Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 7, 2017

Senggol-menyenggol di Pasar Senggol

KENDATI akrab dengan tradisi Pasar Senggol yang digelar setiap pertengahan hingga penghujung Ramadhan di pusat kota Kotamobagu, saya harus mengakui: saya tak pernah merekam dengan cermat riwayat pesta ekonomi kaki lima ini. Lahir dan tumbuh di Kotamobagu—hingga hijrah saat remaja—, pasar jalanan ini saya akrabi sebagai sesuatu yang mesra dan diterima tanpa banyak pikir, sebagaimana seluk-beluk, lika-liku, dan pernak-pernik khas kehidupan kota ini  lainnya.

Sepengetahuan saya (semoga ingatan ini tidak melenceng), Pasar Senggol yang sebutannya kemudian diringkas menjadi ‘’Senggol’’ saja, bermula sekitar 23 tahun lampau dan diinisiasi oleh sekelompok orang (tepatnya kaum muda) di Kelurahan Gogagoman. Tokoh paling menonjol di antara para pionir arena transaksi ekonomi dadakan ini adalah Lendy Mokodompit atawa yang lebih populer sebagai Papa Eka.

Selama 22 tahun orang-orang dari Kelurahan Gogagoman (yang menjadi wilayah administratif hampir sebagian besar kompleks pertokoan dan pasar utama KK, 23 Maret) membesarkan dan merawat tradisi Senggol. Tak ada gesekan, apalagi tarik urat leher dan otot, yang mengguncang stabilitas ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan di KK karena Senggol.

Semua orang, pengelola, pedagang, dan konsumen, meraup untung, kegembiraan, dan kebahagian puasa dan Idul Fitri dari even ini. Segalanya baik-baik saja hingga dijelanglah Ramadhan 2016 lampau tatkala Pemkot KK mengambil alih, menyerahkan pelaksanaan dan pengelolaannya ke bawah naungan birokrasi lewat (kini) Disperindagkop-PM.

Senggol yang sediahnya meriah dan guyub—sekalipun dengan macet, bersesakan bagai sarden, dan mandi keringat—berubah menjadi rusuh tarik-menarik antara mereka yang bertahun-tahun merawat tradisi ini (juga mendapatkan macam-macam berkah, terutama distribusi keuntungan ekonomi) dengan aparat Pemkot KK dan pihak berwenang lain. Alih-alih menjadikan Senggol sebuah peristiwa ekonomi-sosial-budaya yang lebih tertata laksana, pengambil alihan oleh Pemkot KK sekadar parade kekuasaan. Pertontonan taji politik, sosial, dan keamanan; sekaligus sentralisasi distribusi ekonomi ke kas Pemkot.

Yang saya amati dari gelaran Senggol di Ramadhan 2016, dalam hampir segala hal, pengelolaan dan pelaksanaannya tak beda dengan yang dilakukan oleh orang-orang Gogagoman. Kalaupun ada upaya yang diklaim sebagai penataan, tampaknya dilaksanakan setengah hati belaka. Lagipula, sejak kapan aparat birokrasi pintar mengurus perdagangan, terlebih di tingkat kaki lima? Satu-satunya keahlian aparat Pemkot/Pemkab yang khatam saya mahfumi sejak zaman kuliah, berkaitan dengan para pelaku ekonomi jalanan, adalah kefasihan mereka dalam memburu, membubarkan, dan memporak-porandakan kaki lima.

Sepemahaman saya (atau demikianlah yang diceritakan beberapa pelakunya), setelah tarik-ulur habis-habisan, Senggol Ramdhan 2016 terselenggara dengan berbagai kompromi. Tak bisa dipungkiri, di bawah permukaan tentu bandul Senggol yang dirawat bertahun-tahun telah kehilangan keseimbangan. Pembagian fungsi dan tanggung jawab yang sebelumnya terstruktur alamiah di kalangan orang-orang Gogagoman, bubar tercerai-berai. Dan yang lebih penting lagi, distribusi keuntungan ekonomi di kalangan kebanyakan, yang kesehariannya (di luar Ramadhan) memang bergelut di lingkungan pasar, porak-poranda tak karuan.

Alhasil, Senggol di Ramadhan 2016 tetap padat dengan senggol-senggolan antara pedagang-konsumen, sesama konsumen, juga orang-orang Gogagoman dan aparat (lebih dari perangkat birokrasi Pemkot). Selebihnya, pusat kota KK tak lekan dari macet, panas, dan Senggol diakhiri dengan gunungan sampah yang mesti dipertanggungjawabkan oleh Dinas Kebersihan (jika tak keliru sekarang kebersihan kota menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup).

Lalu tibalah Ramdhan 2017. Senggol pun segera jadi mainstream isu di KK. Bahkan jauh hari sebelum wangi bulan puasa tercium, Pemkot lewat Disperindagkop-PM sudah pasang kuda-kuda dan persiapan menggelar peristiwa ‘’puncak’’ ekonomi-sosial-budaya lolak tahunan ini. Setidaknya demikianlah yang diwartakan totabuan.co, Senin, 17 April 2017 (http://totabuan.co/2017/04/pemkot-tetapkan-pasar-senggol-di-poyowa-kecil/). Menurut situs berita ini, mengutip Kadisperindagkop-PM, karena sudah disepakati (entah siapa yang duduk berembuk dan bersepakat), Walikota mengeluarkan SK yang memutuskan Senggol Ramadhan 2017 dilaksanakan di Lapangan Poyowa Kecil.

Alasan pemidahan Senggol dari wilayah Kelurahan Gogagoman ke Poyowa Kecil, menurut Bapak Kadis yang terhormat, demi mengurangi kemacetan saat Idul Fitri. Juga, tegasnya, ‘’Membuat keramaian jelang Idul Fitri tersebar di daerah lain, selain pusat kota.’’

Akan halnya pengelola, Pemkot tak akan ikut campur dan menyerahkan pada masyarakat dengan mengajukan permohonan. Siapa kelompok yang sudah menyampaikan minatnya? Per April 2017, saat totabuan.co mengunggah beritanya, yang memasukkan proposal baru dari kalangan pemuda Gogagoman. Tetapi, menurut Kadis, (karena dilaksanakan di wilayahnya) masyarakat Poyowa Kecil jelas akan dilibatkan pula.

Retorika Bapak Kadis sungguh meyakinkan. Pendek kata, pemindahan Senggol dipikirkan matang dari berbagai sudut dan aspek, yang muaranya adalah kemaslahatan seluruh masyarakat KK. Empat jempol—dua jempol tangan dan dua jempol kaki—untuk Pemkot, Walikota KK dan jajarannya, dan terkhusus Kadisperindagkop-PM.

Begitukah idealnya? Menurut saya kok tidak ya. Kebijakan pemindahan Senggol dengan alasan-alasan yang seolah cerdas dan komprehensif itu, justru menunjukkan rendah dan miskinnya mutu pikir, perencanaan, dan imajinasi aparat birokrasi Pemkot. Setidaknya ada tiga alasan sepele, tetapi fundamental.

Pertama, sebuah kota yang tertata, terencana, dan sehat, semestinya tidak mencampur-adukkan peruntukan wilayahnya. Karena itu ada yang namanya RTRW. Lapangan (sepakbola) Poyowa Kecil bukan—dan tidak pernah—diperuntukan sebagai pasar. Mengubah tempat bermain bola menjadi pasar, sekalipun bersifat temporer, jelas jalan pintas kejumudan dan impotensi pikir birokrasi Pemkot.

Kedua, sudah menjadi pengetahuan dan pemahaman umum bahwa pasar dan kompleks pertokoan—juga Senggol di setiap Ramadhan—di pusat kota KK adalah wilayah riuh dan macet. Tidak hanya di bulan puasa. Artinya, dengan memindahkan Senggol ke Poyowa Kecil, Pemkot KK tidaklah berikhtiar menyelesaikan keruwetan lalu lintas. Pemerintah kota ini hanya menambah satu lagi titik kemacetan yang bikin jengkel. Tak beda dengan menularkan kudis yang mulanya hanya ada di dahi ke bagian lain tubuh.

Dan ketiga, dimensi Senggol lebih dari sekadar urusan keramaian, ihwal kusut lalu lintas, atau ketertiban ekonomi. 23 tahun pelaksanaan hajat ekonomi ini telah membentuk ikatan sosial, budaya, dan sistem pengelolaan keamanan dan ketertibannya sendiri. Ketika dia dicerabut dari akarnya di wilayah Gogagoman, dipindahkan ke Poyowa Kecil, Pemkot sesungguhnya secara sadar sedang mendorong potensi perbenturan dua kompleksitas komunitas yang berbeda. Singkatnya: siapa yang bisa menjamin tak akan terjadi pergesekan di antara pemuda Gogagoman (yang secara historis memiliki ikatan kuat dengan Senggol) dengan pemuda dan masyarakat Poyowa Kecil.

Dari itu, saya pikir olok-olok yang diam-diam pertukarkan sebagai gosip di arena-arena pergunjingan, bahwa belakangan program Pemkot KK tak lebih dari ‘’kartas kado’’, barangkali benar adanya. Program seperti pemindahan Senggol, karena dibungkus dengan retorika berbunga dan canggih, tampak seolah-olah indah dan menggiurkan. Soal isinya ternyata sekadar kepayahan birokrasi yang bingung dan terkaing-kaing memuaskan ego Walikota dan jajaran elit Pemkot, kita semua harap maklum saja.

Bila yang berkuasa sudah punya mau, jangankan ditentang, sekadar disenggol sekalipun, urusannya bisa merepotkan hingga ubun-ubun. Terlebih jika para penguasa yang semau-maunya itu mudah ‘’baper’’ serta merasa paling mantap jiwa dan pikir sendiri.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Baper: Bawa Perasaan; Disperindagkop-PM: Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal; KK: Kota Kotamobagu; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; RTRW: Tata Ruang dan Tata Wilayah; dan SK: Surat Keputusan.