton laboratorium saja dirampok, pelapis timbal dinding Instalasi Radiologi dijarah, syak insinerator semata cuma tungku dan cerobong, adalah keniscayaan.

Maka, alih-alih isu ecek-ecek, jika digali lebih dalam (sebagaimana kalau kita mengaduk satu-persatu udang busuk di balik seluruh proyek infrastruktur dan pendukung RSUD Kotamobagu), saya meyakini urusan fasilitas pemusnah limbah (insinerator) itu justru menunjukkan dengan tepat otak-otak macam apa dan jenis aparat yang bagaimana yang paling bertanggungjawab terhadap layanan dasar kemaslahatan orang banyak di KK: udang dan ecek-ecek belaka. Sama pandir dan cemeng-nya dengan seorang ASN yang mengunggah sindiran ‘’Ternyata yg Bogo Bogo deng Papandusta itu TUA’’’ di akun facebook-nya, Rabu malam, 26 Juni 2016.

Saya, yang memang mempublikasi tuduhan bogo-bogo dan papandusta di blog ini, sama sekali tidak tersinggung dengan sindirin itu. Sindir-menyindir cuma untuk para pengecut yang IQ-nya pas-pasan.

Malah, dengan penuh penasaran, saya ingin tahu siapa sesungguhnya yang disindir ASN berakun Tatank Raditya, yang sepengetahuan saya tak lain pegawai di Diskominfo KK dan sehari-harinya lebih banyak menyopiri adik kandung Walikota ketimbang berkantor sebagaimana Tupoksinya? Pun, apakah kini salah-satu fungsi utama pegawai Diskominfo kelas ecek-ecek seperti dia adalah jadi pelayan keluarga Walikota sembari main sindir-sindiran di facebook

Mengingat saya memang sedang amat marah dan kepingin memuntahkan banyak skandal di KK, dengan tulisan ini saya ingin menantang: Walikota dan jajarannya berkeinginan menyelesaikan masalah di KK, khususnya berbagai hal bengkok di RSUD Kotamobagu, atau mau buka-bukaan borok dan aib? Jika pilihannya adalah borok dan aib, saya berjanji akan merespons dengan saksama dan dalam tempo secepat-cepatnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; B3: Bahan Berbahaya dan Beracun; BAPETEN: Badan Pegawas Tenaga Nuklir; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Humas: Hubungan Masyarakat; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IQ: Intelligence Quotient; Kabag: Kepala Bagian; Kadis: Kepala Dinas; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Kominfo: Komunikasi dan Informasi; Pemkot: Pemerintah Kota; Plt: Pelaksana Tugas; PP: Peraturan Pemerintah; PPNS: Penyidik Pegawai Negeri Sipil; RS: Rumah Sakit; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja; Tupoksi: Tugas Pokok dan Fungsi; dan UU: Undang-undang.