Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 18, 2024

Kota Kita, Rumah Kita: Catatan Politik untuk Pilwako KK 2024

MENGAPA sekarang saya bersuara setelah hampir lima tahun menghilang dari percakapan sosial, ekonomi, budaya, dan (utamanya) politik di Bolmong Raya? Mengapa pula adalah tentang politik praktis?

Ada yang lebih blak-blakkan dan berani menonjok: "Abang kan sedang membela Meiddy!"

Saya menghargai dan membenarkan pernyataan itu. Apa yang salah dari membela seorang Ketua DPC partai besar yang juga Ketua DPRD KK? Apakah ada yang gatal-gatal dan terganggu saluran pernafasan jika saya yang warga Panang bersimpati terhadap warga Panang yang lain (yang tidak mengerti apa itu ''Panang'', tolong pelajari penamaan area-area di sekitar Mogolaing dan Motoboi Kecil)? Apalagi isu yang melibatkan dia ada di ruang publik dan saya menjadi salah satu warga sipil di dalamnya. 

Di lanskap politik praktis KK dan negeri ini umumnya, saya tidak berani berteori, apalagi bikin pernyataan yang menggarami laut, misalnya soal ideologi, politik dinasti, atau politik demi kemaslahatan bangsa, negara, dan seisinya. Rasanya sudah lama hal-hal luhur yang seharusnya kita takzimi dan perkara bangsat yang semestinya kita tolak, cuma jadi materi pidato politik.

Ideologi, etika, norma, dan praktik politik apa yang sedang dijalankan di Sulut misalnya, jika seisi rumah dan seluruh keluarga dekat petinggi partai yang juga eksekutif pemerintahan puncak dengan segera bertebaran mengisi jabatan publik? Sama halnya dengan di sebagian wilayah Bolmong Raya. Begitu seseorang menjadi Walikota atau Bupati, dengan sontak pula bala keluarga bersesakan mengejar jabatan publik, bahkan ikut campur mengurus politik, pemerintahan, dan perkara orang banyak.

Kalau ada sesiapapun di Mongondow yang berani membantah apa yang saya tuliskan itu, bawa ke sini mulutnya untuk disumpal dengan tinju Jalan Amal. Kita semua tidak buta (yang buta pun sepanjang tak tuli pasti punya informasi terbarukan) dan bila masih punya setitik akal sehat, pasti menyimpan prihatin dan kejengkelan yang sama.

Tidak ada yang rahasia dan konspiratif dari manuver dan silat politik kelas rendahan. Asal-muasal isu politik KK yang sekarang menjadikan Meiddy Makalalag sebagai pusat perhatian, cuma soal golojo biasa. Ada pejabat publik dan pengurus partai level tinggi di Jakarta yang kepingin istrinya jadi Walikota atau Wawali, lalu main kayu kiri-kanan supaya inginnya tersampaikan. Ini juga biasa saja.

Itu sebabnya, barangkali, sejak kecil saya kenyang mendengar para politikus Mongondow dengan enteng mengatakan, ''Natua-bi' in pulitik.'' Kita tidak perlu marah.

Sama halnya dengan politisi senior asal Mongondow yang bersikeras agar ''anak politik kesayangannya'' harus jadi balon Wawali dari partai besar pemenang Pemilu 2024 di KK. Ini juga umum-umum saja. Bahwa ada bumbu intrik yang lebih personal di baliknya, itu urusan remeh. Seperti bikin tude kuah asam tanpa menceburkan irisan cabe. Tidak mengurangi, tidak pula menambah.

Sama dengan biasa pula petinggi partai berubah jadi busisi ketika memilih balon untuk kontestasi politik di Pilkada, antara kader atau yang punya duit bejibun, atau yang punya dekingan kelas berat. Menyingkirkan kader menjadi hal sepele (katanya) sebab yang mati pun bisa bangkit melihat tumpukan duit atau yang berkumis baplang pun bakal keder jika yang datang menegur adalah kakek buyutnya.

Politikus seperti Meiddy, di tengah politik KK yang nir-ideologi, etika, dan norma, jelas adalah korban paling empuk. Sekali hap dia selesai. Dan peng-hap-an itu sudah terjadi setengah jalan. Akan komplit setelah dia dipecat oleh partai, tidak dilantik jadi anggota DPRD KK terpilih, dan (untuk sementara waktu) ronin politiklah dia.

Tidakkah ada yang sedikit menelisik bahwa politikus usia muda di KK seperti Meiddy adalah pengecualian dari sangat sedikit fenomena politik di negeri ini? Meiddy, sebagaimana Ketua NasDem, Syarif Mokodongan; Ketua PKB Jusran Deby Mokolanot; atau Wakil Ketua DPRD KK dari PG, Herdy Korompot, adalah warga biasa yang dengan tekun memanjat tangga politik. Mereka semua punya kesamaan: datang dari lingkungan keluarga Mongondow umumnya, bukan aktivis papan atas di masa sekolah, tanpa backingan mentor dengan nama besar, dan masuk politik praktis dari strata sandal jepit.

Mereka bukan politikus kage-kage ditraktir, kage-kage bekeng diri.

Jika hari ini politikus-politikus muda seperti empat orang itu kita percayai memimpin KK, mereka tahu persis harus berbuat apa. Di tangan mereka memang tidak ada jaminan KK akan jadi kota yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur. Tapi sebagai anak kandung politik kota ini, mereka tahu persis apa yang sesungguhnya diperlukan warga KK.

Soalnya adalah: apakah kita, yang lebih tua, yang narsis merasa kuat, dan berada dijejaring laba-laba politik atau ekonomi mumpuni, punya kesadaran membiarkan anak-anak muda politikus di Kotamobagu mengurus kotanya? Mampukah kita menahan godaan tidak serakah menelan semua kursi yang tersedia di jabatan publik dan rela memberikan apresiasi, ''Ini waktu kalian. Waktu kami telah berlalu.''?

Sabtu menjelang tengah malam, 17 Agustus 2024, Syarif Mokodongan menelepon (setelah lama tidak berkabar) hanya untuk basa-basi bertanya, ''Apakah tepat kalau 'Kota Kita, Rumah Kita' jadi pesan utama untuk warga KK di Pilwako?'' Saya melompat dari ranjang dan memeras otak. Ini pesan kuat, penuh kesadaran, dan penghormatan terhadap Kotamobagu dan warganya.

Pesan itu adalah bukti mereka, yang muda-muda dan yang diupayakan sekerasnya dipinggirkan dari mainstream politik praktis KK, sesungguhnya tidak sedang bermain-main. Mereka ingin menggugah kembali politik sebagai cara menuju kesadaran bersama.

Kalimat pendek itu juga enak dan menyentuh dalam semua terjemahan. Kota i Naton, Baloi i Naton; Torang pe Kota, Torang pe Rumah; Our City, Our Home.

Dan saya, yang mungkin karena usia, kadang sentimentil bahkan untuk hal sepele, mendadak teringat pada puisi salah satu penyair terbaik negeri ini, Joko Pinurbo (11 Mei 1962 – 27 April 2024). Di Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan, dia menulis, “Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.”

Saya berharap semoga Meiddy dan siapapun pasangan balon Wawalinya terpilih sebagai Walikota-Wawali KK 2025-2030. Ketika itu terjadi, saya ingin pulang ke Jalan Amal dan minum teh dengan senja di depan jendela di halaman belakang. Bila tidak, karena warga KK terlampau silau dengan segala aksesoris politik murahan, jendela dan senja masih ada di sana menunggu secangkir teh di lain hari.***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

balon: bakal calon; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPC: Dewan Pengurus Cabang; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; NasDem: Nasional Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada:Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; dan Wawali: Wakil Walikota.