Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, July 29, 2017

Polda Sulut Semestinya Pula Mentersangkakan Menteri Susi

DI PERAIRAN MINAHASA, Sulut, 15 kapal asing diledakkan. Terima kasih pada peradaban digital modern karena peristiwa yang terjadi Rabu, 20 Mei 2015, silam ini mudah ditemukan dan disimak lagi dari jagad Internet, salah satunya di situs sindonews.com (https://daerah.sindonews.com/read/1003427/193/15-kapal-asing-diledakkan-di-perairan-minahasa-1432133182).

Saya juga mesti berterima kasih pada seorang ‘’adik ‘’ yang berprofesi pewarta, Chendry Mokoginta, yang dengan baik hati mengirimkan tautan berita itu. Juga, atas ide yang terpantik karena celutukannya ihwal (catatan saya: kacamata kuda) Polda Sulut dalam menilai sebuah peristiwa yang melibatkan pejabat publik atau aparat pemerintahan yang sah: apakah dia penegakan kewenangan atau peristiwa pidana?

Ledak-meledakkan kapal (terutama asing) yang maraup ikan dari perairan Indonesia, terutama yang tak berizin, punya dokumen tapi abal-abal, dan keras kepala tetap menjalankan aksinya, sejak era Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla memang kerap jadi headline media massa, hingga internasional. Penggagas dan kemudian pengawal utama pelaksanaan ‘’eksekusi bakar kapal’’ ini adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Menteri Susi memang ‘’gile bener’’. Di awal-awal program’’tangkap dan bakar kapal ilegal’’ itu, dia tidak hanya dihujani pujian. Terang-terangan maupun di balik punggung dia dihujani caci-maki dan aneka ancaman. Termasuk segala siasat agar Menteri Susi dilengser dari jabatannya.

Kekayaan laut Indonesia yang melimpah dan lama dieksploitasi sesukanya, lengkap dengan segala backing dan konspirasi—uang, politik, kekuasaan, kewenangan, dan sebagainya—, telah membuat nyaman para pemainnya. Langkah Menteri Susi adalah gangguang yang bagai pedang menebas pohon pisang berbuah ranum, yang untunglah didukung penuh (setidaknya) oleh ‘’pengawal laut Indonesia’’: TNI AL.

Tanpa dukungan TNI AL, lengkap dengan kapal-kapal perang dan personil terlatih (tentu atas restu otoritas tertinggi di negeri ini), saya yakin kebijakan Menteri Susi yang sekolahnya cuma sampai SMP—tetapi khatam sebagai pengusaha perikanan, dan belakangan bisnis penerbangan, sukses—bakal sekadar macan ompong. Bisa apa KKP dengan kapal-kapal seadanya (umumnya bertonase dan kecepatan kecil) menghadapi luasnya wilayah laut Indonesia? Jika KKP dibiarkan sendirian di laut Indonesia menghadapi kapal-kapal asing yang lalu lalang, kementerian ini ibarat anak TK ditanding kepiawaian dengan kelas lulusan doktor.

Memangnya kapal asing dari macam-macam negara yang masuk mengaduk laut Indonesia cuma semodel perahu pelang, dengan teknologi baca bintang, kira-kira arah angin, dan duga-duga isi laut? Yang melindungi mereka hanya preman kampung bersenjata golok dan panah wayer? Dan uang yang terlibat dalam bisnis ini cuma senilai investasi warung kopi?

Buat mereka yang waras, Menteri Susi dan jajarannya harus didukung 1.000%. Dia tidak sekadar berupaya menyelamatkan kekayaan laut Indonesia. Pesan utama yang disampaikan kebijakannya ke dunia luas adalah: ‘’bangsa dan negeri ini punya harga diri. Bukan bangsa dan negeri yang bisa seenaknya dimasuki, diaduk-aduk, dan disedot. Anda boleh datang ke sini, bikin apa saja, tetapi pakai aturan dan cara yang benar.’’

Itu sebabnya, barangkali, Menteri Susi belum dijadikan tersangka melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP seperti yang ditimpakan Polda Sulut kepada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow. Atau, barangkali karena belum satupun pemilik kapal, terutama 15 kapal asing yang diledakkan di perairan Minahasa, Mei 2015 lalu, yang membersitkan di kepala melaporkan pengerusakan barang yang didalangi Menteri Susi ke Polda Sulut.

Demi keadilan dan kesetaraan di depan hukum, patut disarankan pada (minimal) pemilik 15 kapal yang diledakkan di perairan Minahasa itu, agar melaporkan mengalami tindak pidana ke Polda Sulut. Saya kok punya keyakinan, aparat Polda Sulut yang sangat pintar memahami KUHP—sembari meniadakan UU yang lain—bakal bersigegas mengurus kasusnya. Apalagi kalau ada kapal Cina di antara 15 kapal asing yang dikorbankan itu.

Terlebih pula bila masuknya kapal asing itu diimbuhi sebagai ‘’investasi asing’’, tak peduli legal maupun ilegal. Sudah mengantongi izin prinsip, tetapi belum mengurus izin-izin yang lain. Pokoknya bilang investasi asing, masuk, selebihnya: benar-salah, urusan belakangan. Kan ada polisi yang akan mengawal dengan saksama dan tegas perkara ini.

Dan apakah perlu ada aduan terlebih dahulu? Kelihatannya, dengan merujuk pada kutipan yang dipublikasi gemarakyat.id (http://www.gemarakyat.id/waduh-penetapan-tersangka-bupati-bolmong-kapolda-sulut-itu-arahan-langsung-presiden/), Jumat, 28 Juli 2017, polisi mestinya bertindak sebab peristiwanya bukan delik aduan. Kasusnya tidak beda dengan apa yang dilakukan Bupati Yasti di Bolmong terhadap PT Conch.

Saya tidak mengarang, karena situs itu—sebagai disclaimer: jika ini salah, maka yang keliru pasti gemarakyat.id—jelas menuliskan: Kapolda Sulut Irjen Pol Bambang Waskito sebelumnya sudah menegaskan, dalam pertemuan bersama presiden, ada arahan langsung terkait investor. Atas dasar itu, Waskito tak ragu bertindak tegas. Investor yang sudah masuk harus mendapat rasa aman dan nyaman. “Terkait pengrusakan PT Conch, sekalipun sudah ada kesepakatan damai, polisi akan memproses terus. Ini bukan delik aduan,” tegas Waskito.

O, demi rasa aman dan nyaman investor toh? Jika demikian, Pak Kapolda, izinkan dengan rendah hati saya bertanya: tahukah Bapak jika ada investasi (asing), PT MMP, yang sedianya mengoperasikan tambang pasir besi di Pulau Bangka, Minut, Sulut, yang seluruh duitnya terpaksa hangus ke laut karena gugatan beberapa orang? Yang oleh MA, berdasar putusan No. 255 K/TUN/2016, memerintahkan Kementerian ESDM untuk mencabut SK No. 3109 K/30/2014 tentang IUP Operasi Produksi PT MMP.

Di manakah logika dan fakta hukum ‘’rasa aman dan nyaman’’investor dalam kasus  PT MMP? Apakah putusan PTUN Jakarta yang kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan MA, yang membuat Menteri ESDM mencabut IUP Produksi PT MMP pada 23 Maret 2017, berarti tidak memberi ‘’rasa aman dan nyaman’’ dan melindungi investor?

Pak Kapolda yang terhormat, kapan kira-kira para penentang PT MMP, Ketua PTUN Jakarta, Ketua Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, Ketua MA, dan Menteri ESDM akan ditetapkan sebagai tersangka menghalang-halangi investasi di Sulut? Sebab jangankan aman dan nyaman, dengan tindakan seluruh orang itu, investasi mereka justru menguap dalam tempo yang sesingkat-siangkatnya. Demi konsistensi kerja profesional polisi, dan agar dijeratnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong dalam kasus PT Conch tidak dimaknai sekadar ‘’unjuk kekuatan dan wewenang’’ polisi —atau lebih buruk lagi karena ego pribadi beberapa petinggi Polda--, mohon Polda Sulut menerapkan standar, praktik, dan tindakan hukum yang tidak berstandar ganda.

Apalagi umum mudah menemukan rujukan-rujukan dan pembanding kinerja kepolisian; dan orang Mongondow—lebih khusus warga Kabupaten Bolmong—bukanlah komunitas kerbau dan pohon kedondong yang bakal diam saja dan cuma bisa melenguh atau doyong didorong angin. Kami tahu, kok, di mana benar dan salahnya PT Conch North Sulawesi Cement dan PT Sulenco Bohusami Cement; sedemikian pula benar dan salahnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong. Apalagi pengetahuan itu, untuk sementara, terkonfirmasi lewat temuan Pansus DPRD Bolmong sebagaimana yang dilansir tribunnews.com (http://manado.tribunnews.com/2017/07/29/pansus-dprd-bolmong-temui-banyak-kejanggalan-pt-conch), Sabtu, 29 Juli 2017.

Masyarakat yang kian tahu persis duduk-soal PT Conch pasti punya pendapat dan sikap sendiri yang tak bisa dihalangi aparat kepolisian sekalipun. Tentu Pak Kapolda tahu, bahwa di mana-mana di Bolmong mulai terpasang kain rentang yang meneriakkan, ‘’Bolmong harga mati, Yasti harga diri’’(totabuan.co, Jumat, 28 Juli 2017, http://totabuan.co/2017/07/warga-bolmong-sebar-spanduk-dukungan-untuk-bupati/). Saya kira pernyataan dalam kain rentang ini bukan ancaman, melainkan sikap warga Bolmong umumnya.

Jika sikap itu menjadi massif, bukan tak mungkin PT Conch (dan PT Sulenco) bakal bernasib sama seperti PT MMP. Bukankah selalu ada jalan melawan sesuatu yang tidak pada tempatnya, apalagi itu juga bengkok.

Kearifan Polda Sulut-lah, tentu dengan Kapolda sebagai pucuk tertingginya, yang akan memutuskan: menyelesaikan perkara PT Conch (dan PT Sulenco) dengan Pemda Bolmong dan jajarannya dengan keuntungan yang sama untuk dua pihak; atau dua pihak sama-sama tenggelam. Tiji tibeh. Orang Mongondow, saya yakin, tak bakal sudi sekadar omong kosong pengecut merentang kain lalu mengorbankan ‘’harga mati’’ dan ‘’harga dirinya’’.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AL: Angkatan Laut; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; ESDM: Energi dan Sumber Daya Mineral; Irjen: Inspektur Jenderal; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Jo: Juncto; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; KKP: Kementerian Kelautan dan Perikanan; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MA: Mahkamah Agung; MMP: Mikgro Metal Perdana; Pol: Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pomong Praja; PT: Perseroan Terbatas; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara;Satpol: Satuan Polisi; SMP: Sekolah  Menengah Pertam; Sulut: Sulawesi Utara; TK: Taman Kanak-kanak; TNI: Tentara Nasional Indonesia; TUN: Tata Usaha Negara; UU: Undang-undang; dan Wapres: Wakil Presiden.