Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, June 6, 2017

Senewen Semen di Lolak

HANYA 15 hari sejak dilantik sebagai Bupati Bolmong 2017-2022 (bersama Wabup Yanny Ronny Tuuk), Yasti Soepredjo Mokoagow bikin gebrakan heboh. Senin, 5 Juni 2017, dia ‘’menggeruduk’’ kompleks (yang direncanakan menjadi) pabrik semen di Desa Solok, Lolak, menghentikan pekerjaan  kontruksi yang sedang dilakukan dan menyegel seluruh aktivitas yang berlangsung.

Selain membaca keriuhan penghentian pekerjaan konstruksi dan penyegelan aktivitas di kawasan yang digadang-gadang bakal menjadi pusat produksi semen di Sulut itu dari media online, telepon saya juga tak henti berdering. Kabar yang datang umumnya mewartakan—dengan detail yang menggetarkan—apa saja yang dilakukan Yasti dan perangkat Pemkab Bolmong yang menyertai dia. Tentu ada pula yang mempertanyakan keabasahan langkahnya, yang memang—harus diakui—cukup kontroversial.

Di tengah ghirah seluruh negeri mengatraksi investasi, kok ada Bupati, baru dilantik pula, dengan berani dan nekad menghentikan investasi yang—konon—dalam fase konstruksi saat ini (saja) sudah mengucurkan sekitar USD 250 juta dolar. Sebagai Bupati, Yasti bukan hanya melawan arus besar yang sedang mengalir di seantero Indonesia. Dia, boleh dikata, bagai membenturkan kepala ke ‘’sesuatu’’ yang kekerasan dan keliatannya tak diketahui benar.

Pabrik semen yang didirikan di Lolak itu selama ini memang serba samar dan remang-remang. Bahkan buat saya yang terus-menerus berada di lingkungan industri tambang selama lebih 25 tahun terakhir, dia masih ‘’sesuatu’’ yang penuh tanda tanya.

Di media saya membaca, yang membangun fasilitas produksi di Desa Solok adalah PT Conch North Sulawesi Cement. Menyebut Conch, mau tak mau kita harus menengok induknya, Anhui Conch Cement Company Ltd, perusahaan produsen dan penjual semen yang dimiliki pemerintah Provinsi Anhui, Cina, dan terdaftar di Bursa Saham Hongkong dan Shanghai. Lebih jauh lagi, kita bisa menelusuri dan mengetahui, Conch yang didirikan pada 1997 kini adalah salah satu raksasa semen dunia. Dari sebuah perusahaan skala provinsi, dengan cepat Conch menggurita hingga mendarat di Kabupaten Bolmong dan bersiap segera memproduksi dan menjual semen dari fasilitas produksi yang didirikan di Desa Solok.

Namun, jika telisikan itu kita lanjutkan, kehadiran Conch di Bolmong malah bikin bingung. Perusahaan ini menggenjot pembangunan fasilitas produksi, memaparkan namanya ke publik, tetapi dengan status yang abu-abu. Apakah dia pemilik WIUP mineral non logam di kawasan yang akan dikelola; sekaligus pemegang IUP Produksinya? Atau sekadar mitra dari perusahaan pemegang WIUP dan IUP Produksi? Dengan kata lain, Conch hanyalah operator produksi dari perusahaan lain yang memiliki hak legal terhadap WIUP dan IUP Produksi mineral non logam di Desa Solok.

Tampaknya demikianlah yang terjadi. Sebab di tengah keriuhan yang mendahului penghentian dan penyegelan aktivitas Conch oleh Bupati Bolmong, mencuat PT Sulenco Bohusami Cement. Semoga tak silap, bila semua informasi yang lalu-lalang diringkas, konklusinya adalah: Sulenco-lah pemilik WIUP, IUP Eksplorasi, dan IUP Produksi—inipun jika seluruh dokumen prinsip dan mustahak ini memang dikantongi. Sulenco inilah yang lalu mengandeng Conch menanamkan investasinya membangun fasilitas produksi dan mengeksploitasi mineral non logam di Desa Solok, yang hasil akhirnya adalah semen.

Teranglah, hak legal ada di tangan Sulenco dan Conch cuma operator penambangan, produksi, dan distribusinya.

Ihwal Sulenco dan mimpi pabrik semen di Lolak sejatinya sudah saya dengar sejak sekitar 20 tahun silam. Perusahaan ini dikononkan bakal membangun pabrik semen yang dengan takjub dan penuh harap ditunggu-tunggu, tetapi kemudian tak terdengar kabar beritanya, hingga tiba-tiba Conch—lengkap dengan para pekerja dari Cina yang membanjir masuk—hadir dan bersigegas membangun konstruksi masif untuk memproduksi semen.

Sungguh mengagetkan. Tak ada ‘’halo-halo’’ sosialisasi, kabar Amdal, dan tetek-bengek yang galibnya mengiringi kehadiran sebuah industri pertambangan. Masuknya Conch ke Lolak seperti sosok yang diam-diam menyelinap di malam hari. Serba senyap dan tiba-tiba mengagetkan ketika kita terjaga di pagi hari.

Sejatinya, di penghujung 2016, saya sesungguhnya pernah mendapat gambaran yang sedikit jelas dari seorang kawan yang ternyata berada di lingkaran manajemen Sulenco. Saya tidak pernah bertanya apa posisi dan tanggung jawabnya. Yang pasti kami beberapa kali bertemu (di Jakarta), bertukar cerita dan pengalaman, dan membahas proses perizinan eksplorasi dan eksploitasi mineral non logam untuk bahan baku semen. Pendeknya: yang dipercakapkan adalah perizinan pendirian pabrik dan produksi semen di Desa Solok, Lolak, Kabupaten Bolmong, yang ‘’katanya’’ masih terkatung-katung.

Sebab  yang dibicarakan adalah industri tambang (semen), di daerah kelahiran saya pula, saya sungguh antusias; bahkan menawarkan bantuan untuk melihat-lihat (jika dibolehkan) di mana letak masalahnya hingga perizinan yang sesungguhnya mudah menjadi serumit benang kusut. Tawaran ini ternyata ditindaklanjuti dengan mempertemukan saya dengan pemilik Sulenco. Sayangnya pertemuan ini hanya diisi percakapan setengah serius, diimbuhi janji menyediakan dokumen yang saya maksud, namun bersama waktu berakhir sebagai sekadar ‘’social courtesy’’ belaka. Tidak ada kabar berita, bahkan sekadar ‘’hai’’ atau ‘’halo’’. Amin dan wassalam.

Lalu di Juni 2017 ini Bupati Yasti unjuk gigi. Begitu mulai menjabat, dia langsung menelisik urusan Sulenco, Conch, dan gadang-gadang pabrik semen yang pengerjaan konstruksinya digenjot habis-habisan di Desa Solok. Dari pemberitaan dan percakapan yang mengiringi sepak-terjang Bupati, saya terlongo-longo mengetahui: Sulenco sebagai pemilik konsesi, nyatanya memang tidak memiliki kelengkapan dokumen yang semestinya dikantongi setiap perusahaan yang mengeksplorasi kemudian akan mengeksploitasi bahan tambang.  Dalam pertemuan dengan manajemen Sulenco pada Rabu, 31 Mei 2017, sebagaimana yang dinukil totabuan.co (http://totabuan.co/2017/05/bupati-bolmong-aktivitas-pt-conch-ditutup/), perusahaan tak mampu menunjukkan dokumen valid yang mendukung operasi bisnis pertambangan mereka. Jangankan IUP Eksploitasi, WIUP dan IUP Eksplorasinya pun tak jelas juntrungannya. Artinya, Sulenco (dan Conch) di Lolak sedang membangun fasilitas pertambangan ilegal. Liar. 100% melanggar hukum.

Status ilegal dan liar itu sesungguhnya memberikan hak hukum pada Bupati Bolmong untuk mengambil tindakan apapun yang menjadi kewenangannya. Menghentikan dan menyegel proses konstruksi yang dilakukan Conch, termasuk merubuhkan semua bangunan yang mereka bangun (sekalipun memiliki IMB), semestinya sangat masuk akal sesiapapun yang waras dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.

Mempersoalkan hal sepele seperti pembongkaran bangunan yang didirikan Conch, yang ternyata memiliki IBM, jelas menghina pikiran sehat. Bagaimana bila Bupati Bolmong menyerang balik, misalnya, dengan menjerat Sulenco dan Conch melakukan pengerusakan lingkungan karena aktivitas pembangunan masif ilegal di wilayahnya? Perkara melanggar UU Lingkungan ini, tentu semua pihak yang melek hukum tahu persis berapa besar ancaman hukumannya.

Suka atau tidak, jika semua pihak yang terseret urusan senewen pabrik semen di Lolak ini ingin menyelesaikan silang-selisih dan sengkarut yang sudah berbelit ini, langkah paling rasional yang harus diambil adalah: Conch mesti menghentikan seluruh aktivitasnya. Agar investasi yang sudah ditanamkan tak hanyut atau busuk dimakan panas dan hujan, Sulenco sebagai pihak yang mengklaim memiliki hak eksploitasi mineral non logam di Desa Solok, bersegeralah memproses perizinan yang wajib mereka kantongi.

Di zaman kini, dimana investasi adalah salah satu program utama pemerintah, mengurus perizinan (WIUP, IUP Eksplorasi, dan IUP Eksploitasi) bukan perkara sulit. Syaratnya: Sulenco harus berbisnis dengan penuh etika, tertata laksana, serta mematuhi norma dan hukum yang berlaku. Termasuk menyatakan dengan jelas dan terbuka siapa pihak yang memiliki hak hukum terhadap wilayah tambang mineral non logam dan eksploitasinya di Desa Solok; dan siapa yang hanya operator. Bila tidak, memaksa dilanjutkanya konstruksi kemudian operasi pabrik semen yang kini jadi akar masalah itu, tak beda dengan provokasi terbuka terhadap Bupati, Pemkab, dan seluruh rakyat Bolmong.

Pemaksaan, di era saat ini, apalagi karena investasi terlanjur yang sejak mula terang-benderang melanggar hukum, adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Cuma menimbulkan konflik tajam yang korbannya tak ingin saya pikirkan, bahkan sekadar lewat bayangan yang dilintaskan di benak.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Amdal: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; Bolmong: Bolaang Mongondow; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Ltd: Limited; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Sulut: Sulawesi Utara; USD: Dolar Amerika Serikat; UU: Undang-undang; Wabup: Wakil Bupati; dan WIUP: Wilayah Izin Usaha Pertambangan.