Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, July 28, 2017

Conch dan ‘’Grap-grap’’ Penegakan Hukum (1)

POLDA Sulut menetapkan Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow, sebagai tersangka tindak pidana pengerusakan. Pasal yang disangkakan, menurut Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Ibrahim Tompo, sebagaimana yang dikutip tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/26/058894750/bupati-bolmong-jadi-tersangka-perusakan-begini-kasusnya), Rabu, 26 Juli 2016, adalah Pasal 170 KUHP juncto Pasal 52, 55 dan 56 KUHP.

Sumber umum yang lain, manadopostonline.com (http://manadopostonline.com/read/2017/07/26/Bupati-Bolmong-Resmi-Tersangka-Ancaman-Hukum-Lima-Tahun-Penjara/25127), punya versi berbeda. Masih mengutip Kabid Humas Polda Sulut, menurut situs ini, ‘’Bupati Bolmong disangka telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP.’’

Penetapan terhadap Bupati itu melengkapi gerak cepat polisi yang sebelumnya telah mentersangkakan 27 personil Satpol PP Bolmong, sebagai buntut penertiban bangunan tanpa IMB di kompleks pabrik semen yang tengah dikonstruksi PT Conch North Sulawesi Cement di Desa Solog, Lolak, Senin, 5 Juni 2017. Dalam penertiban ini, Bupati yang didampingi sejumlah pejabat di jajaran Pemkab serta beberapa anggota DPRD Bolmong, memang memerintahkan Satpol PP mengambil tindakan terhadap bangunan-bangunan yang diduga didirikan tanpa IMB.

Kembali ke pasal-pasal yang disangkakan, sebagaimana dinyatakan Kombes Tompo, jelas bukan main seriusnya. Pasal 170 ayat (1) KUHP bilang: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan; sedang ayat (2) ke-1 menyebutkan: Yang bersalah diancam: dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

Alternatif yang disangkakan, Pasal 460 KUHP, pasti merujuk pada ayat (1)—mengingat ayat (2) urusannya soal binatang--, yakni: (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal yang dihubungkan dengan dua sangkaan utama itu, masing-masing Pasal 51, Pasal 55, dan Pasal 56 KUHP kian bikin merinding. Pasal 52 KUHP menyatakan: Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Pasal 55 KUHP, terdiri dari dua ayat, menyebutkan: ayat (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan; dan ayat (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Akan halnya Pasal 56 KUHP, yang juga terdiri dari dua ayat, menjelaskan bahwa, dipidana sebagai pembantu kejahatan, ayat 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; ayat 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Tak pelak, penetapan tersangka terhadap Bupati Bolmong itu mengundang pro-kontra. Bahkan beberapa anggota DPR RI-pun ikut angkat suara, antaranya menyoroti tindakan polisi ‘’terburu-buru’’ dan ‘’jadi preseden buruk’’.

Perhatian umum kini memang terfokus pada pro-kontra layak atau tidaknya Bupati Yasti ditersangkakan hingga nyaris mengabaikan akar masalahnya. Sejatinya, perkara yang menyeret Bupati dan 27 anggota Satpol PP Bolmong ini sepele belaka. Sumber-sumber publik—yang tidak pernah diperdebatkan oleh siapapun—menyebut kehadiran PT Conch di Bolmong terkait dengan PT Sulenco Bohusami Cement. Yang satu adalah investor yang kemudian membangun pabrik semen, yang lain adalah pemilik konsesi pertambangan kapur (sebagai bahan utama semen) di Desa Solog.

Galib dipahami—dan demikianlah aturannya—, PT Sulenco yang masuk kategori usaha tambang, mesti memiliki izin: IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Faktanya (sekali lagi, berdasar sumber publik yang rujukannya berserak di Internet), perusahaan ini ternyata ‘’hanya pernah’’ punya izin. Dengan kata lain, dokumen yang dikantongi sudah kedaluarsa.

Walau begitu, PT Sulenco jalan terus dengan gagah berani mengandeng—pemilik PT Sulenco selalu menyebut sebagai—investor asal Cina, PT Conch, untuk mengelola cebakan kapur di atas lahan yang dikuasai. Namun, hingga pening menelisik, akibat simpang-siur lalu-lalang informasi, hubungan antara dua perusahaan ini sama kaburnya dengan penglihatan penderita katarak stadium kritis.

Manakah yang benar? PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi, sedang PT Conch hanya menjadi mitra pengolah? PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi, lalu Anhui Conch Cement Company Ltd masuk berinvestasi, mendirikan joint venture PT Conch? Atau PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi; dan PT Conch menjadi investor sekaligus operator dari penambangan, pengolahan, hingga distribusi dan penjualan produksinya?

Jawaban terhadap tiga pertanyaan itu terkait erat dengan masuk akal-tidaknya tindakan Polda Sulut. Jika PT Conch hanya mitra pengolah, maka pendirian kompleks pabrik semen di Desa Solog bukanlah masalah,  sepanjang: perusahaan ini memenuhi seluruh izin dan kepatuhannya, termasuk membangun fasilitasnya di atas kawasan peruntukan industri.

Bila PT Conch adalah hasil joint venture PT Sulenco dan Anhui Conch, bagaimana dengan perizinan dasarnya? Dapatkah IUP Eksplorasi dan IPU Produksi dipindahtangankan? Status perusahannya adalah investasi dalam negeri (mayoritas Indonesia) atau PMA (mayoritas asing)? Jika PT Conch adalah sekadar investor sekaligus operator, maka seharusnya yang berada di depan (dalam segala urusan) adalah PT Sulenco, yang sejauh ini kita tahu bersama tidak mengantongi perizinan sebagaimana mestinya.

Polisi serta aparat berwajib dan berwenang lainnya yang cermat dan tahu persis tugas, kewajiban, dan wewenangnya di negeri ini, semestinya terlebih dahulu menelisik hal paling substansial itu. Cuma aparat bebal dengan mental ‘’orang jajahan’’ yang serta-merta tunduk ditakut-takuti kata ‘’investasi asing’’. Mau asing, mau lokal, sepanjang melanggar UU dan turunannya, seharusnya ditindak dengan serta merta. Bukankah Indonesia adalah negeri berdaulat? Bukankah pula kewajiban setiap warga negara, siapapun dia, bangga dan menegakkan harga diri negeri ini?

Mudah-mudahan rumor yang beredar sejak Senin, 5 Juni 2017, bahwa sudah ada gudang Handak di kompleks pabrik semen yang sedang dikonstruksi oleh PT Conch di Desa Solog, cuma sekadar gosip orang kurang kerjaan. Sebab jika bisik-bisik ini benar, dan otoritas tunggal pemberi izin Handak di negeri ini hanyalah Polri, keberadaan gudang yang ‘’konon’’ sudah terisi itu menimbulkan pertanyaan sangat serius. Perusahaan mana yang mengantongi izinnya? PT Sulenco atau PT Conch?

Konsekwensi PT Sulenco yang mengantongi izin Handak artinya dia punya IUP Produksi—yang sejauh ini tidak pernah mampu ditunjukkan keabsahannya. Galibnya operasi tambang yang mengambil batuan, penambangan kapur memang membutuhkan bahan peledak dan peledakan. Sebaliknya, kalau izinnya dikantongi PT Conch, buat apa perusahaan yang ‘’cuma’’ pabrik semen butuh bahan peledak dan peledakan?

Taruh kata kerja sama dengan PT Sulenco menempatkan PT Conch menangani hulu sampai hilir, dari penambangan kapur hingga distribusi semen yang diproduksi, dan karenanya dalam operasinya membutuhkan bahan peledak dan peledakan, maka pertanyaannya: IUP Produksi mana yang akan mereka tambang?

Hello, Polda Sulut, adakah jawaban yang memuaskan dari sisi edukasi dan penegakan hukum terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bagai kucing mengejar ekornya sendiri itu? Atau haruskah kami, seluruh warga Mongondow, menebak-nebak dan menduga-duga saja ‘’bau tak sedap’’ yang sekarang mengotori atmosfir sosial-politik Bolmong memang berasal dari kongkalingkong dengan sumbu utama PT Conch?

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Handak: Bahan Peledak; Humas: Hubungan Masyarakat; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Jo: Juncto; Kabid: Kepala Bidang; Kombes: Komisaris Besar; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman Modal Asing; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pamong Praja; RI: Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.