Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, January 21, 2015

Satu Bupati, Lima Parpol

DUA tulisan saya (Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim dan Kekuasan yang Serakah, Seorang Bocah, dan ‘’Lollipop’’) mengundang aneka tanggapan. Beberapa di antaranya dari elit dan tokoh publik di Mongondow yang kandungannya kurang lebih senada: ‘’Kiapa bagitu pe marah pa Bupati Boltim? So nyanda batamang deng Eyang dang? ’’

Agar tak jadi spekulasi dan akhirnya fitnah, secara terbuka—bukankah Bupati Boltim juga orang yang sangat transparan dan blak-blakkan?—saya perlu menjelaskan: Pertama, penjegalan Ramadan Mamange yang terpilih dengan fair sebagai salah seorang komisioner Panwaslu Boltim tidak hanya membuat saya marah. Banyak orang yang diam-diam ngerundel, bahkan mencaci, kebijakan itu. Bedanya, saya menyampaikan gugatan dan celaan secara terbuka, sekaligus bentuk peduli dan sayang saya ke Bupati Sehan Landjar.

Saya tahu persis, walau ada argumentasi tak terbantahkan bahwa terpilihnya Ramadan adalah hak yang harus dihormati, dengan ego ‘’maha tahu’’ dan ‘’politisi hebat’’-nya, Bupati Boltim pasti tidak akan menarik surat pembatalan izin yang sudah dikirim. Tapi, setidaknya dengan menuliskan tanpa tedeng aling, saya menunaikan kewajiban sebagai kawan dalam pahit dan manis dengan Eyang.

Dan kedua, Sehan Landjar tetap kawan yang saya hormati dan sayangi, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Bahkan kalau pun karena perbedaan pendapat dan sikap kemudian dia mencoret saya dari daftar sahabat, tidak akan mengurangi atau menambah pandangan saya terhadap dia. Tidak pula mengurangi kepercayaan saya, terutama dalam soal politik—termasuk saat menyongsong Pilkada Boltim menjelang akhir 2015 ini—bahwa dia tetap politikus kuat. Dengan manajemen perilaku dan omongan yang tertata, seharusnya Eyang melenggang mudah di pencalonan periode keduanya.

Masalahnya, selain kesenangan bicara yang kerap berlebihan (untuk mempersopan ‘’exaggerating’’ dan ‘’bluffing’’), Eyang punya kedoyanan menciptakan ‘’musuh politik’’ lewat berbagai manuver membingungkan. Cukup lama saya mencermati zig-zag politik Eyang dengan menduga-duga bahwa dia adalah ahli strategi jenius yang hanya mampu dipahami segelintir orang. Bahwa dia sedang memainkan langkah kuda yang baru diakui setelah diuji oleh waktu dan fakta.

Belakangan, dengan memohon maaf sebesar-besarnya pada Eyang, saya ternyata salah. Berbagai manuver itu justru menunjukkan Eyang sama sekali tidak punya strategi. Dia sekadar politikus impulsif yang ‘’kebetulan’’ dikarunia kemampuan oral yang baik. Selebihnya, apa yang dia lakukan adalah kreativitas yang jauh dari matang. Sebagai politikus, praktek politiknya adalah gambaran yang sangat pas dari pernyataan Groucho Marx (1890-1977), ‘’Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies.’’

Mari kita cermati laku politik Eyang sejak dia terpilih sebagai Bupati Boltim, empat tahun lampau. Sebelum mencalonkan diri di Pilkada Boltim 2010, dia adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Gorontalo dari PBR, yang di Pemilu 2009 tak terpilih lagi sebagai legislator. Sewaktu diusung PBR, PKB, PDS, dan Partai Republikan sebagai calon Bupati, saya sempat bertanya pada beberapa kawan, ‘’Kalau dia politikus hebat, mengapa Eyang tidak terpilih lagi di DPRD Kabupaten Gorontalo? Apa karena rakyat Gorontalo tidak pandai mengapresiasi seorang politikus berkualitas; atau sebab mereka justru kapok terhadap ‘sesuatu’?’’

Eyang dan pasangannya, Medy Lensun, terpilih sebagai Bupati-Wabup Boltim 2010-2015. Di saat yang sama, konsolidasi politik nasional mendorong PBR yang gagal mencapai ambang batas parlemen bergabung dengan PAN. Eyang yang berlatar PBR dan—sejak terpilih sebagai Bupati—cukup dekat dengan elit-elit PAN Sulut, mendapatkan panggung yang lebih luas. Sepengetahuan saya, dia bahkan ditunjuk menjadi Koordinator PAN Sulut dan Gorontalo.

Bulan madu Eyang dan PAN tak berlangsung lama. Saya tidak tahu persis apa penyebab kiprahnya di PAN menyurut. Yang jelas, tak lama kemudian saya terlongo-longo karena ditunjukkan foto Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, sedang menyematkan jaket partai ini ke Eyang. Apakah peristiwa itu sekadar strategi, karena di saat yang sama PKB adalah ‘’partai jangkar’’ pencalonan kakaknya, Muhamad Salim Landjar,di Pilwako KK 2013?

Yang jelas, di mana-mana Eyang selalu mengatakan bahwa dia adalah Bupati yang independen dari Parpol. Fokusnya adalah kepentingan pemerintahan dan masyarakat Boltim. Alasan ini pula yang kerap diutarakan, kendati menjelang Pemilu 2014 masyarakat melihat dia nyaris identik dengan Hanura, terlebih karena istrinya, Nursiwin Dunggio, adalah Ketua Dewan Penasihat partai ini di Boltim. Begitu ‘’lengketnya’’ Eyang dengan Hanura, dia bahkan tidak segan secara terbuka menyerang Ketua PAN (kini Ketua DPRD) Boltim, Sam Sachrul Mamonto, yang dianggap menjadi pesaing kuat ‘’jagoannya’’, (mantan) Ketua Hanura Boltim, Chandra Modeong.

Di masa kampanye Pemilu 2014 saya bahkan sempat dikisiki perihal serangan Eyang terhadap Sachrul yang dianggap keterlaluan. Konon, dia sampai mengatakan Ketua PAN Boltim ini tidak akan duduk di DPRD, tapi ‘’mo dudu di pece.’’ Terhadap rumor dan ‘’katanya’’ ini, saya cuma mesem-mesem dan menganggap sebagai bumbu politik yang sedang pasang naik. Lagipula, di depan umum hubungan Eyang-Sachrul tampak baik-baik saja.

Sama dengan kisah pidato Eyang di kunjungan anggota DPRD Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, ke Boltim pada Kamis, 15 Januari 2015, lalu. Kata cerita yang disampaikan ke saya, di hadapan para legislator itu Eyang menyampaikan dia berhasil mendudukkan Sachrul sebagai Ketua DPRD Boltim. Cerita ini cuma saya tanggapi dengan tawa. Benar-tidaknya, tentu para hadirin yang ada saat itu dapat mengkofirmasi.

Improvisasi politik Eyang memang lucu. Berkebalikan dengan fakta politik yang dipahami umum, tiba-tiba dia digadang (dan menggadang diri) sebagai kandidat Ketua PDIP Boltim, setidaknya demikian yang saya baca di situs detikawanua.com, Jumat, 9 Januari 2015 (http://www.detikawanua.com/2015/01/sejumlah-pac-pdip-restui-lanjar-ketua.html) dan Radar Bolmong, Kamis, 15 januari 2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pertarungan-sengit-petahana/). Di Radar Bolmong bahkan lengkap dengan kutipan, ‘’Prinsip saya, saya tidak meminta, tetapi jika diberikan (Ketua PDIP Boltim) maka saya akan tangkap dengan tangan kanan.’’

Tak terbantahkan, kata-kata Eyang memang punya daya pukau. Hanya saja, siapa oknum di balik harapan palsu Ketua PDIP Boltim itu?

Mungkin tak ada di lingkaran dekat Eyang yang berani menginformasikan, bahwa akhir-akhir ini di balik punggungnya dia kerap jadi olok-olok penyedap bual-bual. Terakhir, di grup BBM yang menghimpun para jurnalis, tokoh publik, dan aktivis di Mongondow, saya turut terbahak-bahak membaca komentar, bahwa upaya penganuliran Ramadan Mamange sebagai komisioner Panwaslu Boltim memang sudah tabiat kekuasaan ala Eyang. ‘’Sebelum ambe Ramadan pe lollipop, dia pare Chandra Modeong pe balapis di Hanura. Kong skarang dia samantara rampas Medy pe ongol-ongol di PDIP.’’ Lucu dan faktual.

Saya—sekali lagi sebagai kawan yang tak menyembunyikan apapun di depan dan di belakangnya—mau jujur ke Eyang, bahwa dia tak punya reputasi baik di depan para elit politik PDIP di Sulut dan Pusat. Tokoh-tokoh teras partai ini belum lupa, bagaimana di Pilpres 2014 lalu Eyang diberi tempat terhormat dan akses luas ke Ketua Umum PDIP dan Capres Jokowi. Di salah satu kampanye Pilpres di Manado yang dihadiri Megawati dan Jokowi, Eyang bahkan menjadi darling. Dia menenggelamkan wakilnya, Medy Lensun, yang sudah resmi menjadi kader PDIP.

Mendadak—yang belakangan seluruh peristiwanya saya ketahui persis, termasuk dari beberapa tokoh utama PDIP—Eyang berbalik menjadi tim sukses Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Pembaca, politik tak jauh dari siasat dan akal bulus, tetapi saya sependapat dengan para elit PDIP (terutama di Sulut) bahwa ada etika dan kepatutan yang pantas dikritisi dari improvisasi dan manuver Eyang di Pilpres 2014 itu.

Jadi, ketimbang menanggapi serius godaan dan iming-iming dari para PHP, menurut hemat saya, sudah waktunya Eyang berhenti bertualang dalam berhubungan dengan Parpol. Pilkada 2015 tidak lama lagi, tetapi masih cukup waktu buat dia untuk fokus dan merestorasi reputasi politiknya. Toh ada Hanura yang hampir dipastikan bakal mencalonkan dia, kecuali jika ada perubahan drastis sikap politik partai ini. Dan yang terpenting, mayoritas masyarakat Boltim juga—di permukaan—masih memberikan dukungan kuat terhadap kepemimpinannya.

Selain stop improvisasi dan manuver tak perlu, Eyang juga mesti belajar keras memenej omongannya. Serta, yang tak kurang penting, berhenti menyakiti siapa pun, tidak peduli dia selevel kepala dusun, seorang CPNS, apalagi elit politik atau tokoh di Boltim.

Perkara saya pribadi, kalau karena kritik bertubi-tubi terhadap Eyang lalu dia murka dan mencoret dari daftar orang yang patut berhubungan dengannya, tidak masalah. Saya cukup puas bila melewati Boltim yang Bupati 2015-2020 (atau 2016-2021)-nya tetap Sehan Landjar dan mengatakan ke kedua anak saya: ‘’Eyang itu temannya Papa. Dalam putih dan hitamnya, dalam baik dan buruknya, dalam manis dan pahitnya.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres: Calon Presiden; Cawapres: Calon Wakil Presiden; CPNS: Calon Pegawai Negeri Sipil; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PBR: Partai Bintang Reformasi; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS: Partai Damai Sejahtera; PHP: Pemberi Harapan Palsu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wabup: Wakil Bupati.