Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, April 4, 2015

Eyang: Dari ‘’Darling’’ ke ‘’Ayu Ting Ting’’

KISAH Lebai Malang menjadi salah satu cerita yang paling saya gemari di masa kanak.  Ayahlah yang memperkenalkan tokoh cerita rakyat Melayu dari Sumbar ini, yang konon—justru—pertama kali dibukukan di Perak, Malaysia, pada 1908.

Di awal 1970-an hanya ada empat jenis hiburan malam untuk anak SD: belajar, membaca buku pinjaman dari sekolah (yang judul dan jumlahnya terbatas), mendengar radio (hanya RRI), atau meminta dongengan pengantar tidur dari Ayah. Mongondow, terutama Jalan Amal, di tahun-tahun itu tidaklah semeriah kini, yang nyaris 24 jam tak henti berdenyut.

Jangankan anak-anak, orang dewasa saja agak jerih kelayapan selepas magrib. Penerangan yang serba terbatas, rumah-rumah yang masih jarang, ditambah bertaburannya kisah-kisah hantu, membuat nyali ciut melangkah keluar rumah. Bukankah lebih baik meringkuk di bawah selimut ketimbang digondol puntianak?

Di malam-malam seperti itulah Ayah menuturkan aneka cerita dan dongeng. Selain Lebai Malang, cerita lain yang saya suka tentang adalah kucing yang ahli menipu tikus. Tapi siapakah si Lebai (guru agama) yang malang ini? Versi yang diceritakan Ayah mengisahkan bagaimana si Lebai Malang bimbang apakah menghadiri ‘’baca doa’’ (kenduri, selamatan) di hilir yang menyembelih dua ekor ayam atau ke hulu yang memotong tiga ekor.

Mula-mula Lebai Malang mendayung perahunya ke hilir, tetapi kemudian berubah pikiran lalu menghulu. Setelah menimbang-nimbang lagi, dia memutuskan balik arah ke hilir, tetapi setelah membayangkan tiga ekor ayam, dia putar haluan ke hulu. Ketika sudah menetapkan pilihan, begitu tiba, kenduri di hulu sudah selesai. Maka bergegaslah Lebai Malang kita ini ke hilir hanya untuk menemukan tuan rumah dan undangan juga sudah bubar.

Nasib Lebai Malang  segera terpampang di benak saya saat menerima capture berita Eyang Kans Gantikan Tatong di Harian Sindo Manado, Selasa, 31 Maret 2015. Sesungguhnya berita dengan sumber utama mantan anggota DPRD Boltim dari PAN, Marsaole Mamonto, ini tidaklah istimewa. Cuma semacam kampanye bahwa Bupati Boltim, Sehan Landjar, berpeluang menggantikan Tatong Bara sebagai Ketua DPW PAN Sulut.

Analisis yang digunakan pun standar belaka. Bahwa—salah satunya—karena kekalahan kubu Hatta Rajasa yang didukung DPW Sulut di Kongres IV PAN di Bali beberapa waktu lalu, maka peluang ‘’kubu Tatong’’ di Muswil mendatang juga menyurut. Dengan konstelasi demikian, menurut hemat Marsaole, Eyang punya peluang tampil memimpin PAN Sulut.

Saya tidak tahu dari mana para politikus di Boltim belajar politik, terlebih berkenaan dengan dukung-mendukung terhadap Eyang. Yang jelas, mereka masuk ke kelas yang salah. Alih-alih belajar politik, tampaknya mereka justru masyuk dengan masak-memasak dan goreng-menggoreng saja. Strategi dan taktik politik hasil ‘’kuliah’’ masak dan goreng tentu cuma tempe dan tahu garing, maksimal goroho tore.

Apa Marsaole tidak belajar dari maraknya dukungan agar Eyang memimpin DPC PDIP Boltim beberapa waktu lalu, yang ternyata sekadar pepesan kosong dan harapan palsu? Tidakkah sedikit saja terlintas di langit pikiran sekelas mantan anggota DPRD seperti Marsaole, bahwa untuk menjadi Ketua DPW seseorang mesti punya rekam-jejak, bukan sekadar karena dia politikus yang kebetulan seorang Bupati populer?

Untunglah saya tidak melihat ada komentar dari Eyang menanggapi ihwal dukungan menjadi Ketua DPW PAN Sulut itu—sebagaimana ‘’jika diberikan maka akan disambut dengan tangan kanan’’ seperti yang dia sampaikan di isu Ketua DPC PDIP Boltim. Sebab jika ada, maka menurut hemat saya, Eyang akan terperosok kedua kalinya ke lobang yang sama. Padahal, keledai yang katanya salah satu jenis mahluk terbodoh di dunia, berdasar riset terkini, ternyata tidak pernah terperosok ke lobang yang sama. Keledai punya ingatan sangat kuat untuk berhati-hati di tempat di mana dia pernah terkena celaka.

Tapi, langkah politik Eyang memang mengherankan. Dalam soal Parpol, Rabu (21 Januari 2015) saya sudah menuliskan ‘’kegenitannya’’ bertualang dari satu partai ke partai lain (Satu Bupati, Lima Parpol). Kalau tindakan politiknya itu bertujuan popularitas: Apalagi yang kau cari Eyang? Jika berkenaan dengan Pilkada Boltim 2015, bukankah umum sudah tahu Hanura siap mengusung dia—dan secara terbuka juga berulang kali disampaikan pengurus partai ini.

Petualangan Eyang mengincar kursi Ketua DPC PDIP Boltim beberapa beberapa waktu lalu, dari strategi dan taktik politik sebenarnya merugikan dia. Tindakan itu, di satu sisi dapat dimaknai sebagai safety net politik, tetapi disisi lain juga bentuk pengecilan dan ketidakpercayaan terhadap Hanura. Apalagi kemudian dia gagal meraih kursi Ketua DPC PDIP Boltim yang mulanya ‘’tampak’’ disodorkan untuk disambut dengan tangan kanannya.

Saya memahami bahwa hanya segelintir orang yang memaknai dengan tepat salah langkah Eyang dan pendukungnya dalam soal suksesi PDIP Boltim. Barangkali mereka gagal menyadari, kejadian itu menjadi bukti sangat kuat bahwa Eyang sedang berada di titik balik karir politiknya.

Empat tahun lampau, ketika terpilih menjadi Bupati, Eyang yang memang punya keterampilan ‘’olah kata’’ dan daya pukau publik, sontak menjadi ‘’darling’’. Seingat saya, Parpol berebutan meminang dia menjadi kader dan pengurus. Bahkan, partai sekelas Golkar, konon—sebab saya tidak melihat langsung dan mendapat info dari tangan pertama—tak segan memboyong Ketua dan pengurus DPD I-nya menemui Eyang dan menawarkan dia bergabung.

Bila waktu itu Eyang bersikukuh menjadi ‘’Bupati rakyat’’ dan percaya pada independensi politiknya, mengapa sekarang dia seperti berada di situasi ‘’panik politik’’, setidaknya yang ditunjukkan oleh ide-ide tak masuk akal para pendukungnya. Termasuk dengan mengumpulkan KTP sebagai back up di Pilkada mendatang, kalau-kalau tak ada Parpol yang mencalonkan dia. Adalah ironi tak terperih jika Bupati populer yang ‘’katanya’’ piawai politik dan didukung rakyat, akhirnya harus maju sebagai incumbent di jalur independen.

Saya menguatirkan, jalur independen ini menjadi satu-satunya peluang, apalagi jika Eyang terprovokasi—celakanya, dia memang mudah terprovokasi—iming-iming Ketua DPW PAN Sulut dari segelintir pendukungnya. Memangnya PAN mau diremehkan? Masak setelah PDIP tidak meloloskan Eyang bahkan sekadar calon Ketua DPC, lalu PAN dengan suka rela menyediakan diri menjadi ban cadangan. Di posisi yang lebih tinggi pula.

Terang sudah, ide Marsaole Mamonto mencetuskan nama Eyang berpeluang menggantikan Tatong Bara tak beda dengan racauan. Bahkan, kalau ditafsirkan lebih jauh, Marsaole seperti mengumumkan: Eyang kini adalah ronin politik. Jika dulu, empat tahun lalu, dia adalah ‘’darling’’, maka hari-hari ini Eyang tak beda dengan Ayu Ting Ting yang kemana-mana bingung mencari ‘’alamat politik’’.

Dan saya pun sedih membayangkan ketersesatan itu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Parpol: Partai Politik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; RRI: Radio Republik Indonesia; SD: Sekolah Dasar; Sulut: Sulawesi Utara; dan Sumbar: Sumatera Barat.