Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, January 10, 2015

Penyiksaan Tersangka, Drama Kapolres, dan Politikus Sinetron

DUA peristiwa (kematian) yang saling terkait mengguncang Bolmong Raya.

Kanit Lantas Polsek Kaidipang, Aiptu Joko Siswanto, tewas akibat tikaman pisau yang dihujamkan tersangka pelaku, RD, Minggu (4 Januari 2015). Selang sehari, Senin (5 Januari 2015), RD merenggang nyawa di tahanan Polres Bolmong dalam kondisi menggenaskan. Adiknya, ZD, yang turut menjadi tersangka digotong ke RS Datoe Binangkang—kemudian dirujuk ke RS Bhayangkara Manado—(http://totabuan.co/2015/01/orang-tua-rival-siap-tuntut-polres-bolmong/) dalam kondisi luluh-lantak.

Pembaca, kita tidak sedang menonton drama atau sinetron haru-biru yang belum bosan menghiasi layar teve negeri ini. Serangkaian peristiwa yang susul-menyusul itu adalah setumpuk pelanggaran hukum—dan kejahatan—yang saling berkelindang.

Pertama, jika benar versi mainstream yang banyak dipublikasi, yang menyebutkan penyebab tewasnya Aiptu Joko adalah balapan liar yang dihiasi penempelengan terhadap ZD, maka setidaknya ada dua pelanggaran yang terjadi bersamaan. ZD (yang sebagian media menyebut berusia 14 tahun, ada pula 12 tahun) pasti melakukan pelanggaran hukum atau sekadar menyebabkan seorang penegak hukum tersinggung. Tapi, dengan tetap menghormati dan mendoakan Almarhum Aiptu Joko, dia juga tidak bebas cela. Sejak kapan polisi diberi hak main hakim sendiri, sekalipun ‘’cuma’’ tempelengan?

Kedua, tersangka RD dan ZD yang ditangkap beberapa jam setelah kematian Aiptu Joko, dianiaya habis-habisan—termasuk dihadiahi timah panas—di Polres Bolmong oleh sejumlah polisi. Padahal, ketika keduanya ditangkap, kondisi fisik mereka baik-baik saja (http://www.sindomanado.com/read/2015/01/07/1156/disiksa-dalam-sel-tersangka-pembunuh-aiptu-joko--meninggal.html). Dengan dalih apakah—kecuali balas dendam—polisi merasa pantas dan berhak melakukan penganiayaan brutal terhadap dua tersangka ini?

Ketiga, orang banyak yang geger nyaris meluputkan bahwa ZD adalah tersangka yang tergolong anak-anak (bila kita berpijak pada salah satu versi pemberitaan media bahwa dia baru berusia 12 tahun) atau remaja (di versi usia 14 tahun). Namun, versi manapun yang kita rujuk akan mengkonklusi jajaran Polres Bolmong telah melakukan kejahatan terencana dan sistematis terhadap seseorang yang tergolong di bawah umur. Apa ancaman hukuman untuk kejahatan terhadap seseorang yang masih di bawah umur?

Dan keempat, beberapa saat sebelum RD merenggang nyawa, dia dan ZD disambangi Kapolres Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK. Sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya di Bolmong, RD bahkan sempat memohon-mohon pada Kapolres agar dia boleh mendapatkan air minum. Saya yakin saat itu Kapolres melihat dengan jelas kondisi RD dan ZD. Saya berkeyakinan pula, jika Wiliam A Simanjuntak adalah seorang perwira yang tahu tanggungjawab, wewenangan, kewajiban, dan tugasnya, maka semestinya dia mempertanyakan mengapa kondisi dua tersangka ini sungguh menggenaskan.

Bagi seorang pimpinan, tewasnya anak buah—terlebih penegak hukum yang jadi korban kriminalitas—bukan perkara sepele. Komandan yang bertanggungjawab bukan hanya mengeluarkan perintah atau instruksi dari balik meja, lalu sepenuhnya menyerahkan sisanya pada para bawahan. Kapolres macam apa yang tidak bersigegas meminta informasi lengkap saat RD dan ZD ditangkap? Maka, terkait dengan status ZD yang masih di bawah umur, Kapolres wajib tahu dan mengambil tindakan.

Dengan tidak mengambil tindak lanjut apapun saat menyambangi RD dan ZD, Kapolres Bolmong membiarkan (untuk tidak mengatakan merestui) perlakuan semena-mena terhadap keduanya. Dia juga mengabaikan bahwa ZD yang mengalami penganiayaan berat adalah tersangka yang masih di bawah umur, yang perlakuannya harus sama sekali berbeda dengan orang dewasa. Saya yakin, Kapolres yang pendidikan kepolisiannya tak perlu diragukan lagi,  tidak perlu diingatkan bahwa membiarkan kejahatan berlangsung di hadapan mata, apalagi terhadap anak-anak, adalah kriminalitas lain yang tak kurang biadabnya.

Itu sebabnya pernyataan Kapolres Bolmong membentuk tim investigasi untuk mengungkap penganiayaan terhadap dua tersangka itu (http://manado.tribunnews.com/2015/01/08/tim-investigasi-usut-tewasnya-tersangka-pembunuh-polisi-di-bolmong), yang bahkan menyebabkan kematian RD, adalah omong kosong dan bual-bual yang justru kian mengobarkan amarah. Bila jajaran kepolisian, terutama di Polda Sulut, benar-benar penegak hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat, maka yang harus dilakukan adalah membentuk tim independen yang memeriksa semua pihak yang terlibat. Dimulai dengan Kapolres Bolmong yang terang-terangan tidak melaksanakan tanggungjawab, wewenang, dan kewajibannya.

Cuci tangan dengan dalih atau kilah bahwa penganiayaan yang berujung kematian tersangka sama sekali tidak diperintahkan oleh Kapolres, menunjukkan bahwa wewenangnya dilepeh oleh anak buah. Di kepolisian, bawahan yang menghormati atasan, terlebih dalam peristiwa seistimewa tewasnya salah seorang anggotanya, pasti sesegera mungkin melaporkan perkembangan kasusnya hingga detail.

Kita, orang Mongondow yang sadar hukum, sosial, dan budaya, mesti menolak tegas kasus penganiayaan dua tersangka pembunuh Aiptu Joko yang berujung kematian RD, dijadikan drama oleh Kapolres; serta—belakangan—beberapa politikus yang turut menjadikan isu ini sebagai panggung. Pernyataan politis mendesak, mendukung, atau menunggu hasil kerja tim investasi yang dibentuk Kapolres, menunjukkan para politikus itu sekadar ikut riuh tanpa pikir.

Apa yang cerdas dari pernyataan mendukung kucing garong menginvestigasi hilangnya ikan asin yang pelakunya adalah para kucing juga?

Kualitas sejumlah politikus kita, yang duduk di DPR RI dan DPD sekalipun, memang memprihatinkan. Jika penganiayaan terhadap dua tersangka yang berujung kematian RD di tahanan Polres Bolmong adalah salah satu ujian sensitivitas dan kecerdasan mereka memberikan solusi, para politikus itu cuma mendapatkan nilai E. Mereka adalah bintang sinetron politik yang piawai, tetapi bukan muara aspirasi yang berguna.

Para politikus itu cukup diberi tepuk tangan, setelah itu mereka ditendang agar minggir jauh-jauh. Pemilu (legislatif dan kepala daerah) masih lama. Hentikan dulu pencitraan dan jual diri tak perlu. Sudah terlalu banyak kesedihan dan kemarahan yang bergolak di sekitar peristiwa tewasnya Aiptu Joko dan RD. Jangan ditambah lagi dengan kejengkelan membaca dan mendengar abab tanpa mikir dari para politikus yang numpang ngetop di tengah kegalauan banyak pihak.

Akan halnya jajaran kepolisian, khususnya Polda Sulut, tolong pula hentikan drama-drama tidak perlu. Apa susahnya Polda menurunkan tim independen, memeriksa semua pihak yang terkait dengan seadil-adilnya, lalu menjatuhkan sanksi atau hukuman yang pantas. Reputasi Polri sedang dipertaruhkan, setidaknya di hadapan masyarakat Bolmong khususnya dan Sulut umumnya.

Tapi, kalau Polda Sulut menganggap dua kasus kematian itu dan kejahatan-kejahatan yang menyertainya sekadar business as usual, jangan tersinggung bila kami (orang banyak yang cukup peduli) juga memaknai bintang dan bunga-bunga di pundak para perwira polisi sekadar hiasan yang tak perlu direspek. Bukankah tidak ada pelanggaran hukum jika orang banyak akhirnya menginterpretasi wewenang dan senjata yang dimiliki polisi sama saja dengan pengaruh preman dan panah wayer?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

 AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Aiptu: Ajun Inspektur Polisi Satu; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Kanit: Kepala Unit; Lantas: Lalu Lintas; Pemilu: Pemilihan Umum; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; dan SIK: Sarjana Ilmu Kepolisian.