Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 9, 2015

Harkat Mongondow dan Ketersinggungan Umum

KEHADIRAN mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan di tayangan Dasyat di RCTI, Minggu (8 Maret 2015), memicu kontroversi yang memanaskan—terutama—media sosial di Bolmong. Keriuhan ini amat pantas, mengingat musababnya tidaklah sesepele pernyataan ‘’Akper Totabuan di Manado’’ yang dijadikan identitas rombongan ini di acara tersebut. Ada persoalan fundamental, kepantasan pendidikan dan adab sosial, yang sesungguhnya belum dijamah umum yang masih terfokus pada yang artifisial dan tampak.

Hujatan terlanjur berhamburan dan bersiliweran, termasuk meme sarkas yang mengejek pengingkaran identitas wilayah asal Akper Totabuan, yang memang bukan di Manado, melainkan berkampus di Kotamobagu. Kalau pun ada yang bertendensi membela, misalnya dengan kilahan—yang saya terima dalam bentuk capture status BBM—90% orang Mongondow lebih pede mengaku ‘’orang Manado’’ di luar daerah asalnya, serta-merta terlindas ketidaksukaan umum yang sudah terlanjur mewabah.

Lagi pula, apa dasar menyatakan 90% orang Mongondow lebih bangga mengaku ‘’orang Manado’’ itu? Apakah ada penelitian, survei, atau telaah ilmiah yang telah dilakukan? Ataukah itu juga semacam alasan yang dibuat-buat oleh mereka yang memang mengidap minderwaardigheidscomplex?

Pengelakan lain, juga dari broadcast BBM yang mampir di telepon selular saya, bahwa kejadian ‘’Akper Totabuan di Manado’’ adalah ketidaksengajaan semata. Keterpelesetan orang gugup yang demam panggung karena tak biasa disorot gemerlap lampu dan kamera. Baiklah. Tapi bagaimana kalau justru ‘’Manado’’—bukan Mongondow atau Bolmong—yang memang dihidupkan di alam bawah sadar sang penggugup yang gegar publik itu?

Mayoritas orang Mongondow yang terpicu ‘’harkat daerah dan etnisitasnya’’, yang kini bereaksi keras, pasti akan sependapat dengan deretan kontra-alasan yang saya sampaikan itu. Segelintir lainnya, mereka yang cenderung netral-pro atau justru pro dan menerima bahwa peristiwa di tayangan Dasyat itu adalah semata keterpelesetan, patut diduga bakal menuduh saya cuma mencari-cari celah agar mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan itu absah sebagai ‘’tersangka sosial’’.

Tetapi perkara sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Tonte’ek, bully, dan meme yang mengiringi peristiwa memalukan akibat pernyataan menyaru-nyarukan Akper Totabuan seolah ada di Manado, setidaknya dapat ditelisik dari dua cara pandang.

Pertama, peristiwa terjadi di ruang dan menjadi konsumsi publik (bagi yang kurang paham, harap diingat frekwensi yang digunakan RCTI untuk menyiarkan tayangannya adalah milik publik). Dengan demikian tidak ada yang salah dari reaksi yang diekspresikan umum berkenaan dengan peristiwa yang bersifat publik. Jadi, meminjam nasehat orang tua dan para bijak, tarima-ai don sin mo-iko bi’ in notayak kon parkara. Bahkan bila orang banyak di Bolmong menuntut permintaan maaf dari Akper Totabuan sebagai institusi, menurut hemat saya, bukanlah hal yang mengada-ada.

Dan kedua, sejatinya mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan berada di Jakarta dalam rangka praktek—apa bentuk prakteknya, entahlah, sebab hanya sebegitu informasi yang di-forward ke saya. Apakah demikian adanya, saya tak repot-repot memastikan akurasinya. Sebab sekali pun Bolmong adalah wilayah kaya SDA dengan masyarakat yang relatif makmur, saya kira para orangtua mahasiswa-mahasiswi akan berpikir panjang membiaya putra-putri mereka dari Kotamobagu ke Jakarta sekadar cengegesan hampir 60 menit di layar televisi.

Yang jadi soal adalah, apakah mereka mejeng di tayangan Dasyat sebelum atau setelah pelaksanaan praktek? Kalau sebelum praktek, keterlaluan betul pendidikan yang dijalankan di Akper Totabuan. Sebaliknya, bila setelah praktek, kacang polong betul cara berpikir mahasiswa-mahasiswi itu. Tidakkah mengunjungi museum, Perpustakan Nasional, atau RS dengan standar keperawatan kelas dunia lebih penting daripada bergaya artis kapiran di tayangan yang faedah pendidikannya barangkali ada di urutan 1.000?

Terpeleset—atau sengaja mengaburkan indentitas—hingga menjadi cemoohan, masih dapat dimaafkan. Orang muda mana sih yang bebas dari khilaf dan kebodohan memalukan. Tapi lain soal dengan perilaku ‘’makang puji’’ dan gaya-gayaan torang maso tivi yang bakal disombongkan di tengah komunitasnya di Mongondow.

Karenanya, adalah hal wajar bila orang banyak bersyak, kehadiran mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan di studio RCTI dan tampil di tayangan Dasyat bukanlah kebetulan belaka—memangnya setiap orang bisa dengan mudah mampir ke stasiun televisi dan didaulat masuk kamera? Kebenaran prasangka ini tentu mesti diuji seadil-adilnya. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bersetuju dengan komentar –yang juga saya baca dari capture BBM—salah seorang anggota DPRD Sulut asal Bolmong, bahwa: apa yang mereka pertontonkan memang menjijikkan!

Menjijikkan sebab mereka dapat menjadi representasi menakar kualitas generasi kini di Bolmong. Tatkala mahasiswa-mahasiswi PT dan akademi lain di negeri ini eksis di berbagai kompetisi asah otak dan kualitas—yang juga kita tonton dalam bentuk talk show lebih bernas—, Akper Totabuan bersukarela diperolok dengan mie instant 10 bungkus. Saya kira hanya mahasiswa-mahasiswi dungu yang rela melahap 10 bungkus mie instant atas nama kampusnya. Dan jelas rombongan sirkus itu hadir sebagai Akper Totabuan. Bukan pribadi-pribadi yang memang gila publisitas.

Dengan menelisik lebih cermat, dingin, dan komprehensif, kita tiba pada simpulan: orang-orang Mongondow pantas jengkel—bahkan malu—dengan ulah mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan. Bagi yang membela mereka, terutama dengan alasan yang bertumpu pada kekhilafan semata, harap diingat: bukan soal mereka mengaku dari mana dan kampusnya terletak di wilayah apa. Substansi kemarahan publik Mongondow pada akhirnya akan bermuara pada perilaku bodoh orang makang puji yang gila ngetop.

Jika belum paham juga, mari saya sederhanakan seluruh lelucon ‘’Akper Totabuan di Manado’’ ini lewat pengandaian: mahasiswa-mahasiswi itu mengembang tanggung jawab melakukan sesuatu ke Dumoga. Ternyata mereka justru mengalami kecelakaan di Modayag. Sudah nahas, mereka pun tidak mengaku mahasiswa, melainkan menyaru intel polisi. Gile bener!

Kedunguan yang tampaknya mulai bertumpuk-tumpuk, terutama berkaitan dengan kilahan dan pembelaan segelintir orang terhadap laku mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan itu, pada akhirnya cuma pantas mengundang iba. Barangkali tepat adanya potongan komentar terbaru tokoh Inde’ di Kartun Mongondow (http://kartunmongondow.blogspot.fr), bahwa,  ‘’Di situ kadang Inde’ merasa sedih.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Akper: Akademi Perawat; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; PT: Perguruan Tinggi; RCTI: Rajawali Citra Televisi Indonesia; dan RS: Rumah Sakit.