Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, April 16, 2015

Harga ‘’Murahan’’ Silang Selisih Eyang dan Duo Mat-Matt

TELEPON yang saya terima, satu hari pada 2010 lampau, tetap segar dalam ingatan. Yang mengontak adalah Ahmad Alheid, kini PNS di Pemkab Boltim, yang bertahun akrab dengan saya—dari masa menjadi pewarta hingga pindah ke dunia korporasi—yang rumah orangtuanya selalu menjadi tempat menginap tiap kali saya berkeliaran hingga Tombolikat.

Setelah bertukar sapa dan tawa, Mat—demikian saya menyapa dia—menanyakan kapan saya (yang saat itu masih bekerja di NPN) punya rencana perjalanan ke Boltim. Dia tahu saya rutin mengunjungi area PT NMR yang sudah memasuki fase akhir penutupan operasi tambang. Juga, beberapa hari sebelumnya, selintas saya menginformasikan dalam waktu dekat ingin ke Boltim bertemu dengan Sehan Mokoagow.

Niatan mengontak dan bertemu Sehan Mokoagow sederhana belaka. Pertama, tetap menjaga tali silahturrahim. Kedua, mengingatkan dia, yang diusung PG sebagai Cabup Boltim 2010-2015, agar mengubah model dan pendekatan kampanyenya yang terlampau percaya diri. Walau, hasil sigi berbagai lembaga memang menempatkan tingkat keterpilihannya di atas 80%.

Pembaca, tanpa menjelaskan konteks, tentu Anda akan menganggap saya gila urusan karena cawe-cawe di Pilkada Boltim. Telepon berulang kali ke Sehan Mokoagow, yang tentu karena kesibukannya tak pernah tersambung, serta upaya bertemu, saya lakukan karena beberapa waktu sebelumnya kami sempat mendiskusikan peluang emasnya menduduki kursi Bupati Boltim 2010-2015.

Realitas politik waktu itu sepenuhnya berpihak pada Sehan Mokoagow. Dia diusung partai besar, berstatus sebagai Wabup Bolmong (induk), berasal dari Boltim, dengan keluarga besar yang tersebar merata dari perbatasan dengan Kabupaten Mitra, Kota Kotamobagu, dan Kabupaten Bolsel. Kelemahannya cuma satu: Saking percaya dirinya, Sehan Mokoagow bahkan yakin andai dipasangkan dengan tiang listrik, dia tetap terpilih sebagai Bupati.

Barangkali dengan bercakap-cakap lewat telepon atau bertemu langsung, saya bisa mengingatkan Sehan Mokoagow bahwa dengan tetap bersahaja dan merendahkan hati, peluang emas kursi Bupati Boltim lebih mudah diraih. Sayangnya, saat itu—di tengah gempita menuju Pilkada—rupanya sungguh sulit bertemu dengan tokoh politik sepenting dia.

Mudah-mudahan ingatan saya tak silap, di tengah sulitnya komunikasi dengan Sehan Mokoagow, saya menerima telepon dari Mat Alheid itu, yang mempromosikan kandidat Bupati pesaing Sehan Mokoagow, yaitu Sehan Landjar yang berpasangan dengan Medi Lensun sebagai Cawabup. Namun Mat tidak meminta dukungan. Dia hanya memohon izin menghubungi kawan-kawan, kerabat, tokoh-tokoh berpengaruh, dan kontak-kontak yang saya jalin cukup lama, untuk memperkenalkan Sehan Landjar.

Mat tentu tidak lupa ‘’kecap politik’’ yang dia guyurkan di kuping saya. Bahwa Sehan Landjar adalah tokoh idealis, sederhana, mumpuni, dan kredibel, yang apabila terpilih sebagai Bupati, bakal membawa Boltim sukses hingga langit ketujuh. Mat bahkan dengan rinci menggambarkan kecerdasan politik, kemampunian kepemimpinan, kedasyatan orasi, dan kerendahan hati Sehan Landjar yang melampaui tunduknya pohon tomat sarat buah.

‘’Kecap Ahmad Alheid’’ yang sungguh memukau saya beli dengan meng-iya-kan permohonan izinnya.

Saya tidak tahu seberapa efektif Mat mengolah ‘’kecapnya’’. Yang jelas, beberapa kawan, kerabat, tokoh, dan kontak-kontak saya di Boltim menghubungi dan menceritakan banyak hal luar biasa tentang Eyang. Begitu luar biasanya hingga dua-tiga pekan sebelum Pilkada dilaksanakan, saya sudah berkeyakinan Boltim akan dipimpin duet Sehan Landjar-Medi Lensung. Dan nyatanya demikian yang terjadi.

Belakangan, saya sangat akrab dengan Eyang dan Medi. Bahkan dengan Eyang, hingga tulisan ini dibuat, saya tak segan menyatakan kedekatan kami bagai dua saudara—sekali pun dia barangkali tidak merasa demikian. Akan halnya Mat Alheid dan teman-teman yang lain (termasuk Ahmad Ishak—yang lebih dikenal dengan nama populernya, Matt Jabrik),  setahu saya tetap berhubungan dengan Eyang. Tentu relasi mereka kadang pasang-surut dan jauh-dekat, tetapi pasti baik-baik saja karena tidak pernah ada hal negatif tentang Eyang yang mereka sampaikan.

Kalau hubungan antara orang-orang seperti Ahmad Alheid atau Matt Jabrik yang relatif independen dan agak ‘’pemberontak’ dengan Eyang berlangsung tanpa dinamika, saya justru tak percaya mereka baik-baik saja. Itu sebabnya, saya hanya menanggapi sambil lalu ketika seorang kawan mengirimkan rekaman suara Bupati Boltim yang dengan meledak-ledak mencaci Mat Alhaeid dan Matt Jabrik sebagai: “Orang Boltim murahan itu. Saya tahu orangnya, orang kampung goblok, sok pintar.” Saya juga hanya tertawa karena pernyataan Eyang di depan sejumlah wartawan ini, diimbuhi ‘’ancaman’’ meninju duo Mat dan Matt.

Di benak saya, apa yang disampaikan Eyang itu sekadar akting. Dengan mengenal dekat Eyang, kerap sulit buat saya membedakan kapan dia tampil sebagai politikus atau aktor yang piawai memainkan benak publik dengan keterampilan aktingnya.

Ternyata saya salah, karena Ahmad Alheid kemudian menanggapi tudingan berapi-api Eyang dengan ‘’gugatan’’ yang dipublikasi Harian Radar Bolmong, Kamis, 16 April 2015, dengan tajuk Surat Terbuka untuk Sehan Landjar. Saya menangkap kemarahan yang mengelegak dalam tulisan ini. Mat Alheid bahkan lebih dari sekadar marah. Dia sedang murka. Barangkali hal yang sama juga melanda Matt Jabrik, yang saya yakin dengan cepat menjalar ke sejumlah orang di sekitar mereka, lalu berganda menjadi bola salju, mengingat keduanya bukanlah sekadar anggota masyarakat biasa.

Mat Alheid adalah mantan Ketua IMM Sulut, jurnalis, dan politikus PAN. Sedang Matt Jabrik adalah jurnalis yang secara informal ditokohkan oleh kalangan pewarta generasi kini di Bolmong. Politikus seperti Eyang, yang masih berkeinginan menduduki kursi Bupati untuk periode kedua, semestinya menghindar sejauh mungkin bersilang-selisih dengan orang-orang seperti duo Mat dan Matt. Kecuali dia sejenis politikus kapiran yang memang bersuka rela membakar investasi sosial-politiknya.

Apa dikata, sekali lagi Eyang terpeleset dan kali ini bukan sekadar kulit pisang. Dia terjerembab pada sejenis zat lengket yang beracun, menyebar bagai virus, dan mudah terbakar. Tuduhannya terhadap Mat Alheid dan Matt Jabrik yang tampaknya berasal dari sumber ‘’asbun’’ dan meletus karena provokasi para pewarta, kian memperbanyak ‘’tabungan kelemahan’’ yang tak henti dia produksi.

Sekalipun begitu, saya berharap dalam urusan Mat dan Matt ini, Eyang tidak sekadar ‘’sesumbar’’. Sebagai tokoh publik, seorang Bupati—saya selalu senang mendengar penegasannya, serius atau sekadar gurauan, ‘’Babagini, Bupati ini!’’—yang kata-katanya adalah harga diri, dia harus menjawab gugatan Mat Alheid.

Eyang harus mampu menunjukkan dan membeberkan bukti-bukti bahwa duo terduga itu memang menjadi sumber dan penyebar rumor Bupati sudah menukar tapal batas Boltim-Mitra dengan iming-iming jabatan Ketua DPC PDIP (yang ternyata juga sekadar ‘’pemberian harapan palsu’’). Setelah itu, Eyang harus meninju duo Mat dan Matt, sebagaimana pernyataan yang dia lontarkan dan direkam oleh para pewarta.

Jika Bupati Boltim tidak mampu menunjukkan dan membeberkan bukti-bukti yang sudah dituntut Ahmad Alheid lewat surat terbukanya; tentu alasan meninju Mat dan Matt dengan sendirinya gugur. Konsekwensinya, sebagai laki-laki (frasa ini juga sering dilontarkan Eyang), dia mesti meminta maaf secara terbuka. Bukankah sungguh memalukan bila urusan ini didiamkan begitu saja, sementara publik terbahak-bahak sembari menuding dia sekadar Bupati yang tukang fitnah. Sama dengan lelucon ‘’tambio politik’’ yang sejak awal pekan ini beredar bersama foto Eyang tengah bersalaman dengan Ketua Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo.

Sikap saya sendiri? Dengan kerendahan hati sebagai orang yang tak sungkan mengumumkan kedekatan dengan Eyang pada orang banyak, saya menyarankan sesegera mungkin dia meminta maaf—jika perlu dengan rangkulan dan cipika-cipiki di depan para pewarta—pada Mat dan Matt. Rumor yang membuat Eyang ‘’terlepas mulut’’ itu tidaklah berasal dari dua terduga ini, sebab saya tahu persis dari mana dan siapa yang jadi muasalnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Asbun: Asal Bunyi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; IMM: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah; Mitra: Minahasa Tenggara; NMR: Newmont Minahasa Raya; NPN: Newmont Pasific Nusantara; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Perindo: Persatuan Indonesia; PG: Partai Golkar; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Perseroan Terbatas; dan Wabup: Wakil Bupati.